Oleh: Yeldi Aswir*
Elang, begitulah panggilan keseharian bocah ini yang selalu sibuk bermain. Lepas dari pengawalan tidak jarang dapat hukuman dari sang ayah karena kelakuannya. Si Elang suka meluncur terbang melayang, laksana pemburu tanpa senjata, melanglangbuana ke dalam rimba berakhir di atas hamparan pasir Sungai Walennae bermain bola plastik. Sampai di kelas V SDN 161 Karya Cabbenge, Elang belum juga bisa membaca apalagi juara kelas sebagaimana harapan orang tuanya.
Keasyikan bermain dan terpenuhi segala kebutuhan masa anak-anak, menjadikan Elang tak fokus dalam belajar, dan hidup semaunya saja. Ayahnya marah laksana kompeni melihat langsung anak tunggalnya kelas V SD belum bisa membaca, sekalipun dengan pengawalan dan disiplin belajar yang ketat diberlakukan.
Elang ketangkap basah di TKP belum bisa membaca oleh sang ayah yang terkenal sangat disiplin dalam pendidikan. Suatu waktu sang ayah pulang dari kota membawa kue roti dibungkus koran untuk dimakan Elang bersama ponakan perempuannya bernama Kartiani. Saat Elang lagi enak makan roti, ponakannya mengambil koran pembungkus roti tersebut untuk dibaca dengan lancar sambil mengeluarkan suara.
Mendengar itu sang ayah yang duduk dikursi sambil baca koran juga memperhatikan kelancaran Kartiani membaca, sementara Elang cuek saja sambil menikmati makan roti. Seketika koran di tangan sang ayah diberikan ke Elang untuk dibaca juga seperti ponakannya. Secara tiba-tiba ditodong membaca koran, membuat Elang kelabakan mencari alasan ke belakang. Namun sang ayah tidak mau berkompromi. “Duduk dan baca koran ini”, hardik sang ayah.
Pelan-pelan tangan Elang mengambil koran itu, tapi bukan untuk dibaca, tapi hanya diplototin gambarnya. Ayooo “Bacaaaa” hardik kedua sang ayah yang sudah mulai emosi. Belum juga dibaca apalagi mendengar suaranya fasih membaca seperti ponakannya. Ayooo “Baca-baca-baca” hardik ketiga ayah sambil berdiri dari kursi. Belum juga ada reaksi Elang untuk membacanya, justru hanya diam tertunduk.
Melihat kondisi itu, sang ayah baru sadar kalau anak tunggal kebanggaannya ini belum bisa membaca di usia kelas V SD. Seketika tangan mungil Si Elang ditarik kencang berdiri, lalu disuruh membuka semua pakaian yang melekat di tubuh. Sesaat kemudian diseret masuk kamar dikunci tidak bisa keluar sebelum bisa membaca.
Menghadapi anak tunggalnya yang belum bisa membaca di usia kelas V SD, sang ayah membuat kurikulum pendidikan sendiri dengan nama “Bakor sambi”. Istilah ini tidak termuat dalam kamus KBBI dan juga bukan bahasa Sulawesi. Bakor sambi berawal dari kebiasaan ayahnya yang pulang dari berdagang dengan membawa roti berbungkus koran. Jadi bakor sambi itu adalah akronim dari (baca koran sampai bisa) baru dikeluarkan dalam kamar. (Bersambung)
*Guru penulis Pesisir Selatan
Begitu si penulis merasa bangga, karena si buta huruf itu ternyata menjadi aktor generasi bangsa untuk jangan sampai terjadi hal yang sama, sehingga pandai membaca syarat boleh keluar dari ” penjara” itu.
Akhirnya si elang terbang mengangkasa menukik mencari generasi untuk pintar dan cerdas berliterasi.
Terimakasih guruku RIM yang telah mengajarkan aku menulis dan terbang menuju rumah baca di angkasa dan mampir di Bengkel Narasi.
Salam Sahabat Pena :
*** Yeldi Azwir ***