Oleh: Gugun Gunardi*

Bahasa Sunda mempunyai banyak nilai-nilai didaktik dalam kehidupan, berupa pandangan hidup, falsafah, moralitas, maupun pendidikan karakter. Aspek-aspek tersebut banyak terdapat di dalam idiom (babasan dan paribasa) Sunda, atau di dalam bahasa Indonesia dikenal “ungkapan” dan “peribahasa”.
Dalam kajian linguistik (ilmu bahasa), ungkapan (babasan) didefinisikan sebagai kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus. Sedangkan peribahasa (paribasa) adalah kelompok kata atau kalimat (frasa dan klausa) yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu (Ramdani, 2021:39).

Dari pengamatan kita, saat ini telah terjadi pengikisan karakter dalam tubuh masyarakat Indonesia, begitu pula pada masyarakat Sunda. Pengikisan karakter tersebut terjadi pada hampir seluruh tatanan sosial kehidupan masyarakat. Salah satu dampak yang paling nyata dan terasa adalah pengaruh negatif terhadap sikap dan perilaku masyarakat, di antaranya adalah sikap individualisme dan hedonisme.

Akan tetapi yang sangat memprihatinkan adalah mulai jarangnya penggunaan bahasa Sunda di dalam komunikasi sehari-hari, baik di dalam lingkungan formal maupun non-formal. Penggunaan bahasa Sunda di dalam komunikasi sehari-hari, terutama di lingkungan masyarakat kota dianggap susah karena banyaknya keluarga baru yang membangun keluarga dengan etnis berbeda dan ada kesulitan mempraktikkan tingkat tutur (undak-usuk) bahasa Sunda.

Kenyataan yang dihadapi tersebut berkait erat dengan pengetahuan bahasa Sunda dan jarangnya penggunaan bahasa Sunda di dalam komunikasi sehari-hari. Maka, berlandas dari kasus tersebut, muncul dugaan bahwa mundurnya eksistensi bahasa Sunda bisa jadi akibat dari susahnya mempelajari bahasa Sunda.

Anggapan ini banyak berkembang di masyarakat, mengingat adanya eufemisme dalam bahasa Sunda. Pengetahuan yang dikenal masyarakat Sunda sebagai penghalusan bahasa atau undak-usuk atau tingkatan tutur di dalam menggunakan bahasa Sunda. Pengetahuan ini bersangkut erat dengan etika menggunakan bahasa. Namun, justru kesulitan dan kerumitan tersebut menjadikan bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa yang unik.

Penelaahan bahasa Sunda sebetulnya sangat menarik karena banyak permasalahan yang berkembang di masyarakat, umpamanya dalam tuturan ditemukan keragaman tuturan bahasanya (dialek, idiolek, kronolek, dll.). Di samping hal-hal tersebut, ditemukan pula unsur yang sangat menarik untuk dikaji, yakni idiom ( babasan dan paribasa). Babasan dan Paribasa sebagai alat bertutur dengan menyindir, masyarakat penutur bahasa Sunda. Pada umumnya, babasan dan paribasa ini digunakan untuk menyindir secara halus.

Berdasarkan makna yang dikandungnya, menurut Ramdani (2021:40) babasan dan paribasa dapat dibagi atas:
1) wawaran luang (informasi pengalaman), 
2) pangjurung laku hadé (perintah untuk berbuat kebaikan), dan 
3) panyaram lampah salah (pencegah untuk berbuat kesalahan).

Bila merujuk pada uraian tersebut, sangat relevan untuk menjadikan babasan dan paribasa menjadi salah satu media pengedukasian mengenai pendidikan karakter masyarakat Sunda. Khususnya di dalam penggunaan bahasa Sunda. Kehadiran babasan dan paribasa di dalam masyarakat Sunda, tidak bisa terlepas dari kebiasaan orang Sunda yang lebih suka “permainan” bahasa sebagai alat untuk “menyindir” atau memberitahukan suatu hal dengan cara yang halus, menghindari untuk menyakiti perasaan orang lain. Babasan dan paribasa muncul sebagai produk kebudayaan Sunda di dalam sistem kebahasaan, bahasa atau ungkapan-ungkapan masyarakat Sunda terdahulu (Sutisna, 2015:2).

Dari penjelasan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa leluhur masyarakat Sunda telah mencoba melaksanakan pendidikan karakter dengan menggunakan aspek babasan dan paribasa bahasa sebagai sarana pengedukasian.

Merujuk pada komponen etika masyarakat Sunda dalam tataran sosial, maka terdeskripsikan pendidikan karakter tersebut lewat babasan dan paribasa berikut ini:

1) Soméah hadé ka sémah (berperilaku baik kepada tamu).

2) Amis budi (ramah; bahasanya santun dan murah senyum).

3) Datang kudu katingali tarang, undur kudu katingali punduk (jika pergi, tidak begitu saja; pamitan lebih dahulu ketika akan pergi seperti ketika datangnya).

4) Dihin pinasti anyar pinanggih (segala hal yang terjadi sekarang sesungguhnya sudah ditakdirkan lebih dulu oleh Yang Maha Esa).

5) Disakompétdaunkeun (disamaratakan, tidak dipisah-pisah).

6) Èlmu tungtut dunya siar, sukan-sukan sakadarna (hidup harus menuntut ilmu untuk keselamatan dunia akhirat, serta harus hidup sederhana).

7) Genténg-genténg ulah potong (walaupun hasilnya tak seberapa, tidak apa-apa daripada luput sama sekali).

8) Kudu hadé gogog hadé tagog (harus baik budi bahasanya, baik sikapnya; tahu adat dan sopan santun).

9) Kudu hampang birit (rajin; giat bekerja).

10) kudu handap asor (harus mau menghargai atau menghormati orang lain).

11) Hérang caina beunang laukna (berhasilnya apa yang kita inginkan tidak lantas menimbulkan akibat buruk bagi orang lain).

12) Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat (keselamatan dan kebahagiaan seorang anak tergantung kepada ridho dan doa ayah ibunya).

  1. Batu turun keusik maèk (sama-sama merasakan kemenangan atau win-wind solution).

14) Mobok manggih gorowong, jalan gedè sasapuan (apa yang dicari ditemukan tanpa bersusah payah).

15) Saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa (sedikit harus dicukupkan dan bila banyak harus bisa menabung).

16) kudu bodo alèwoh (harus banyak bertanya, jangan sok tahu).

Dari paparan babasan dan paribasa tersebut, diperkirakan masih banyak aspek tersebut sangat relevan sebagai media mengedukasi pendidikan karakter masyarakat Sunda. Apalagi jika dikomparasikan dengan pembelajaran bahasa Sunda di tingkat SD, SMP, serta SMA, bahkan di perguruan tinggi sekalipun.

Di samping digunakan mengedukasi di lembaga pendidikan formal, babasan dan paribasa pun bisa juga digunakan dalam kaitan norma-norma etika yang berlaku di masyarakat Sunda. Dalam masyarakat Sunda, ada beberapa cara melakukan pendidikan karakter untuk menghasilkan masyarakat memiliki soft skill (paripolahna yang baik), yaitu dilakukan proses pendidikan karakter dengan menggunakan babasan dan paribasa sebagai sarananya. Hal ini akan terwujud apabila penggunaan bahasa Sunda pada masyarakat masih terpelihara dengan baik. Kebertahanan bahasa Sunda sendiri bergantung kepada masyarakat penggunanya, apakah masih memiliki kesadaran atau tidak untuk memeliharanya. Harus diingat, bahwa “lamun ilang basana, tangtu ilang bangsana”.

*Penulis: Dosen Tetap Universitas Al Ghifari Bandung.

(Visited 91 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.