Oleh: Gugun Gunardi*
Di tengah keramaian kota dengan kepungan hutan beton yang diisi dengan berbagai mal, dengan iklan beragam diskon, dan berbagai apartemen dengan harga yang mahal buat orang kebanyakan, sesekali kita melihat warga Etnis Baduy melintas di pinggir jalan.
Dia berjalan dengan tak beralas kaki, mengenakan baju dengan kain yang sederhana, yaitu baju koko warna hitam, dan kain sarung atau celana pendek hingga lutut juga berwarna hitam, ditambah dengan ikat kepalanya berwarna biru.
Kalau ditanya, mereka menjawab hendak menjual madu atau koja (kantong dari kulit pohon) khas buatan orang Baduy, atau asesoris kerajinan para wanita Baduy. Kadang-kadang ada juga yang menjawab, hendak mengunjungi saudaranya di kota.
Orang Baduy, lebih suka jika mereka disapa dengan sebutan Orang Kanekes atau Urang Kanekes. Sebab kata ‘baduy’ merupakan sebutan dari peneliti Belanda, mengacu pada kesamaan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah.
Etnis Baduy atau Urang Kanekes, bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Pemukiman mereka berjarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung, pusat kota di Lebak, Banten.
Orang Baduy berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Mereka memang punya hubungan dengan orang Sunda, meski berbeda kepercayaan (Urang Baduy masih lekat dengan Kepercayaan Sunda Wiwitan).
Terdapat tiga lingkungan masyarakat di Baduy, yaitu Baduy Dangka, Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Warga Baduy Dangka, mereka sudah tinggal di luar tanah adat mereka. Mereka tidak lagi terikat oleh aturan atau kepercayaan Sunda Wiwitan yang sangat dijunjung Suku Baduy. Mereka pun sudah hidup normal seperti kita, mengenyam pendidikan, bekerja dan paham teknologi.
Kemudian, warga Baduy Luar, mereka yang masih tinggal di dalam tanah adat. Mereka pun masih menjunjung kepercayaan Sunda Wiwitan. Akan tetapi mereka, meskipun hidup di tengah kehidupan yang masih tradisional, mereka sudah melek teknologi. Ciri khas mereka terlihat dari pakaian serba hitam dan ikat kepala biru.
Yang terakhir, yang merupakan warga Baduy Dalam atau Baduy Jero. Mereka bermukim di pelosok tanah adat. Pakaian mereka serba putih.
Kepercayaan Sunda Wiwitan juga masih kental di Baduy Dalam. Warga Baduy Dalam, dianggap memiliki kedekatan dengan leluhur (karuhun). Mereka tidak mengenyam pendidikan, tidak melek teknologi, dan tentu saja tak beralas kaki. Hidup apa adanya dirasakan sebagai cara, untuk tetap dekat dengan Sang Maha Tunggal (Yang Maha Esa).
Keberadaan Warga Baduy Dalam, sangat dilindungi oleh Warga Baduy Dangka dan Warga Baduy Luar. Kedua lapisan masyarakat ini bertugas menyaring “hempasan informasi dari dunia luar”, sehingga adat istiadat Suku Baduy (baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar) tetap terjaga.
Warga Baduy Dangka banyak yang membuka usaha jasa pemandu wisata, tempat makan, dan menjual oleh-oleh, sedangkan warga Baduy Luar dan Baduy Dalam lebih banyak yang berternak dan bertani.
Persawahan (huma) di Desa Kanekes masih terjaga keasriannya, meski semakin banyak pabrik yang dibangun di Rangkasbitung.
Banyak yang mengatakan bahwa Barga Baduy di Pedalaman Banten, merupakan warga yang melarikan diri dari Kerajaan Pajajaran. Setelah runtuhnya Pajajaran. Tetapi ada juga yang menyebut mirip Mirip Orang Timur Tengah. Yang sebenarnya mereka adalah masyarakat yang menyimgkir dari pusat kekuasaan Pajajaran, karena mereka tidak mau menerima agama baru, yaitu agama Islam yang disebarkan melalui Kesultanan Banten.
Penamaan nama Baduy juga terdapat beberapa versi. Dalam dongeng yang muncul di kalangan masyarakat Banten sendiri, nama Baduy dipercaya berasal dari sungai yang mengalir di sana bernama Cibaduy. Ada juga yang mengatakan kalau Baduy berasal dari kata Baduyut karena pemukiman tempat mereka tinggal banyak tumbuh Pohon Baduyut, sejenis pohon beringin. Namun dalam budaya populer, kata Baduy dikisahkan pertama kali dimunculkan oleh penjajah Belanda yang menganggap warga Baduy mirip dengan orang Badui dari Timur Tengah.
Nama Badui kemudian berubah menjadi Baduy. “Memang saat penjajahan Belanda, orang Kanekes sudah bepergian ke Batavia (Jakarta) untuk berjualan madu dengan jalan kaki tanpa alas kaki, sehingga dianggap mirip orang Badui di Timur Tengah”.
Berdasarkan data dari Desa Kanekes, jumlah penduduk Baduy berjumlah sebanyak 11.700 warga Baduy Luar dan 1.500 warga Baduy Dalam. Mereka mendiami 65 kampung, dan tiga kampung berada di Baduy Dalam yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Kebiasaan hidup masyarakat Sunda terdahulu yang masih mereka pertahankan adalah; masih memegang Kepercayaan Sunda Wiwitan, bertani dengan cara berhuma yang berpindah tempat, berpakaian sangat sederhana, menjaga hutan sebagai bagian lingkungan hidup, menjaga kelestarian alam dengan tidak mengotori sungai, menghindari peralatan elektrik sebagai hiburan, tidak menerima listrik sebagai penerangan, dan tidak mengembangkan pendidikan formal. Menurut mereka pendidikan dalam menggarap tanah, atau bertani lebih utama dibandingkan sekolah. []
*Dosen Tetap Universitas Al Ghifari.