Bagian 1: Permulaan yang Sulit
Di sebuah desa kecil, tinggallah seorang ibu bernama Bu Sari, yang hidup sederhana bersama anak semata wayangnya, Jaya. Sejak suaminya meninggal dunia beberapa tahun lalu, Bu Sari membesarkan Jaya seorang diri. Meski hidup dalam kesederhanaan, Bu Sari selalu mengutamakan pendidikan untuk Jaya, berharap anaknya bisa menempuh jalan yang lebih baik dari dirinya.
Namun, Jaya berbeda dari anak-anak lain. Ia dikenal sebagai anak yang nakal dan malas belajar. Hampir setiap hari Bu Sari dipanggil ke sekolah karena kelakuan Jaya yang kerap membuat onar. Nilai-nilai akademiknya pun selalu jauh dari harapan. Bu Sari tak jarang mendapati dirinya menangis dalam doa, memohon agar Tuhan menyentuh hati anaknya.
Jaya tak peduli. Baginya, sekolah hanyalah tempat membuang waktu. Ia lebih suka bergaul dengan teman-teman yang senang bermain dan bersenang-senang tanpa arah. Hampir tak ada hari yang terlewat tanpa masalah di sekolah. Guru-guru mulai putus asa, menganggap Jaya tak punya masa depan yang cerah.
Namun, ada satu hal yang tak pernah berubah doa, Bu Sari. Setiap malam, saat Jaya tertidur lelap, Bu Sari duduk di pinggir ranjang anaknya, menatap wajahnya yang tenang dalam tidur. Dalam hati, ia selalu berbisik, “Tuhan, tolonglah Jaya“. Sentuh hatinya. Jangan biarkan dia tersesat. Berikan dia hikmat untuk memahami betapa pentingnya pendidikan.”
***
Bagian 2: Tanda Awal Perubahan
Doa-doa Bu Sari yang tulus mulai terasa bagaikan angin lembut yang meresap ke dalam hati Jaya. Pada suatu hari, di tengah keisengannya di kelas, Jaya memperhatikan gurunya yang sedang menjelaskan tentang masa depan. Kata-kata gurunya tentang bagaimana pendidikan bisa mengubah hidupnya tiba-tiba menancap di benak Jaya. Entah mengapa, hari itu dia merasa tak biasa. Seolah ada yang menggerakkan hatinya untuk berpikir ulang tentang hidupnya selama ini.
Setibanya di rumah, Jaya melihat ibunya sedang berdoa seperti biasa. Rasa bersalah tiba-tiba menyelinap di hatinya. Ia tahu ibunya mendoakan dirinya setiap hari, berharap agar Jaya berubah dan bisa berhasil. Namun selama ini, ia tak pernah benar-benar peduli. “Mengapa ibu begitu peduli padaku, padahal aku sering mengecewakannya?” pikir Jaya.
Jaya mulai duduk di samping ibunya, memperhatikan doa yang dipanjatkannya. Meskipun ia tak berkata apa-apa, kehangatan doa itu terasa menyentuh hatinya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Jaya tidur dengan perasaan damai, dan ia mulai berpikir untuk memberikan kesempatan pada sekolah.
***
Bagian 3: Langkah Pertama yang Berat
Hari-hari berikutnya, Jaya mulai sedikit berubah. Meskipun masih sering malas, ia mencoba untuk mendengarkan guru-gurunya di kelas. Ia tahu ini bukan hal yang mudah. Selama ini, ia sudah tertinggal jauh dari teman-temannya. Namun, setiap kali ia merasa putus asa, ia ingat akan wajah ibunya yang penuh harap dan sabar dalam doanya.
Namun, bukan berarti perubahan Jaya terjadi seketika. Ada banyak rintangan yang harus dihadapinya, termasuk olok-olok dari teman-temannya yang menganggap Jaya tidak serius. Tapi Bu Sari terus menguatkannya, tak henti-hentinya berdoa dan memberikan dorongan. “Nak, ibu yakin kamu bisa. Jangan menyerah. Tuhan selalu mendengar doa kita,” katanya dengan penuh kelembutan.
Jaya mulai membulatkan tekad. Meskipun sulit, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa berubah, bahwa doa ibunya tak sia-sia.
***
Bersambung…..
(Bagian selanjutnya akan menggambarkan bagaimana Jaya berjuang keras di sekolah, menghadapi berbagai tantangan hingga akhirnya mencapai keberhasilan yang diinginkan Bu Sari melalui kekuatan doanya.)
by profa Elvira’24