Timor-Leste saat ini mengalami krisis beras. Rakyat menjerit dimana-dimana, menuntut pemerintah untuk menurunkan harga beras yang melambung tinggi. Dimana masyarakat yang tidak mempunyai pendapatan khusus tidak mampu membeli beras. Karena harga beras di teritori nasional pada akhir-akhir pekan ini terus melonjak, membuat para warga masyarakat kuatir, karena secara finansial mereka tidak mampu untuk membelinya. Beras yang netonya 25kg sebelumnya hanya U$D 15 ke bawah, saat ini naik menjadi U$D18,50 sampai U$D19, di beberapa munisipiu mulai naik hingga U$D 20.
Alasan fundamental harga beras ini naik, karena di satu pihak implementasi pajak impor yang sebelumnya 2,5% tetapi pemerintahan ke-VIII menaikkan pajaknya menjadi 5% dimana Parlamen Nasional Legislatif kelima menyetujui bersama dengan paket Anggaran Umum Negara 2023 di bulan Dezember 2022.
Politik Pemerintahan kedelapan yang menaikkan pajak importir dengan intensi untuk mendapatkan pemasukan yang lebih banyak, tetapi kenyataannya barang-barang importir harganya melonjak tajam, termasuk harga beras yang telah mempengaruhi konsumen masyarakat, dan rakyatlah yang jadi korban.
Sehingga Pemerintahan Konstitusi IX dalam diskusi Ratifikatif Anggaran 2023, mengimplementasi dekrit hukum untuk membuat perubahan tentang kenaikkan pajak importir 5%, dan menurunkan lagi menjadi 2,5%. Meskipun pemerintah telah menurunkan harga importir 2,5%, tetapi barang-barang importir, special beras yang diimpor oleh para pengusaha mengaplikasi 5%, masih tetap menjualnya dengan harga importasi 5%, sehingga para pengusaha importir masih jual berasnya dengan harga yang tinggi.
Dengan harga beras yang terus naik, pemerintah mulai mengecek dan mendata sampai di gudang pengusaha importir di pusat Logistik Nasional untuk melihat stock beras di gudang mereka, yang memasukan barang-barang importir dengan rezim pajak 5%, menurut dekrit hukum keuangan 2023, untuk mencari solusi bagaimana caranya menormalisir harga beras.
Sehingga pemerintahan saat ini dengan pandangan politik responsive, untuk menormalisir harga beras di pasaran, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan memberikan subsidi bagi para pengusaha importir beras, terutama subsidi stock beras yang masih ada di gudang supaya menjualnya dengan harga normal.
Niat baik politik pemerintah ini dengan tujuan, untuk memberikan subsidi stock beras yang saat ini masih tersimpang di gudang, supaya stock lama dengan pajak 5% ini habis terjual, dan stock baru dengan pajak 2,5% ini akan dijual sesuai dengan harga normal.
Politik pemerintah konstitusional ke-IX yang akan memberikan subsidi ini, mendapat reaksi keras dari partai oposisi, FRETELIN dan PLP, karena menganggap politik pemerintahan ini tidak menguntungkan bagi rakyat, tetapi mengemukkan para pengusaha importir.
Politik pemerintahan yang memberikan subsidi 2,5% bagi stock beras ini baik, sebab pemerintahan menutup pajak importir 2,5% dan pengusaha menanggung 2,5%, sehinga pengusaha importir tidak mempunyai alasan lagi untuk menjual beras dengan pajak sebelumnya.
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana pemerintah bisa mengontrol atau make sure bahwa, pengusaha menjualnya sesuai dengan harga normal atau tidak? Berapa ton beras yang akan pemerintah disubsidikan? Dan bagaimana dengan beras-beras yang jual di toko-toko telah membelinya dan menjualnya sampai ke daerah pedalaman? Hal ini juga merupakan suatu pekerjaan berat dan kemungkinan akan terjadi ketidakteraturan.
Politik subsidi ini baik, tetapi implementasinya ini sering mengalami irregular, muncul manipulasi, korupsi dan juga dependensi dari para pengusaha importir.
Untuk itu implementasi politik ini harus dikontrol dengan ketat dari para institusi independent, Komisi Anti Korupsi, NGO dan juga pengawasan dari Parlamen Nasional.
Untuk menormalisir harga beras ini, di tahun-tahun mendatang, pemerintah harus berinvestasi pada pertanian dengan anggaran yang besar, karena saat ini anggaran yang dialokasikan ke pertanian persentasinya sangat kecil.
Dikutip dari Koran Harian Nasional, edisi 25 setember 2023
Edisi, 28092023