Oleh : Ruslan Ismail Mage
Mahasiswa menyukai materi kuliah dijelaskan dengan menggunakan bahasa analogi. Mereka antusias mendengarkan kuliah ketika menganalogikan negara sebagai sebuah “mobil bus besar” yang sedang mengangkut kurang lebih 270 juta penumpang menuju kota bahagia di Jalan Damai, RT Kesejahteraan RW Kemakmuran. Berhasil tidaknya mobil bus indonesia sampai kota bahagia tergantung mesin birokrasinya, apakah bisa mensuplai energi turbo memutar roda mobil bus Indonesia, atau justru mesin birokrasinya tersendat-sendat lalu mogok karena bahan bakarnya sudah di bawah garis merah atau karena olinya habis.
Bahan bakar mesin birokrasi adalah “fair law enforcement”, sementara oli mesin birokrasi adalah “etika dan moralitas”. Kalau mesin birokrasi selalu terawat, rutin servis berkala, bahan bakarnya tidak pernah lagi menyentuh garis merah, dan olinya selalu terkontrol, selebihnya nasib penumpang sudah ditentukan kecakapan sang sopir mengemudi.
Dalam negara demokrasi, kecakapan sang sopir dalam mengendalikan laju mobil di jalan sangat menentukan. Tentu ini berkaitan dengan kondisi jalan yang susah diprediksi. Kadang lurus menanjak lalu tajam menurun, berkelok-kelok, melewati beberapa perempatan dan pertigaan jalan yang membutuhkan kematangan sopir menentukan sikap ke kiri atau ke kanan. Lalai sedikit bisa menyebabkan ban mobil tergelincir dan masuk ke jurang.
Kalau sang sopir memiliki kecakapan mengemudi, piawai sigzag menghindari lubang, bukan berarti perjalanan sudah mulus tanpa gangguan. Masih ada hambatan yang akan menghalangi lajunya mobil bus Indonesia yang sarat penumpang, yaitu ketika ban tertusuk paku. Dalam konteks tulisan ini, paku yang akan menusuk ban mobil bus Indonesia adalah utang luar negeri yang berlebihan. Bahkan tidak jarang tusukan paku ini bisa membuat sang sopir tidak berdaya dan kehilangan eksistensinya.
Pada sisi lain, dalam dua dasawarsa terakhir, penyakit yang paling sering membuat mesin birokrasi Indonesia macet dan mogok adalah “korupsi”. Pemimpin sebagai pengendali birokrasi kerap kali terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, bukan karena hukum lemah. Konon kabarnya kalau ada negara demokrasi yang maju dan berkembang karena banyaknya regulasi mengatur bagaimana pengelolaan negara, Indonesia termasuk salah satunya yang akan maju pesat, karena kaya regulasi.
Namun banyaknya regulasi yang mengatur tidak serta merta membuat sistem pengelolaan negara menjadi baik dan benar. Justru sebaliknya tingkat korupsi di Indonesia semakin meningkat. Alasannya karena miskinnya etika dan moralitas sebagian penyelenggara negara. Ini yang disebut “defisit etika moral di tengah surplus regulasi.”
Lalu pertanyaan klasiknya, kapan mobil bus Indonesia yang membawa penumpang kurang lebih 270 juta rakyat bisa sampai kota bahagia kalau elemen-elemen utama dalam mobil bus itu hampir keropos semua etika dan moralitasnya? Untuk menjawab ini, perlu memakai konsep pengelolaan negara versi Anies Rasyid Baswedan berikut ini.
Negara Memiliki Dua Tangan
Menurut Anies, negara itu mempunyai dua tangan, satu namanya birokrasi seperti kementerian atau dinas, yang satu namanya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau di tingkat daerah namanya BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Dua-duanya adalah tangan negara yang bertujuan untuk melaksanakan tugas negara meningkatkan kesejahteraan dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pandangan Anies, fungsi BUMN dan BUMD itu bukan mengejar keuntungan. Kalau mengejar keuntungan itu berarti menjadi private entity saja. BUMN adalah state entity yang mengerjakan hal-hal yang justru tidak menguntungkan. Karena itulah dikerjakan oleh negara. Kenapa negara mengerjakan karena sebagian dari peningkatan kesejahteraan dan menghadirkan keadilan dilakukan menggunakan mekanisme korporasi tapi no profit. Mekanisme korporasi tetapi bukan sekadar mencari keuntungan.
Bung Hatta berpandangan begitu. Karena itulah Bung Hatta berbicara tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mekanismenya korporasi tetapi tujuan utamanya bukan mencari keuntungan. Kalau mencari keuntungan, enak betul menjadi megara yang punya perusahaan. Negara yang bikin regulasi negara yang pelaku regulasi. Tangan kirinya membikin regulasi tangan kanannya melaksanakan regulasi di pasar, ya pasti untung besar.
Anies menjelaskan, “When you are regulator, then you not market player (ketika Anda regulator, Anda bukan pemain pasar). If you market player (jika Anda pemain pasar) jangan menjadi regulator”. Kecuali menyangkut industri strategis yang memiliki national interest yang tinggi, disitu state entity harus tinggi. Misalnya ada bidang science, technology communication, itu strategis.
Konsep ini telah dilaksanakan di Jakarta. Disampaikan kepada Direksi BUMD bahwa tugas anda itu adalah meningkatkan kesejahteraan dan menghasilkan keadilan sosial. BUMD pakai mekanisme korporasi, sementara birokrasi dengan tugas yang sama memakai mekanisme birokrasi. Kerjasama BUMD dan birokrasi untuk melakukan tugas yang sama itu penting, karena ada yang tidak bisa dikerjakan birokrasi.
Anies mencontohkan transportasi sistem di Jakarta. Kenapa tidak dikelola oleh Dinas Perhubungan, tetapi dikelola PT transjakarta yang 100% milik pemerintah daerah. Kenapa? Karena perusahaannya (PT) pasti tekor. Kenapa tekor? Karena tidak mungkin revenue dari publik (penumpang) menutupi biaya cost. Dari situlah peran negara harus ada. Pertanyaannya kenapa pakai metode korporasi, supaya memiliki ruang untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang tanpa terikat dengan peraturan regulasi birokrasi. Birokrasi ingin ganti eselon saja repotnya tidak kira-kira. Melakukan promosi pasti sulit, rekrutmen pegawai susah, tetapi begitu pakai korporasi cepat. Jadi Korporasi dibutuhkan untuk kelenturannya bukan untuk profitnya.
Jadi bayangan Anies ketika bicara tentang ekonomi kerakyatan, di situ ada private, ada koperasi, ada state own milik negara yang bukan mengejar keuntungan. Inilah kami lakukan di DKI Jakarta memberikan PSO (Public Service Obligation) itu sampai 3 triliun lebih kepada PT Transjakarta untuk mengangkut warga Jakarta selama satu tahun. Tujuannya untuk menutup selisih antara revenue dengan cost. Kalau negara tidak masuk semua orang pakai kendaraan pribadi. Alhamdulillah di Jakarta dengan melakukan transformasi itu dari 350.000 penumpang per hari bisa menjadi satu juta penumpang per hari. Pengguna kendaraan umum naik menjadi tiga kali lipat. Tentu secara tidak langsung mengurangi kemacetan, dan mengurangi emisi zat buangan kendaraan.
Dari konsep yang disampaikan Anies di atas, pijakannya cuma satu konstitusi negara yaitu Pembukaan UUD 1945 yang menggarisbawahi tujuan negara adalah meningkatkan kesejahteraan dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluuruh rakyat Indonesia. Artinya negara yang selama ini dibatasi perannya oleh oligarki, akan dihadirkan kembali oleh Anies dalam semua elemen kehidupan rakyat. Negara harus hadir setiap saat menyelesaikan ketimpangan.
*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik