Oleh : Ruslan Ismail Mage

“Siapa yang akan memerintah : kekayaan ataukah manusia. Siapa yang akan memimpin : uang ataukah intelektual. Siapa yang akan mengisi posisi umum : manusia bebas berpendidikan yang patriotik ataukah budak yang menghambakan diri kepada kapital perusahaan”.

Itulah inti kekhawatiran Edward G. Ryan dalam pidatonya tahun 1873 di Wisconsin University, yang mengawali dengan beberapa pertanyaan menyikapi tumbuh suburnya kapitalisasi politik di Amerika Serikat. Kapitalisasi politik adalah suatu kondisi di mana penentuan jabatan-jabatan politik atau jabatan publik diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Itu berarti siapa yang memiliki modal itulah yang berpeluang menjadi pemimpi atau legislator. Moralitas, integritas, dan loyalitas ditempatkan pada anak tangga paling bawah.

Jadi kalau harus menjawab pertanyaan Edward G. Ryan di atas dalam konteks kekinian Indonesia, mungkin kita sepakat jawabannya : yang memerintah adalah kekayaan, yang memimpin adalah uang, dan yang akan mengisi posisi umum adalah budak yang menghambakan diri kepada kapitalis perusahaan. Jawaban ini mungkin tidak berlebihan, karena fakta tidak terbantahkan kalau kapitalisasi politik berkembang begitu pesat di hampir semua ruang kehidupan berbangsa negeri ini. Wilayah politik semuanya harus diukur atau dinilai serba uang, sehingga wilayah politik tak ubahnya menjadi pasar malam yang semuanya bisa ditransaksikan.

Orang yang ingin memasuki wilayah politik harus menyiapkan modal cukup banyak untuk melakukan transaksi jual beli suara di dalamnya. Inilah yang disebut hukum pasar yang selalu berpihak kepada pemilik modal. Disini demokrasi bukan lagi menjadi gelanggang fair nan suci bagi para politisi sejati untuk meraih posisi-posisi strategis dalam menjelmakan ide-ide politiknya yang menyejahterakan rakyat, melainkan sebagai ruang bagi para kapitalis untuk menjadi penguasa di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagai areal para calo dan penjudi politik mencari peruntungan diri.

Pidato Kepala Pengadilan (Chief Justice) dari Mahkamah Agung Wisconsin Amerika Serikat tahun 1873 ini menyuarakan kegelisahan hati dan pikiran kelompok terdidik bangsa ini pasca reformasi. Kegelisahan itu pun sangat beralasan, karena kapitalisasi politik selalu berbanding lurus dengan tingkat korupsi dan berbanding terbalik dengan tingkat keberpihakan kepada rakyat. Semakin tinggi biaya politik semakin tinggi peluang korupsinya, di sisi lain semakin tinggi biaya politik semakin rendah tingkat keberpihakan kepada rakyat. Buya Safii Maarif mengatakan, “Kalau saja agama membolehkan, saya sudah putus asa melihat perilaku pemimpin negeri ini”.

Menurut Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat korupsi. Sementara menurut peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) ada 586 anggota DPR dan DPRD ditetapkan tersangka korupsi dalam kurung waktu 2010 sampai 2019. Hal ini kembali dipertegas Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia yang mengutip data KPK bahwa ada sekitar 84% pemilihan kepala daerah dibiayai cukung. Jadi kalau tidak prihatian melihat banyaknya pemimpin daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) dan anggota parlemen terjerat korupsi, itu sudah tidak normal lagi.

Kegelisahan ini pula yang menggerakkan seluruh pancaindra saya untuk menulus buku, “Strategi Investasi Politik (Buku untuk Caleg 2024)” yang sedang berada di tangan pembaca ini. Buku ini diharapkan bisa menjadi acuan teoritis dalam melakukan revolusi pemikiran meninggalkan metode pemasaran politik yang hanya mengandalkan kekuatan capital. Hal ini menjadi sangat penting, karena sistem kapitalisasi politik hanya akan melahirkan pemimpin dan legislator yang bermental korup. Dengan buku ini diharapkan politisi menemukan beberapa metode berpolitik dengan biaya murah sebagai salah satu jalan untuk mencegah caleg stress dan politisi korupsi.

Buku sederhana ini sengaja didesain berukuran novel agar mudah ditenteng ke mana aja. Narasi dan diksi bahasanya pun dikemas dengan bahasa populer yang mudah dipahami oleh para caleg. Buku ini tidak berpretensi ilmiah, tetapi sekadar ingin memandu para caleg untuk memahami bahwa politik itu bisa menjadi murah kalau memahami strategi cerdas investasinya.

Menyadari tidak ada karya yang sempurna, saya berharap pembaca budiman bisa melihat sisi positif dari buku ini. Semoga Allah Yang Maha Esa, Maha Pengatur segalanya, menjadikan karya ini bermanfaat bagi setiap orang yang membaca dan menelaahnya. Karena memang hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan.
 
Bumi Minangkabau, awal Juni 2023
 Penulis
 
(Ruslan Ismail Mage)
Founder Sipil Institute Indonesia

(Visited 32 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.