Sudah 4 hari saja,
Pemberhentian ke tiga Jingga sudah menginjak bumi Sriwijaya. Telapaknya terasa layu memijaki anak tangga bus reot akibat kaki kebas katena bersila di bangku bus.
Batang tubuh Jingga kembali mendekati Sheanada, sembari menyeruput teh hangat dengan ampas teh yang berkeliaran menggagahi gula, Jingga memulai dengan pertanyaan,
“Sepertinya kita sama-sama bermimpi menggayung ilmu di jantung negara, engkau hendak kuliah dimana? Jurusan?”.
Shea menghenyakkan punggungnya kepelataran kursi dengan spoon tipis yang mungkin saja dijajah kepinding
“Kau pasti tau, dikampung itu kodrat perempuan adalah menjadi abdi terbaik bagi lelakinya, sementara aku masih merasa dahaga akan pengetahuan, kerontang akan pembaruan” Benar saja, Shea mulai menggaruk punggungnya yang sudah mulai dicucuk kepinding.
“aku ingin mendaftar di Universitas Indonesia, FH-IPK mungkin tepat bagi benak ku yang ingin mensegerakan kesejahteraan masyarakat” Gumamnya dibarengi garukan kuku ke punggung sebelah kiri.
“Wow, wajah mu terlalu ramah untuk meneriaki kekuasaan dari jalanan” Sindir Jingga.
“Kau sedang menulis apa?” Tanya Shea sembari melihat buku ditangan Jingga,
“oh… Ini, tambo pengusir penat selama perjalanan” Balas Jingga.
“Aku boleh membacanya?” Shea seperti penasaran akan tuturan didalam buku tersebut.
“Silakan” Ujar Jingga sembari menyodorkan buku yang selalu diapitnya kemana pergi.
Shea mulai menyibak lembarnya dan mulai mengeja :
“BURITAN SUWARNADWIPA”
.
.
Bagi ku ini bukan sebuah pelancongan, namun adalah gumpalan ekspedisi yang akan menghantarkan cita ke telapak kaki Ibunda dan Ayahanda.
Hari pertama ini, hanya dua wajah renta yang mengaing-ngaing dikitaran benak. Ibunda yang selalu mengusap kepala sepergi dan pulang sekolah, menyiapkan makanan sembari menyuruh sembahyang. Terkadang aku bersua beliau tertidur di sajadah selepas dzuhurnya.
Hhhmmm, wajah itu kian benderang dipeluk mata. Hufffttt… Lelaki tua dengan rokok nipah menyekap mulutnya sembari membopong rumput,turut melintas di rongga mata. Yahhhh… Ayahanda yang tak banyak bicara, namun tulang delapan keratnya seperti menantang aku untuk berani bermimpi.
Bus sudah mulai merangkai cadasnya tanjakan ladang padi, aku seperti ingin menghamburkan diri karena tak kuat meninggalkan dua orang hebat ini. Benar, aku ingin pulang kembali, persetan dengan rangkaian tekad yang sudah aku sulam dijauh hari. Aku benar-benar sedang memerangi kecengangan dan kegulanaan ini, semakin aku perangi semakin dihunus belati ketidakberdayaan akan jauh dari mereka.
Ibunda dan Ayahanda?
Terlalu abstrak untuk mempresentasikannya,
Kemuliaannya lebih mulia dari logam rhodium,
Kekuatannya lebih kuat dari dinding pertahanan konstatinopel,
Cintanya pekat mengalahkan kelam dan pekatnya sepertiga malam,
Mereka mampu meredam amarahnya meskipun murkanya sekuat topan hagibis.
Jika mengeksplorasi perjuangannya,
Jauh berbanding dengan mengukur kekuatan air bah yang mendamparkan kayu log ke mulut sungai,
Dekapannya hangat laksana kiswah bertenun emas,
Kasihnya, membentang lebih luas dari laut karibia.
Jika engkau (anak) mengelaborasi apa yang telah engkau sajikan,
Secuilpun tak akan mampu engkau membalas,
Sedepapun tak akan bisa engkau dahului,
Secarikpun, engkau tak akan ulung menyibak halamannya,
Dia adalah zat yang dimuliakan tuhan,
Darinya sejarah mu dimulai,
Lewatnya lah, gerak hidup mu ditakdirkan,
Doanya jualah yang dahulu sampai ke Halikuljabbar.
Maka,
Jangan pernah berbesar diri terhadap apa yang telah engkau sembahkan!
Shea menutup buku itu dengan sendu bergelantungan di wajah teduhnya.
“Aku terkadang bermimpi dikirimi kumpulan tumpukan-tumpukan narasi ini saban hari, Minggu pertama bulan depan aku ingin kita bertemu di taman kota, aku ingin memberi alamat rumah ku agar kau bisa berkirim surat” Kelakar Shea dibarengi tawa. (bersambung)