Oleh: Ruslan Ismail Mage

Banyak orang berteriak NKRI harga mati tetapi perilakunya memicu keretakan bangsa. Tidak sedikit orang berteriak harus berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tidak memahami konsep “Politik Kebhinnekaan” dalam mempersatukan berbagai keanekaragaman bangsa, sebagaimana “Politik Multikulturalisme” Eropa Barat yang menjadikan keanekaragaman budaya sebagai akar pembangunan suatu bangsa.

Politik kebhinnekaan membangun bangsa menjadi sangat penting dipahami oleh para pengelola negara di tengah tersemainya benih-benih disharmoni berbangsa dan bernegara. Menjadi penting, karena dari sudut pandang Ilmu Geopolitik, Indonesia termasuk negara yang potensial pecah. Suatu ilmu yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.

Apa alasan pembenarnya Ilmu Geopolitik itu? Coba renungi data geografis Indonesia. Luas wilayah Indonesia 5.193.250 km, jumlah penduduk sekitar 267 juta jiwa, terdapat 18.306 pulau, dan 1.430 suku bangsa. Belum lagi ada enam agama resmi diakui negara dan 245 aliran kepercayaan. Data ini menunjukkan Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni ribuan suku dengan segala macam perbedaan dan keanekaragamannya. Fakta mengatakan, jangankan negara kepulauan yang pulau-pulau besarnya seperti pulau Jawa dan pulau Sulawesi berjarak 750 km, negara satu daratan saja seperti Uni Soviet dan Yugoslavia bisa terpecah-pecah menjadi beberapa negara. 

Berdasarkan data dan fakta di atas, Indonesia butuh pemimpin yang memahami benar “Politik Kebhinnekaan” dalam membangun bangsa. Politik kebhinnekaan menurut versi tulisan ini adalah, “Suatu gerakan merekonstruksi pikiran dan jiwa semua anak negeri untuk mengaplikasikan dalam kehidupan warga negara untuk selalu bersatu dalam perbedaan, bersama dalam keragaman. Maksudnya, pendapat, sikap, status, pekerjaan, cita-cita, partai politik, suku, bahasa, budaya, dan agama sekali pun boleh berbeda, tetapi kita tetap satu, anak-anak bangsa yang harus tetap bergandengan tangan membangun bangsa.

Mayoritas dan Minoritas

Membudayakan hidup toleransi dan menghilangkan intoleran disemua elemen kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak bisa dilakukan di ruang-ruang seminar. Begitu pula merukunkan, mendamaikan, dan melebur kelompok mayoritas dan minoritas, juga tidak bisa diimbau di forum-forum diskusi, atau lewat spanduk. Butuh gerakan dan kehadiran negara di dalamnya setiap saat. Karena intoleran dan pengelompokan mayoritas dan minoritas adalah akar tunjang kejahatan kemanusiaan.

Banyak negara menuju kehancurannya karena intoleran tumbuh di dalamnya, karena arogansi kelompok mayoritas terhadap minoritas. Aksi kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas di Pakistan semakin meningkat. Serupa di Sri Lanka terus dihantui diskriminasi dan kekerasan kelompok mayoritas ke minoritas. Situasi di Myanmar juga memilukan dan mengiris hati dengan kenyataan kelompok minoritas Rohingya disingkirkan. Beberapa Negara di Timur Tengah juga terus bergolak karena perselisihan mayoritas dan minoritas. Nilai-nilai kemanusiaan musnah hanya karena ego mayoritas menyingkirkan minoritas.

Itulah sebabnya Anies Rasyid Baswedan menekankan bahwa tidak ada diksi mayoritas dan minoritas dalam konstitusi Indonesia. Para pendiri republik ini menyusun konstitusi sebagai pondasi kuat berdirinya bangsa tidak pernah memakai diksi mayoritas dan minoritas dalam mengatur republik ini. Mereka menginginkan sebuah negara baru republik bernama Indonesia, dimana di dalamnya ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa para pendiri bangsa adalah keadilan sosial untuk semua.

Karena itu menurut Anies, republik yang kita cintai bernama Indonesia ini tidak didirikan untuk mayoritas, tidak didirikan untuk minoritas, tetapi untuk seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Republik ini tidak didirikan untuk melindungi mayoritas atau minoritas, tetapi untuk melindungi seluruh anak-anak bangsa tanpa melihat latar belakangnya. Jadi tidak ada diksi mayoritas dan minoritas di dalam konstitusi. Para pendiri republik tidak pernah memperdebatkan mayoritas dan minoritas. Mereka selalu tampil dengan gagasan untuk bangsa secara keseluruhan dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Persoalannya kemudian menurut Anies, semangat itu dibangun untuk keinginan menghadirkan keadilan sosial. Namun apa yang terjadi sekarang? Sebuah negeri yang terjadi ketimpangan yang merata dihampir segala sektor. Minimal timpang antara yang kaya dan miskin, antara yang berpendidikan dan tidak berpendidikan, antara yang bekerja dan tidak bekerja, antara yang di kota dan di pedesaan, antara yang di Jawa dan di pulau lain. Ketimpangan-ketimpangan itu menjadi masalah terbesar bangsa hari ini.

Ketika ketimpangan muncul menjadi pertanyaan. Sekarang Mayoritas penguasaan aset pada siapa? Minoritas penguasaan aset pada siapa. Dari sisi jumlah orang, dan dari sisi jumlah penguasaan ekonomi menjadi masalah. Di sinilah menurut Anies harus kembali ke titik awal pendirian republik ini yang ingin menghadirkan semangat keadilan sosial.

Menghadapi ketimpangan di segala sektor itu, Anies menegaskan bahwa tugas kita sekatang adalah “Bukan mengecilkan yang sudah besar karena sudah berperan membangun Indonesia, tetapi membesarkan yang kecil agar terjadi pemerataan dalam mengurangi ketimpangan. Semangatnya harus sesuai dengan pendiri republik ini untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pemahaman kebangsaan dan kebhinnekaan Anies seperti yang dijelaskan di atas, jelas menggambarkan sebagai pemimpin yang tepat bagi bangsa sebesar Indonesia dengan segala bentuk perbedaan dan keanekaragaman di dalamnya. Solusinya tentang persoalan besar yang dihadapi bangsa ini mengenai ketimpangan yang semakin melebar, sangat cerdas dan visioner. Ini namanya solusi “Menarik rambut dalam tepung”. Artinya bagaimana menarik rambut dalam tepung, rambut jangan putus, tepung jangan bergoyang. Itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang punya kesabaran dan keuletan dalam memutuskan suatu perkara yang sangat sulit. Memiliki wawasan kebangsaan dan kebhinnekaan yang tinggi dan mendalam.

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik

(Visited 32 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: