“Masa kalah sama saya yang seorang ABC, gini2 dah berani nerbitin buku,coba tanya si XYZ, sudah nerbitin buku apa belum?”

Di mata seorang guru, pernyataan di atas benar benar berseberangan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Apakah mungkin seorang anak di tuntut untuk jago dalam menulis buku?

Setiap orang memiliki bakat dan minatnya sendiri, jika seseorang itu tidak bisa menerbitkan sebuah buku apakah berarti orang tersebut tidak mampu mengerjakan sama sekali.

Betapa pernyataan itu mematikan bakat dan tidak mengakui bakal lain yang tentunya dimiliki oleh orang lain.

Mungkin cerita ini sudah sering didengar, ketika seekor ikan dipaksa untuk memanjat, seekor kera dipaksa untuk terbang, seekor burung dipaksa untuk menyelam.

Setiap anak diciptakan dengan fitrahnya sendiri, ada yang terlahir dengan bakat menulis, ada yang terlahir dengan bakat seni, ada yang terlahir dengan sisi empati yang tinggi, dan lainnya.

Seperti contoh seorang Nadie Makarim yang pernah bercerita bahwa dia mampu mengorganisir banyak orang, namun dia sadar bahwa dia memiliki kekurangan tidak mampu mengingat jalan. Bercermin dari cerita itu bahwa tiap orang memiliki kemampuan masing masing dan bukan untuk diadu, namun untuk saling melengkapi.

Intinya mari kita saling menghargai kelebihan masing masing, namun saling melengkapi atas kekurangan satu sama lain. Tiap orang itu beda, dan berbeda itu indah.

(Visited 14 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.