Pada jaman dahulu kala (sebelum pendudukan kolonial Portugis), Ira-lalaro yang kita kenal sekarang sebagai danau terbesar di Timor Leste, dulu merupakan sebuah kampung kecil yang dihuni oleh sebelas kepala keluarga. Di kampung ini terdapat seekor naga besar yang hidup di gua pohon besar. Ketika semua orang sibuk ke kebun dan ke sawah tinggal anak-anak yang tinggal di rumah, naga ini berubah wujud menjadi seorang kakek tua yang berambut putih datang dan bermain dengan anak-anak di kampung itu. Dan ketika mereka mendekati pohon besar tempat bersemayang naga, anak-anak selalu hilang dan sudah tiga anak yang hilang di kampung itu.
Kejadian ini menjadi kekhawatiran dari para keluarga yang kehilangan anak dan hidup bersama di kampung itu, tetapi mereka tidak tahu-menahu tentang alasan dari kasus ini. Sampai suatu saat mereka mendapat informasi dari anak-anak tentang “kakek berambut putih” yang sering datang bermain bersama mereka beberapa hari yang lalu, mereka mulai mendeteksi dan mengambil kesimpulan bahwa nagalah yang menjadi aktor dari kasus ini.
Pada suatu hari mereka mulai merencanakan untuk membunuh naga ini, dan pada saat itu orang-orang dewasa semuanya bersembunyi dan menyuruh anak-anak bermain di luar untuk memancing naga besar ini keluar dari persembunyiannya. Rencana mereka berhasil, dan mereka mulai berhati-hati, dan mengikuti langkah naga ini, ketika dia berada di jalan yang jauh dari persembunyiannya, mereka mulai keluar dan membunuhnya.
Mereka semua bergembira karena telah berhasil membunuh naga yang mencuri anak-anak ini, karena telah meresahkan kehidupan mereka dalam ketakutan di kampung itu. Setelah membunuh naga ini, mereka mengadakan pesta besar di kampung itu dan mengundang sanak saudara mereka dari kampung tetangga juga semuanya datang ikut berpartisipasi. Mereka semua bersukaria dengan tari-tarian (tebe & dahur), menyanyi dan minum sopi bersama selama sepekan.

Ketika pesta masih berlanjut, seketika seekor ayam jantan berkokok dengan bahasa daerah fataluku “kokorikole lo atu ira apacau” atau “kukuruyuk tsunami sudah dekat”. Tetapi banyak orang di pesta itu tidak mendengarnya, hanya seorang nenek tua yang tinggal di rumah itu yang mendengarnya. Nenek tua ini keluar dari rumahnya dan pergi ke pesta itu untuk memberitahukan pada semua orang yang hadir di sana, tetapi mereka tidak percaya. Tidak lama kemudian, ayam jantan ini berkokok sekali lagi, dan nenek ini dengan cucunya mulai menjauhi dari tempat tersebut. Tidak lama kemudian air mulai naik dan banyak orang mulai heran dan takut berlarian untuk menyelamatkan diri.
Pada saat itulah orang-orang kuat saja yang lari dan dapat menyelematkan diri, tetapi kakek dan nenek semuanya ditinggalkan disana dengan pesan bahwa, “anak cucu mereka akan selalu memuja dan mengenang nenek-moyang mereka”. Menurut cerita bahwa, nenek dan kakek mereka yang ditinggalkan pada saat tsunami itulah yang berubah menjadi buaya dan saat ini mendiami di danau Ira-lalaro tersebut. Sehingga sampai saat ini para komunitas yang tinggal dekat di danau ini selalu memanggil buaya itu dengan sebutan “kakek-nenek” mereka.
Sumber mata air danau Ira-lalaru itu disebut “Loina” atau dikenal dengan sebutan “Lata Lafai” atau “Kampung Besar”. Sehingga sampai saat ini, pada musim kemarau panjang, kita masih melihat tiang-tiang rumah adat Lospalos masih berdiri kokoh di danau itu, ketika air danau surut hingga ke sumber mata airnya.
Itulah sepenggal cerita tentang kronologi legenda danau Ira-lalaro, yang terbesar dan terkenal di bumi Lorosa’e atau Timor Leste, yang terletak di bagian timur tepatnya di Munisipiu Lautém-Lospalos.
Lospalos, 8 juli 2024