Oleh: Emeraldy Chatra*

Selepas Subuh tadi, istri saya ditelpon temannya, seorang dosen PTN di Padang. Sebutlah namanya Sinta. Sinta menceritakan nasib anaknya kepada istri saya. Anaknya itu, Rama, kuliah di jurusan ilmu komunikasi, juga di sebuah PTN di Padang. Artinya, Rama mahasiswa saya.

Saya mendengar langsung pembicaraan Sinta dengan istri saya dari gawai yang dikuatkan volume suaranya. Tapi saya memberi isyarat pada istri agar tidak memberi tahu Sinta saya ada di sebelahnya. Saya sudah tahu Rama, anak Sinta sejak beberapa bulan lalu. Rama sendiri yang mengatakan kepada saya siapa ibunya.

Rama sekolah di Negara Bagian Perak, Malaysia sampai tamat SD. Ia ikut ibunya yang sedang mengikuti program doktor. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Padang, masuk ke SMP dan SMA paling bergengsi.

Rama anak cerdas. Selama sekolah di Malaysia, ia pernah menjuarai perlobaan sains di Negara Bagian Perak dan mendapat hadiah RM 300. Guru Besar (Kepala Sekolah) pun mengangkatnya menjadi ketua kelas.

Sekarang, Rama mengalami bipolar. Ia sering mengalami mimpi buruk, tantrum, dan tidak dapat mengontrol emosi. Sejak mengalami bipolar, ia rutin berobat ke salah satu rumah sakit swasta.

Masalah kejiwaan yang dialami Rama berawal dari acara pemilihan ketua angkatan. Ia dibuli oleh sembilan orang mahasiswa. Rama tidak dapat menerima cercaan dan makian yang ditujukan kepadanya.

Tentu saja saya berempati kepada Rama atas kejadian buruk yang ia alami. Sayang sekali kalau anak secerdas Rama harus mengalami nasib buruk seperti itu.

Namun saya pun bertanya, mengapa ‘hanya’ karena bully-an maka seorang anak cerdas bisa mengalami gangguan kejiwaan? Setahu saya sudah lebih dari lima mahasiswa departemen saya yang bipolar. Jadi bukan hanya Rama. Jumlah itu sangat banyak karena tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah dulu, di zaman penjajahan rakyat mengalami tekanan yang sangat berat, tapi gangguan jiwa tidak menjadi isu penting? Ada apa dengan Rama? Ada apa dengan mahasiswa sekarang? Ada apa dengan Gen Z?

Saya sendiri pernah mengalami bulian mahasiswa senior ketika pertama kali menjejakan kaki di Universitas Padjadjaran sebagai mahasiswa baru. Bully-annya justru lebih menakutkan. Saya sempat disekap dan diancam dibunuh. Tapi kejadian itu tidak menyebabkan saya bipolar.

Saya tidak bermaksud mengatakan secara individual saya lebih kuat ketimbang Rama atau mahasiswa bipolar lain. Sebagai anak baru di sebuah lingkungan saya dan Rama sama-sama lemah. Apalagi waktu itu saya sangat jauh dari kampung dan orang tua.

Tapi mungkin – ini hipotesis – saya mengalami eksternalisasi dan internalisasi yang berbeda. Saya tidak dibesarkan untuk menjadi orang penakut. Tidak pula untuk menjadi orang yang merasa rendah diri.

Ketika diintimidasi oleh senior saya justru mengatakan kepada mereka, “Saya orang Minangkabau ke sini hanya punya satu pilihan dari dua. Jadi sarjana atau mati. Pikirkan itu!” Ucapan itu membuat nyali senior menjadi ciut. Mungkin mereka saya pesilat dari Minang atau jago bela diri, hahaha.

Ketika saya disekap – beberapa hari setelah diintimidasi – saya diancam dengan senjata tajam. Ada lebih kurang 10 orang senior mengelilingi saya di sebuah kelas di dalam kampus. Waktu itu menjelang Magrib, kampus sudah sunyi.

Alhamdulillah, kemampuan berdiplomasi yang entah dari mana datangnya membuat senior-senior itu melepaskan saya. Penyekapan berakhir damai.

Para penyekap yang dikenal sebagai gangster dalam kampus akhirnya menjadi teman-teman baik saya. Kami berkomunikasi dengan baik dan saling menghargai.

Anak-Anak Lemah

Mengapa anak-anak sekarang lemah? Nampaknya ada kecacatan dalam teori pendidikan yang diajarkan, tapi tidak pernah dikritisi.

Anak-anak sekarang mengalami overprotective. Terlalu dilindungi oleh orang tua. Terlalu dimudahkan. Tidak diberi tantangan berat dalam hidup mereka. Kelak, ketika tumbuh dewasa mereka tidak akan sanggup menahan beban berat yang diletakan di pundaknya.

Anak-anak itu harus diberi kesulitan, tidak dimanjakan dan selalu dimudahkan. Mereka harus dikondisikan untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Tidak boleh cengeng. Terutama sekali kepada anak laki-laki. []

*Akademisi Universitas Andalas Padang

(Visited 35 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Inspirasi Daerah

Inspirasi Daerah memuat narasi pemerintahan daerah seluruh Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.