Pada zaman dahulu kala, nenek moyang kita sebelum mengenal dan membuat rumah tempat tinggal, mereka tinggal di gua-gua batu dan di bawah pohon rindan atau “nomaden”, lambat laun mereka mulai berpikir untuk mendirikan tempat tinggal yang aman sebagai tempat kediaman mereka.
Tempat pertama yang mereka buat disebut, “Moo-Tchu” atau “Moo-Lee”, atau “gubuk kecil” yang hanya menggunakan dua kayu sebagai tiang dan atapnya ditutupi dengan daun nyiur “akadirutahan” untuk berlindung. Tetapi karena tempat ini tidak nyaman, sehingga mereka membuat lagi “Mua-Tchu” yang telah menggunakan empat tiang. Rumah ini sudah mempunyai dinding dari atas sampai ke bawah, tetapi belum ada tempat tidur, sehingga mereka hanya tidur saja di tanah. Meskipun rumah ini nyaman tetapi ketika pada musim hujan, banjir akan mengalir ke dalamnya.
Setelah itu mereka membangun lagi sebuah rumah yang bernama “Tchu-iaval” yang mempunyai empat tiang tinggi untuk berlindung dari air, dan karena tidak mempunyai tempat tidur, mereka membuat lagi tempat tidur dari bambu belah “hadak” di dalamnya yang ditopang oleh empat tiang pendek. Meskipun demikian, rumah ini belum nyaman dan proteksi dari para binatang liar, sehingga mereka membuat sedikit perubahan untuk mengganti tiangnya menjadi tinggi, sehingga rumah ini dinamakan “Lee-iaval” atau “rumah panggung bertiang empat”.
Selain dari tempat beristirahat dan berlindung dari binatang liar, Lee-iaval juga sebagai tempat untuk menyimpang dan berdoa bagi barang-barang keramat, karena sebelumnya mereka berdoa di gua-gua batu besar dan di bawah pohon besar yang rindang. Waktu pun berlalu dan mereka mulai berpikir bahwa barang-barang keramat itu tidak nyaman, agar supaya nyaman, maka harus diletakkannya terpisah dari mereka, sehingga mereka membuat tempat khusus untuk menyimpannya. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuat rumah adat atau rumah keramat.
Rumah keramat ini fungsinya bukan hanya untuk menyimpang barang-barang keramat saja di dalam, tetapi juga sebagai tempat aktivitas, aneka pemujaan upacara kultural di rumah itu. Dengan demikian sebelum membuat rumah mereka perlu mempersiapkan segala sesuatu seperti: melihat kondisi dan tempat; menyiapkan beraneka material kontruksi; menyiapkan binatang untuk disembelih; dan menyiapkan makanan.
Ketika mereka sudah menemukan tempat yang cocok, mereka segera menyiapkan beberapa kayu yang diperlukan untuk konstruksi rumah ini, sementara barang-barang keramat masih tersimpang di sebuah gubuk kecil yang telah mereka buat sebelumnya. Mereka juga akan membangun rumah sementara atau Lee-Iaval untuk mengetahui ukuran sebenarnya sebelum memotong tiang-tiang besar yang akan digunakan untuk membangun rumah ini.
Dari dasar sampai ke atap, dari bawah ke atas, dimulai hingga berakhir semuanya dikerjakan pelan-pelan, tabah dan fokus dalam pikiran hingga rumah sementara Lee-iaval ini selesai berdiri. Meskipun rumah ini sudah berdiri, nenek moyang kita belum memanggilnya rumah adat atau rumah keramat, karena masih ada proses panjang yang perlu diselesaikan.
Mereka harus mengumpulkan semua sanak-saudara, famili, keluarga, handai taulan, dan tokoh adat untuk memutuskan proses mendirikan empat tiang ini, sehingga memakan waktu yang lama karena jaraknya yang jauh. Dengan demikian mereka juga membagi kelompok untuk menentukan tempat atau jarak yang ditempuh, sehingga mereka akan memasak makanan untuk memberi makan bagi mereka yang memotong kayu dan menarik tiang-tiang besar itu secara bergotong-royong.
Dalam proses memotong tiang-tiang ini, akan menemui beberapa kesulitan seperti, ada kayu yang menangis karena tidak mau dipotong atau pertanda tanah yang retak. Sehingga para tokoh adat harus melakukan pemujaan supaya dapat membatasi rintangan dan halangan ini sampai proses potong kayu ini selesai.
Ketika proses pemotongan sudah berakhir, mereka semua bergotong-royong untuk menariknya sampai ke tempat tujuan mendirikan rumah. Dalam proses ini mereka akan beristirahat di tempat yang telah ditentukan untuk makan dan minum sopi bersama, “Leu leu le” alias “bersenda-gurau”, berteriak dan bernyanyi bersama, setelah itu baru mereka melanjutkan menarik kayu-kayu tiang besar ini sampai ke tempat tujuan untuk mendirikan rumah-adat ini. Proses ini mereka melakukannya berulang kali sebanyak empat kali sampai empat kayu tiang ini lengkap.
Ketika empat tiang ini sudah lengkap, keluarga besar dan tokoh adat akan berkumpul, mereka akan menyembelih binatang, memuja dan memohon kekuatan dari nenek moyang mereka supaya memberikan kekuatan bagi tiang-tiang ini. Dengan demikian mereka akan mengotong satu per satu tiang dan mendirikannya sesuai dengan yang telah disumpahinya atau dipujanya.
Selanjutnya, mereka akan membawa barang-barang keramat dan apa saja yang merupakan bagian dari rumah keramat ini untuk disimpan di dalamnya. Akhirnya, ketika semua proses ini sudah selesai keluarga dan tokoh adat akan berkumpul sekali lagi untuk melakukan pemujaannya. Mereka akan menyiapkan binatang dari yang terkecil sampai yang terbesar seperti (ayam, babi, kambing, kerbau, dsb…), untuk melakukan pesta rumah-adat melalui tarian, tebe-tebe, bersorak-sorai dan bersenang-senang, serta aktivitas terakhirnya adalah adu ayam atau sabung ayam.
Sebelum melakukan aktivitas adu ayam, tokoh adat akan melakukan pemujaan dan menyembelih binatang supaya mereka dapat menghindari masalah dan segala marabahaya supaya aktivitas ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Prosesnya panjang, sehingga memakan waktu yang lama sampai sepuluh tahun atau lebih supaya nenek moyang kita dapat mendirikan dan menyelesaikan rumah-adat ini sesuai dengan impian mereka.
Sampai sekarang rumah-adat itulah yang merupakan rumah-adat atau rumah-keramat tradisional sejak nenek moyang kita mewariskannya hingga ke generasi sekarang, kita dapat mengenal dan selalu menirunya apa yang telah mereka lakukan sebagai warisan dari nenek moyang kita pada kita semuanya. “Karena itu rumah-adat Lautém juga dikategorikan sebagai identitas kultural yang mewakili multikultural Timor bagi dunia umumnya, dan sebagai simbol Timor Leste”. Rumah juga sebagai istana tempat kita beristirahat, berlindung, berkumpul bersama keluarga, menyimpang harta karung, serta identitas bagi keluarga itu sendiri, sehingga kita dapat mengetahui darimana asal-usul kita sebenarnya.
Aldo Jlm
Edisi, 010724