Oleh : Rasdianah*

Ketika suatu hari “keddo ati” (keras hati, tidak gampang menyerah, unstopable) bersatu padu dengan “Tengmarengkalinga” (tidak mau mendengarkan nasehat orang) bertemu dengan “Pemmali” (pantangan atau larangan untuk dilakukan), maka terjadilah sesuatu yang di luar keinginanku.

Sedikit flashback ke beberapa bulan yang lalu. Waktu itu pagi yang cukup cerah, kulalui sebagai single mother seperti biasanya. Setelah berkutat dari dapur dan kamar mandi, lalu “tawaf” mengelilingi rumah sampai ke teras, dengan kecepatan di atas rata-rata orang yang lagi menyapu. Rutinitas berlanjut dengan mengantar buah hatiku ke sekolah, lalu sedikit terburu-buru aku bersiap untuk berangkat kerja.

Sedikit polesan bedak dan lipstik tipis saja sudah cukup menghiasi wajah yang sedikit lelah ini. Tidak usah tebal-tebal, nanti banyak yang melirik karena dikira ondel-ondel yang lewat. Dengan bergegas saya naik kuda besi warna merahku, tidak lupa sebelumnya mengirim pesan singkat dan PAP untuk seseorang yang jauh di mata tapi dekat di handphone dan katanya, tidak usah laju! Hati-hati saja! Begitu pesannya.

Sesampai di kantor BPP Pujananting saya langsung mengajak seorang teman PPL yang rencananya sama-sama monitoring pertanaman padi hari ini. Ketika mau berangkat ke lapangan tiba-tiba seorang teman PPL yang lain menegurku. Katanya tidak usah pergi, matahari lagi terik-teriknya ini! Saya menjawab, ahh tidak masalah itu pak. Beliau bilang lagi jangan pergi! Panasnya bisa bikin sakit kepala kalau begini. Saya jawab lagi tidak apa-apa pak, sudah biasa. Mungkin ada sekitar lima kali beliau mengulang larangannya itu, tapi saya tetap kekeuh pergi juga.

Dari sawah pertama, kami ingin melanjutkan ke sawah di dusun lainnya. Dengan memacu roda duaku sedikit kencang, mengejar laju motor temanku yang berada di depan. Tiba-tiba di hadapanku sudah ada dua lubang jalan yang cukup dalam dan lebar, seketika otakku lagi “blank” jadi bingung harus melewati sela-sela jalan yang mana, terjatuhlah roda duaku.

Tubuhku terpelanting keras ke jalan, bahu dan kepala terasa keras sekali terbentur saat bertemu dengan aspal jalanan. Beberapa detik saya terdiam. Lengan kananku tidak bisa digerakkan, tidak berasa apa-apa. Lenganku seperti hilang sebelah. Kedua kakiku berada di bawah badan motor dan otomatis saya tidak bisa menggerakannya. Antara sadar dan tidak tiba-tiba sudah ada dua orang yang mengangkat motor dan tubuhku, membantuku untuk berdiri. Ternyata aku masih sanggup berdiri walaupun darah sudah merembes dari luka di kakiku. Temanku panik dan mulai menelpon ke sana kemari.

Perih sekali rasanya luka di kaki dan tanganku, tapi syukurlah lukanya tidak terlalu parah. Namun yang membuatku kaget dan shock ketika orang-orang yang menolongku bilang tulang bahuku patah. Saat itu juga seorang tukang urut datang, beliau bilang selain tulangnya patah, engsel bahuku juga lepas. Ya Allah ternyata separah ini.

Takut, sedih dan sakit bercampur jadi satu, saya berusaha menahan air mata agar tidak jatuh, tetapi akhirnya tidak terbendung juga. Air mata dan teriakanku saat tulang urutnya mulai mengangkat dan memutar lenganku. Sakitnya luar biasa, engselnya sudah balik ke tempatnya, kata tukang urutnya. Sedikit lega perasaanku mendengarnya, lalu teman-teman membawaku ke puskesmas. Setelah perawat membersihkan dan mengobati luka-lukaku, dokter bilang, “Ibu harus dirujuk Ke rumah sakit ya ibu, soalnya harus dilakukan photo X Ray dulu.

Dengan diantar kakakku sampailah di rumah sakit. Setelah melalui beberapa tahap pemeriksaan dan photo X Ray, kata dokter kemungkinan besar harus dioperasi untuk pasang pen pada tulangnya yang patah. Tapi setelah berdiskusi dengan dokter akhirnya saya minta pulang dan rawat jalan saja. Membayangkan berada di ruang operasi saja sudah membuatku ngeri. Biarlah harus menahan sakitnya sentuhan tangan tukang urut dulu dari pada harus dibelek kulit dan daging, kataku membatin.

Setelah kejadian itu saya baru tersadar ternyata benar yang orang tua bilang, jangan sekali-kali pergi kalau ada yang melarang hingga diulang-ulang, itu pamali namanya! Pesan dari jauh di sana pun “jangan laju-laju” tidak kuindahkan. Memang dasarnya saya “Tengmarengkalinga” dan “Makeddo ati” hingga terjadilah peristiwa itu.

Sampai sekarang jika akan melewati jalan itu lagi pasti jantungku langsung berdegup kencang. Mungkin itu yang dinamakan trauma. Kejadian itu mungkin juga suatu teguran dari makhluk lain dimensi, kalau lewat tempat itu “permisi” dulu, karena konon katanya tempat itu memang cukup angker. Jika kembali merenungi itu memang sudah Qadarullah. Namun perlu juga disimpan dalam ingatan bahwa jika kita mendengarkan teguran dari seseorang, terkadang perlu untuk didengar dan dituruti, karena kadang “Pemmali” itu benar adanya.

*POPT Pujananting Kabupaten Barru

(Visited 111 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.