Wanita cantik itu bernama Dea. Parasnya nan ayu kerap kali membuat jatuh cinta seorang pria. Dea sejak kecil sudah terlihat cantik dan rajin. Dia rajin menuntut ilmu dan berpuasa sunnah. Dari kerajinan dan kecantikannya itu banyak pasang mata menoleh padanya, karena orang yang melihat dan mengetahui Dea pasti akan takjub. Ditambah etikanya yang sangat sopan, membuatnya semakin dikagumi.
Menapaki sekolah dasar, menengah pertama, Dea masih fokus dengan sekolahnya, barulah di tingkat menengah atas, benih – benih cinta itu mulai muncul. Perasaan hatinya yang membara, sukses membersamai masa remajanya. Dea mulai menanggapi cinta itu. Dia kasmaran dengan lawan jenis. Dea mulai mengenal apa itu wartel cinta, bagaimana dia berlari saat ada panggilan masuk dari sambungan telpon di kost – kostannya. Seinten itu, sesenyap itu, semerdu itu saat dia berbicara melalui telepon dengan lawan jenisnya. Ya, Dea telah memiliki kekasih. Perasaannya merindu, jiwanya bergetar, suka citanya terbongkar saat bagaimana dia menceritakan kekasihnya itu pada teman mainnya.
Beralih ke Perguruan tinggi, Dea meninggalkan puing – puing cinta yang telah dibangunnya. Hubungan itu masih berlanjut namun tanpa kepastian. Namun entah kenapa pada saat itu Dea berada di posisi yang sangat sabar, dia tetap sabar walau tanpa dihubungi kekasihnya, tetap sabar walau digantung. Hingga lagu gantung dan lirik yakinkan aku Tuhan dia bukan milikku, biarkan waktu, waktu hapus aku selalu menemani hari – harinya. Sampai akhirnya Dea memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Setelah itu banyak laki – laki yang hadir di hidup Dea. Menjalin hubungan asmara dengan banyak pria, hingga terkadang Dea menduakan pria yang sedang dipacarinya.
Setelah lulus kuliah Dea pun bekerja, selang berapa waktu dia menemukan tambatan hatinya dan sebagai kekasih ke-sekian kalinya. Tak disangka laki – laki itu adalah jodoh Dea, dengan izin dan ridho yang Maha Kuasa Dea pun menikah dengan laki – laki itu, hidup dengan bahagia dengan penuh cinta. Saat bersamanya Dea sangat diratukan, disayangi, bahkan Dea adalah separuh nyawanya. Hari – hari Dea dipenuhi mawar merah kebahagiaan, kata – kata mutiara menjadi sarapan pagi, canda tawa mesra menjadi irama bersenandung rasa. Dea hanyut dalam mahligai cinta yang sangat diharapkan banyak orang, hingga ditinggal pergi sebentar saja bak perpisahan setahun lamanya. Sampai pada akhirnya rocket menghujam tajam jantung Dea. Hatinya begitu perih teriris, raganya tak kuasa menahan beban. Tak sudi makan, badan terasa panas membara walau mandi dengan es abadi dari puncak jaya, pikiran tak menentu.
Dalam hitungan tahun – tahun berikutnya Dea harus merelakan hubungan itu untuk diakhiri dan berpisah. Hari – hari Dea dipenuhi tangis, rasa sedih, rasa tak percaya jika harus berpisah. Dea sangat tidak ikhlas melepaskan pria yang sangat dicintainya, pria yang sangat meratukannya, pria yang begitu lembut namun pekerja keras. Hati Dea selalu gundah dalam menjalani hari – hari, sebagai pelampiasan Dea jadi makan banyak. Untuk menepis rasa sedih dan tangisnya, Dea sering mengunjungi restoran di sekitar tempat kerjanya hanya untuk makan dan merasakan menu baru sebagai teman pelipur lara. Bagaimana tidak, pria itu adalah pelabuhan terakhirnya namun hatinya remuk oleh kisah itu. Benar saja, akhirnya Dea memutuskan untuk tidak mencintai lelaki mana pun, Cintanya telah berhenti dan hanya singgah pada pria itu yang pernah syah dalam hidup Dea.
Selang satu dekade Dea pun kembali mengukir mahligai hati dalam hubungan yang syah kembali. Dea pikir setelah cukup lama sendiri dan menemukan pria baru, akan menjadi angin segar buatnya. Pria itu nampak lebih bersemangat, selalu mendukung Dea, dan lebih terkesan berbuat cepat dan tanggap seperti yang Dea harapkan. Namun tujuan Dea bersamanya hanya untuk menjalin mahligai cinta secara syah dengan tuntunan agama tanpa melibatkan perasaan hati, karena cinta Dea telah berhenti di orang pertama. Awal – awal hubungan seperti biasa nampak indah dan terkesan lebih dewasa dari sebelumnya. Dea pun menyongsong tahap – tahap masa depan bersamanya, hingga pria itu membantu meninggikan karir Dea. Namun siapa sangka dalam hitungan waktu secepat kilat, pria itu tantrum, abuse, selalu ingin dituruti kemauannya, membuat Dea bingung, selalu menyalahkan Dea, sampai pada fase puncak, pria itu menghancurkan karir Dea yang awalnya seolah membantu.
Dea merasa tak percaya, seperti tertipu, shock, bahkan lebih shock dari yang pertama. Di hubungan yang ke- dua itu bukan lagi masalah hati, tapi sudah di fase menghancurkan karir, hidup, dan banyak hal dari Dea. Hampir frustasi, Dea memikul beban berat bahkan hidup Dea di bawah garis nol, di bawah titik kulminasi. Dea pun dengan tegas untuk mengakhiri hubungan yang ke- dua kalinya. Walau pria itu meminta maaf dan meminta kembali, Dea sudah tak sudi dengan pria itu. Drama pun berakhir dan Dea harus kembali menjalani kehidupannya mulai dari nol lagi. Mendamaikan hati, membangun pola pikir kembali, berusaha tersenyum dan bangkit lagi.
Akibat dari hubungan yang ke-dua itu membuat Dea mengalami traumatis yang cukup parah dengan lawan jenis. Dalam kesendirian Dea berpikir dan merenung bahwa cinta yang selama ini dicari dan dilakukannya hanyalah pencarian hitungan yang tanpa menemukan nilai.