Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Sejarah bangsa ini pernah mencatat ibu pertiwi melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang tidak hanya mempersembahkan kemerdekaan, tetapi juga mengguncangkan panggung dunia. Mereka adalah singa podium, bukan macan ompong yang melempem di hadapan kapitalisme global dan koruptor perampok uang negara.

Tiga nama layak dikenang: Bung Tomo, Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto.

Bung Tomo, dengan orasi “Merdeka atau Mati” dan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka,” menjadi simbol perlawanan yang membakar semangat arek-arek Surabaya melawan Belanda dalam pertempuran 10 November 1945.

Bung Karno, sang proklamator, adalah orator ulung yang mengguncangkan dunia. Pada Sidang Majelis Umum PBB 1960, ia menyampaikan pidato legendaris “To Build The World Anew.” Pesannya tentang “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau Jas Merah tetap menggema hingga kini.

HOS Tjokroaminoto, guru Bung Karno, pernah berpesan kepada muridnya, “Jika engkau ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator.” Pesan ini dibuktikannya dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, ketika dengan lantang ia melontarkan ide kemerdekaan yang menggetarkan jiwa rakyat.

Mereka bertiga adalah contoh pemimpin yang menjaga konsistensi antara kata dan perbuatan. Apa yang mereka ucapkan adalah apa yang mereka perjuangkan, tanpa kompromi. Bagi mereka, pemimpin dipegang pada ucapannya, bukan sekadar retorika pagi tahu, sore tempe.

Konsistensi itulah yang membuat sebuah bangsa besar. Lihatlah Cina. Pada 1970-an, Cina tidak ada apa-apanya, tertinggal di bawah bayang-bayang dua raksasa dunia, Amerika Serikat dengan NATO dan Uni Soviet dengan Pakta Warsawa. Namun kini, Cina menjelma menjadi kekuatan raksasa.

Apa kuncinya? Konsistensi. Cina memiliki pemimpin dengan gagasan besar, tekad besar, dan daya juang besar. Langkah pertama mereka adalah membangun pondasi bangsanya dengan membersihkan Cina dari koruptor. Kini, dua raksasa sebelumnya—Amerika dan Rusia—dilumat oleh ekonomi dan teknologi Cina.

Indonesia juga negara besar. Tapi, apakah kita konsisten dengan kebesaran itu? Faktanya, paradoks justru bertebaran. Kita masih punya pemimpin besar, tetapi yang besar hanyalah rumahnya, tanahnya, rekeningnya—bukan gagasan, tekad, atau daya juangnya.

Jeffrey Winters pernah berkata, “Indonesia dikuasai para maling.” Pemberantasan korupsi masih setengah hati, bahkan cenderung selektif. Lawan politik dikejar sampai ke lubang tikus, sementara kawan politik dipelihara. Apakah KPK dan kejaksaan bekerja berdasarkan pesanan? Sahabat pembaca silakan menilainya sendiri.

Memberantas korupsi, membangun bangsa, membutuhkan pemimpin sejati, bukan pemimpin omon-omon. Pemimpin omon-omon hanyalah simbolisme tanpa substansi. Mereka mengingkari janji politiknya dan hanya memperbesar kepentingan pribadi.

Kita membutuhkan pemimpin seperti Bung Tomo, Bung Karno, dan HOS Tjokroaminoto—pemimpin yang bukan hanya mampu menginspirasi rakyatnya, tetapi juga menjaga janji dan integritasnya. Jika bangsa ini ingin kembali menjadi besar, kita harus meninggalkan pemimpin omon-omon dan menatap ke depan dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan. []

*Penulis buku “Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan”

(Visited 67 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.