Oleh : Ruslan Ismail Mage

Sebagai penulis buku-buku motivasi dan politik, saya menganalogikan menjadi pemimpin itu laksana “Bercocok tanam di ladang kritikan”. Terus bertumbuh hingga bercabang membentuk dua ranting memanjang yaitu hinaan dan fitnah. Ini yang disebut “Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menerpa dan menerjang”. Semakin tinggi posisi dan kedudukan seseorang, akan semakin besar ujian yang datang. Terlebih di era demokrasi semua bebas melakukan kritikan, bahkan tidak jarang menjurus menghina dan memfitnah.

Kritik adalah ungkapan tidak setuju yang bisa muncul karena perbedaan pendapat, kepentingan, cara pandang atau nilai-nilai. Itulah ada juga menyebut, “Kepemimpinan sebagai wilayah pengambil kebijakan seperti berjalan di atas lumpur kritikan”. Kakinya susah terhindar dari lumpur itu dan pasti ada percikannya lengket. Setiap kali dibersihkan, lain waktu pasti ada lagi lumpur lengket di kaki. Itulah hukum kepemimpinan yang susah dihindari, karena seperti bayangan yang mengikuti pemimpin ke mana pun pergi.

Dalam tradisi Islam, mengkritisi pemimpin dibenarkan. Sebagai contoh ketika Umar bin Khattab RA memutuskan tidak ingin membagi-bagi tanah Syam yang ditaklukkan para mujahidin kepada kaum Muslimin. Keputusan itu langsung diprotes oleh Bilal bin Rabbah RA secara tegas dengan mengatakan di depan umum, “Bagilah tanah itu, atau kami ambil tanah itu dengan pedang!” (HR Baihaqi). Dalam konsep Islam yang tidak dibenarkan adalah menghina atau mencaci maki, dan memfitnah, tetapi itu pun dialami para nabi.

Kalau agama Islam begitu indah sampai bersemayam dalam jiwa, itu tidak lepas dari Muhammad Rasulullah sepanjang perjuangannya dipenuhi kritikan dan lumpur hinaan disertai fitnah. Jadi sebagai pemimpin, kritikan dan hinaan itu adalah multivitamin penggerak dalam melahirkan karya nyata. Jadi pemimpin tidak boleh bawa perasaan (baper) kata anak milenial sekarang. Harus tangguh dan tahan banting dari kritikan, hinaan, bahkan fitnah. Kalau tidak menginginkan kritikan, jangan menjadi pemimpin, terlebih memimpin negara atau daerah.

Bahasa Mohammad Roem yang dikutip dari pepatah kuno Belanda untuk melukiskan sosok Agus Salim sang diplomat ulung Indonesia,“Leiden is lijden”. Memimpin adalah menderita. Tidak ada pemimpin hebat yang lahir dari zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat lahir dari kemudahan, tetapi dari tantangan yang bergelombang. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, kritikan dan hinaan apa lagi lebih sadis daripada apa yang dialami Agus Salim ketika sebagai pembicara di forum dihina sebagai kambing karena berjenggot. Namun karena menyadari hakekatnya sebagai pemimpin yang sarat kritikan dan hinaan, Agus Salim tidak baper.

Jangan Lawan Fitnah dengan Fitnah

Kalau ada pemimpin yang paling sering diserang, dikritik, dihina, dan difitnah di Indonesia, adalah Anies Rasyid Baswedan orangnya. Begitu juga kalau ada pemimpin semakin difitnah semakin sering dapat penghargaan, Anies juga orangnya. Jadi, hujatan dan kritik pedas dari para pendengung (buzzer) maupun pembenci (haters) tidak menghentikan prestasi Anies ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Rahasianya di mana serangan buzzer dan haters bisa berbanding lurus dengan tingkat prestasi seorang pemimpin? Semakin tinggi serangan buzzer dan haters semakin sering mendapat pernghargaan sebagai seorang pemimpin. Untuk mengetahui rahasianya jangan tanya kepada pemimpin lain, karena pasti tidak ada pengalamannya, tetapi tanyalah kepada Anies yang kaya pengalaman ketika memimpin DKI Jakarta.

Rahasia Anies sederhana tetapi tidak gampang. Hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang tangguh, jujur, percaya diri, rendah hati, dan bertaqwa. Kata kunci Anies menghadapi kebiadaban serangan buzzer dan haters adalah selalu bercermin pada perjalanan kepemimpinan Rasulullah. Kalau difitnah dengan segala macam cara, selalu mengingat nabi yang fitnahannya jauh lebih kejam, bahkan fisik nabi disakiti. Apalagi hanya seorang Anies. Subhanallah, adakah pemimpin lain yang berprinsip seperti ini.

Selama memimpin DKI Jakarta, tidak hentinya mengatakan kepada orang-orang yang ingin menjadi bagian dari perjuangannya, “Jangan melawan kejelekan dengan kejelekan, karena yang menjelekkan biasanya sedang jelek. Jangan lawan fitnah dengan fitnah, karena yang gemar memfitnah itu bisa jadi cerminan dirinya. Jangan menghina orang yang menghina, karena orang yang sering menghina bisa jadi dirinya sudah hina. Jadi tidak usah tambah kehinaannya lagi, kasihan dia.

Menurut Anies, dalam kondisi apa pun tetap pancarkan aura positif agar bisa menarik hal-hal positif. Hal itu dilakukan ketika terpilih menjadi Gubernur DKI selalu memberi pelayanan baik kepada siapa pun tanpa membedakan, tidak terkecuali terhadap orang yang sebelumnya memfitnah dan menjelekkannya. Baginya seorang pemimpin diberi amanah untuk melayani rakyat tanpa membedakan.

Dibalik serangan buzzer dan haters yang datang dari segala penjuru mata angin, tidak ada rekam jejak Anies melaporkan siapa pun yang memfitnah atau melontarkan ujaran kebencian kepadanya. Alasannya sederhana, tidak ingin menguras energi dan waktunya. Lebih baik fokus melaksanakan pekerjaan yang sudah diagendakan. Jadi diamnya Anies menghadapi fitnah bukan karena lemah, tetapi itu menunjukkan kekuatannya sebagai seorang muslim sejati.

Mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menegaskan, susah ditemukan hal-hal yang membuat kita khawatir apabila suatu saat Anies menjadi pemimpin kita. Sukar ditemukan hal-hal yang bisa menjadi alasan kenapa kita tidak menyukai seorang Anies Baswedan. Saya sangat mengagumi karena dia sangat tenang, tidak reaktif, dan tidak defensif menghadapi semua serangan terhadap dirinya. Hal yang sama disampaikan oleh wakil Gubernur DKI yang mendampinginya Ahmad Riza Patria, “Cacian, finah dan serangan dari buzzer bertubi menghantam Anies, dihadapinya dengan selalu tenang dan bijak”.

Dalam suatu kesempatan wawancara dirinya dengan beberapa media, Anies mengatakan, “Saya tidak khawatir apa yang ditulis di sosial media hari ini, karena dua minggu kemudian orang sudah lupa. Saya lebih khawatir apa yang ditulis sejarawan nanti dengan data dan fakta yang valid, karena itu yang saya akan pertanggungjawabkan kepada anak dan generasiku, termasuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Memaknai ketenangan dan ketegaran Anies menghadapi serangan dari para pembencinya, teringat kisah kerang yang menghasilkan mutiara bernilai tinggi. Mutiara yang sangat indah dan mahal harganya, sesungguhnya adalah kumpulan calcium carbonate dan conchiolin yang dikeluarkan oleh kerang ketika ada benda asing masuk ke tubuhnya. Setiap kali benda asing masuk ke tubuh kerang, kerang akan merasa kesakitan. Untuk menahan rasa sakit itu, kerang mengeluarkan kedua zat tersebut. Proses menyakitkan ini terjadi berulang-ulang sampai akhirnya terbentuklah mutiara yang sangat indah. Tanpa rasa sakit tersebut, kerang tidak akan bisa menghasilkan mutiara yang indah. Hal yang sama terjadi pula dengan emas dan besi. Semakin tinggi suhu pembakaran emas, maka semakin murni emas yang dihasilkan. Begitu pula semakin panas suhu pada saat besi ditempa, semakin kuat pula besi itu jadinya.

Dari kisah kerang menghasilkan mutiara, dan proses lahirnya emas murni di atas, dapat memberikan pembelajaran bijak bahwasanya, “Penghinaan atau ejekan dari lawan pada dasarnya adalah api-api yang mengelilingi kita”. Hidup ini pilihan, memilih menjadi debu atau memilih menjadi emas murni. Kalau memilih menjadi debu maka silakan meladeni hinaan atau ejekan musuh. Sebaliknya jika memilih menjadi emas silahkan menjadikan musuh sebagai konsultan pribadi yang bergerak secara alami tanpa harus dibayar. Anies Rasyid Baswedan telah menjadi emas, karena menjadikan pembencinya sebagai konsultan pribadi yang memaksanya mengeluarkan seluruh potensinya menjadi pemimpin terbaik Indonesia.

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik

(Visited 56 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.