Perjalanan pagi itu membawa saya ke kediaman Dr. Gugun Gunardi, M.Hum di bilangan Cinunuk, Kabupaten Bandung. Tiba di lokasi, Abah Gugun-demikian beliau akrab dipanggil-membawa saya langsung ke ruang kerjanya. “Ya, inilah ‘Bengkel’ saya. Mohon maaf agak berantakan,” sambutnya.
Dosen yang baru saja purnatugas di Program Studi Sastra Sunda, Fakultas Sastra Unpad pada 1 September 2021 ini masih sibuk dengan sejumlah kegiatan mengajar dan webinar karena lanjut bertugas di Universitas Al-Ghifari, Bandung. “Sebentar, saya setting Zoom dulu. Pokoknya on dulu dan menyimak sebelum kita ngobrol,” jelasnya.
Saya ingat di peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional Februari lalu, Abah Gugun pernah menyampaikan keprihatinannya tentang eksistensi bahasa Sunda yang menurutnya berada pada titik nadir. “Semakin banyak orang Sunda yang melupakan bahasanya. Secara perlahan bahasa Sunda bisa hilang terkikis zaman,” paparnya.
Memang betul apa yang disampaikan Abah Gugun. Pengajaran bahasa Sunda di lingkungan perumahan semakin lama semakin berkurang. Sudah langka yang berbicara menggunakan bahasa Sunda, apalagi yang halus. Kalaupun ada, cenderung bahasa Sunda kasar, atau bahasa Sunda yang dicampur bahasa Indonesia. Secara bersamaan, masyarakat cenderung banyak menggunakan bahasa Indonesia atau mengajarkan bahasa asing ketimbang mengajarkan bahasa Sunda.
“Padahal, bahasa bisa menjadi suatu identitas budaya. Para ahli menyebut bahwa bahasa merupakan dasar suatu budaya. Jika bahasa Sunda hilang karena banyak masyarakatnya yang tidak menggunakan, budaya Sunda juga dikhawatirkan akan menghilang. Di Jawa Barat sendiri sebenarnya bahasa Sunda diajarkan dari mulai SD sampai SMA. Sayangnya, sekarang sangat langka ditemukan guru-guru TK yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar. Padahal bahasa ibu ditentukan saat anak masih kecil,” ujar Abah Gugun.
Diskusi pun berlanjut membahas tentang dampak pandemi COVID-19. Miris, hampir semua sektor kehidupan memang terkena dampak pandemi. Sebagai sesama anggota IKAPI, sudah jelas kami sangat terdampak. Bersyukur ada beberapa upaya pemangku kepentingan untuk membantu penerbit buku yang terkena dampak pandemi melalui organisasi IKAPI. Namun, diskusi menjadi lebih hangat ketika kami membahas tentang para penulis yang juga terkena dampak pandemi.
“Bagi penulis yang mengandalkan hidup dari naskah-naskahnya yang diterbitkan, pandemi COVID-19 ini benar-benar pukulan keras. Sudah ada beberapa penulis atau pihak keluarganya yang datang ke sini dan meminta bantuan. Prihatin sekali, bahkan ada yang perlu bantuan untuk sekadar makan atau membayar listrik,” ungkap Abah Gugun.
Diskusi kami memang belum menghasilkan solusi karena ada hal mendadak yang perlu saya bereskan. Saya pun pulang dengan sejumlah wacana menggelayut di pikiran. Perlu ada sebuah gerakan dan keberpihakan terhadap nasib para penulis. Jika penulis harus bergumul dengan masalah domestiknya masing-masing, bagaimana bisa menghasilkan karya-karya yang paripurna? Jika sejumlah penulis akhirnya terpaksa “gugur”, lalu bagaimana nasib literasi kita?
Beruntung saya sempat menyerahkan buku “Kado Buku untuk Sahabat” kepada Abah Gugun dan beliau langsung bersedia bergabung dalam grup WhatsApp Bengkel Narasi. bahagia sekali Bengkel Narasi mendapat anggota keluarga baru yang luar biasa hebat. Diskusi pun mulai kami sisipkan di sana.
Satu per satu artikel yang ditulis oleh Abah Gugun tayang di situs Bengkel Narasi. Namun, di taun 2024 ini frekuensinya agak berkurang, termasuk interaksinya pun berkurang di grup WhatsApp Bengkel Narasi. Selain ada yang datang berkunjung ke rumahnya, kami yang berdomisili jauh pun sempat berkirim WhatsApp pribadi dan bertanya tentang kabar beliau. Setelah beliau sempat mengatakan sedang sakit, maka informasi berikutnya muncul di grup WhatsApp Bengkel Narasi bahwa beliau telah meninggal dunia.
Innalillahi wa inna ilahi rajiun. Suasana berduka menyelimuti para pegiat literasi, terutama yang berada di Jawa Barat. Kami merasa sangat kehilangan sosok seorang bapak.
Beberapa waktu yang lalu, kami sempat membaca kembali tulisan-tulisan beliau. Entah mengapa, firasat kepergian beliau memang sudah tersirat di dalamnya, terutama dalam puisinya tentang bunga Tanjung.
Kini, Abah Gugun telah tiada. Namun, tulisan-tulisannya telah abadi. Seperti yang dikatakan oleh R.H. Wigandi Wangsaatmadja, kakaknya Abah Gugun, “Kita memang tidak bisa hidup dari karya tulis, tapi tulisan yang terus kita lahirkan akan menghidupkan penulisnya.”
Karena itu, untuk menjadikannya sebagai legacy, kami pun berinisiatif untuk mengumpulkan tulisan-tulisan beliau yang dibagikan di situs Bengkel Narasi, meskipun tidak semuanya, menjadi sebuah buku sederhana ini. Melengkapi apa yang sempat Abah Gugun tuliskan, “Bulan Agustus Bulan yang Penuh Barokah,” kami menambah satu lagi kenangan indah untuk Abah Gugun dengan terbitnya buku ini.
Buku ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama memuat tulisan-tulisan beliau yang bertemakan pendidikan, terutama tentang Basa Sunda. Bagian kedua memuat tulisan-tulisan beliau tentang Bandung, Jaw Barat, dan seni dan budaya Sunda. Bagian ketiga memuat tulisan-tulisan beliau tentang kehidupannya sejak masa kecil hingga momen-momen terakhir beliau berbakti sebagai seorang tenaga pendidik di Universitas Padjadjaran dan Universitas Al Ghifari Bandung. Bagian ketiga ini ditutup dengan tulisan beliau yang berjudul “Tuhan Memberi Kesempatan Kedua”, tetapi pada kenyataannya Tuhan tidak memberi kesempatan ketiga.
Semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari tulisan-tulisan Abah Gugun yang dikumpulkan dalam buku ini. Segenap doa kami panjatkan untuk Abah Gugun agar mendapatkan yang terbaik di dunia keabadian. Al-Fatihah…
Salam rindu,
Editor