Oleh: Gugun Gunardi*
Tahun 1962, penulis mulai memasuki usia sekolah dasar. Penulis diterima di kelas 1 SD, setelah melalui test dengan cara melingkarkan tangan kanan ke atas kepala, dan harus bisa menjangkau kuping sebelah kiri. Yang lolos testing seperti itu, dinyatakan dapat diterima di kelas 1 SD.
Adapun yang menunjukkan akta kelahiran dan sudah berumur 7 tahun, akan tetapi jika tidak memenuhi testing tersebut, maka harus membawa surat keterangan tambahan dari kelurahan setempat. Alhamdulillah, penulis pada tahun 1962 sudah berumur 7 tahun, dan lolos testing melingkarkan tangan tersebut. Maka per bulan Januari 1962, penulis resmi menjadi murid SDN Mochammad Toha IV Bandung, kelas 1 SD. Pada tahun-tahun tersebut masih berlaku tahun ajaran baru di bulan Januari, tidak seperti sekarang di bulan Agustus.
Betapa bersuka citanya Ibuku (Hj. Onah Adenah almh.), penulis mulai menuntut pelajaran di kelas 1 SD. Apa pun yang bisa disediakan untuk penulis, Almh. sediakan demi membangkitkan semangat mengikuti pelajaran di SDN. Maklum penulis adalah anak bungsu dari 12 bersaudara.
Ketika penulis mulai menuntut pelajaran di SD, barulah diketahui bahwa penulis mengidap disleksia, susah menghapal huruf, sehingga kemampuan membaca penulis pun agak terlambat. Ketika naik ke kelas 2 SD, kemampuan membaca penulis masih juga belum menunjukkan perkembangan yang signifikan, sehingga berkali-kali kalau dilakukan dikte membaca oleh guru kelasku (yang juga kepala sekolah), penulis mengintip dengar apa yang dibaca oleh temanku dan menandai yang harus dibaca penulis.
Pada suatu ketika, kebiasaan intip dengar ini tidak tepat sekali. Giliran membaca penulis seharusnya adalah “adè nyumput na kolong korsi” ‘ade ngumpet di kolong kursi’. Karena teman yang membaca bagian tersebut, terpisahkan dua meja di belakang penulis. Maka, intip dengar kali ini kurang tepat, sehingga yang terdengar di telinga penulis adalah “adè nyumput na kolong konci” ‘ade ngumpet di kolong konci’. Pa guru mendekatkan telinganya ke dekatku “sakali deui” ‘sekali lagi’…
Penulis mengulang bacaan tersebut dengan bacaan yang sama… ‘Ma enya nyumput na kolong konci’ “Masa ngumpet di kolong konci”…
Teman-teman sekelas pada ketawa semua dan tentu saja bambu bulat sebesar telunjuk yang panjangnya satu meter itu, hinggap di telapak tanganku.
Tidak sakit sih… tapi malunya itu, diplototin sama teman sekelas… sambil ‘geeerrr’,,, pada ngetawain penulis. Sedang teman sebangkuku menutup mulutnya sambil memalingkan muka. Mungkin tidak tega melihat penulis yang tergagap dengan muka berubah menjadi merah, karena merasa malu. Kejadian tersebut, rupanya tidak dibiarkan begitu saja. Bisa jadi tanpa setahuku, diam-diam guru kelasku menemui orang tuaku. Menceritakan kesulitanku dalam kemampuan membaca.
Beberapa hari kemudian, Ibuku mengajak penulis untuk bermain ke rumah pamanku (Alm. Kapten AD Atjeng Suwarsa) di Jalan Gandapura Bandung. Beliau adalah adik kandung bontot dari Ibuku. Ketika penulis bermain sepeda dengan anaknya yang ‘cikal’ (kesatu), Ibuku mungkin menceritakan perkembangan belajarku yang kesulitan dalam membaca. Pamanku sangat memaklumi. Beliau pergi dengan mobil dinasnya (Jeep Willis) entah ke mana. Beberapa jam kemudian Beliau sudah kembali dan membawa beberapa bundel buku bergambar (komik).
Penulis dipanggil oleh pamanku, sambil membuka bundel buku yang dibawa tadi… “diajar maca nya sing rajin, mgarah jadi jelema pinter” ‘belajar membaca ya yang rajin, agar menjadi orang pintar’, sambil menyodorkan buku-buku bergambar itu kepada penulis.
Sesampai di rumah, penulis dan Ibuku membuka barang bawaan pemberian pamanku. Luar biasa…. pamanku membelikanku beberapa puluh komik (cerita bergambar), dengan judul yang beragam; Taman Firdaus (6 buku seri), Kawah Candradimuka (6 buku seri), Panji Tengkorak (6 buku seri), Panokawan (6 buku seri), dan Walet Merah (6 buku seri).
Dengan kehadiran komik yang dibelikan pamanku, tentu saja penulis menjadi tertarik untuk mengetahui isi cerita dari komik tersebut. Nyaris tiap hari sepulang sekolah penulis belajar membaca isi cerita dari komik tersebut dibimbing ibuku.
Alhamdulillah, kemampuan membacaku semakin membaik. Pada tiap kali membaca komik, penulis disuruh membaca dengan suara keras, agar Ibuku bisa mendengarkan sambil menjahit pakaian pesanan orang lain untuk membantu kebutuhan rumah tangga.
Berbulan-bulan hal itu dilakukan Ibuku kepada penulis dengan alasan Ibu ingin mendengar ceritanya juga sambil menjahit pakaian. Biar Ibu terhibur dan jika ada kata yang ganjil yang penulis baca, beliau mendekati dan memperbaikinya.
Kegiatan tersebut berlangsung kurang lebih 4 bulan menjelang kenaikan kelas ke kelas 3. Pada saat naik ke kelas 3, penulis dinyatakan naik kelas percobaan. Akan tetapi setelah 4 bulan duduk di kelas 3, Guru Kelasku Ibu Tetti (almh.) yang baik hati, menyatakan bahwa penulis bisa lanjut belajar di kelas 3, karena kemampuan membacaku termasuk baik.
Yang perlu disimak dari apa yang dialami penulis ceritakan adalah; 1) begitu baiknya kerja sama orang tuaku (Ibuku) dengan Guruku, di dalam kesibukannya menerima pesanan menjahit pakaian pesanan orang lain, Beliau masih menyempatkan diri membimbing penulis belajar membaca. 2) Yang membuat penulis salut adalah pamanku Kapten AD Atjeng Suwarsa, mencarikan jalan keluar agar penulis suka membaca dengan membelikan beberapa komik yang menarik hati penulis untuk mengetahui jalan ceritanya, 3) Orang tuaku (Ibuku) adalah guru terbaik, yang bisa membimbing proses belajar anaknya di rumah, 4) Kerja sama yang baik antara “Guru dan Orang Tua” sangat perlu dihidupkan.
Semoga Ibuku (Almh. Hj. Onah Adenah), dan Pamanku (Alm. Kapten AD Atjeng Suwarsa), menempati tempat terindah di Surga Alloh.
Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
*Penulis: Dosen Tetap Universitas Al Ghifari Bandung.
Sepertinya sebaya kita ya Abah.
Kelas 4 di SD Regol tahun 1965, zaman kejayaan pakai.
Pun anak kantos dinyatakan disleksia, mung sanes susah baca. Butet mah sok pahili wae huruf besar sareng d. Tangan kanan sareng kiri. Aya aya wae.
Mengenang masa silam selalu menginspirasi, membuat kita bersyukur kadang takjub sendiri ya Abah.
Jadi sungguh keliru, menurutku jika postingan sweet memories tidak disukai. Fakta: kita menuliskan kembali masa silam yang memang selain kenangan, juga ada hikmah yang bisa dipetik.
Salam literasi ya Abah nan gagah.