Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Indonesia adalah negeri kaya raya. Negara ini tercatat sebagai pemilik cadangan emas terbesar kelima di dunia. Menurut data Booklet Emas Kementerian ESDM tahun 2020, Indonesia memiliki 14,96 miliar ton sumber daya bijih emas, 10.000 ton sumber daya logam emas, 3,56 miliar ton cadangan bijih emas, dan 5.000 ton cadangan logam emas. Dari total kekayaan emas dunia, sekitar 5 persen berada di Indonesia.

Namun, jika kita menengok ke tanah Papua, pemilik 52 persen dari total cadangan emas Indonesia, paradoks mencolok mengusik nurani. Di sana terdapat tambang Grasberg, salah satu tambang emas terbesar di dunia, yang menghasilkan sekitar 3 juta ons emas per tahun—setara dengan 240 kilogram emas murni setiap hari. Kekayaan yang luar biasa besar ini seharusnya mampu menjadikan rakyat Papua hidup makmur dan sejahtera. Namun, kenyataan berbicara lain.

Ironi di Papua begitu menyayat hati. Alih-alih hidup dalam kesejahteraan, masyarakat Papua justru terjebak dalam kemiskinan struktural yang mencekik. Kemiskinan ini bukan sekadar akibat minimnya akses, tetapi hasil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sengaja diciptakan untuk mengabaikan keadilan bagi rakyat Papua.

Seorang ibu dengan bayinya terlihat membawa segenggam daun ubi ke warung untuk ditukar dengan garam, minyak goreng, dan mi instan. “Katanya mau masak, tapi tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimasak,” ujar ibu itu dengan nada pasrah. Pemandangan ini tidak hanya menggambarkan kemiskinan, tetapi juga kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam demi rakyatnya.

Pemandangan lain menunjukkan seorang anak kecil berjalan tertatih-tatih membawa satu buah durian untuk ditukar dengan beras di pos TNI di perbatasan. Di atas tanah yang kaya emas, anak-anak Papua harus berjuang keras hanya untuk bertahan hidup. Hak mereka untuk menikmati kekayaan alam negerinya terampas oleh kebijakan yang tidak berpihak. Masa depan mereka yang seharusnya cerah justru terselubung dalam kabut ketidakpastian.

Pertanyaan besar yang menggema adalah: ke mana hasil emas Papua selama ini? Bagaimana mungkin tambang emas yang menghasilkan ratusan kilogram emas setiap hari tidak membawa dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat setempat?

Kemiskinan yang dialami rakyat Papua adalah kemiskinan yang dibiarkan. Ini bukan sekadar soal kurangnya pendapatan, tetapi tentang ketidakmauan penguasa untuk mendistribusikan kekayaan sumber daya alam secara adil. Sejak kemerdekaan, rakyat Papua dipaksa memeluk kemiskinan di tengah tumpukan emas negerinya.

Kemiskinan struktural adalah cermin dari kegagalan sistemik. Struktur sosial yang tidak adil membuat sebagian masyarakat tidak mampu mengakses sumber daya yang tersedia. Kondisi ini tidak akan berubah jika penguasa terus abai terhadap keadilan distribusi.

Papua adalah simbol ketidakberdayaan negara. Ibu yang menukar daun ubi dan anak yang menenteng durian adalah potret kecil dari luka besar di tanah Cendrawasih. Mereka adalah suara yang memanggil kesadaran kita, bahwa kekayaan alam harusnya menjadi berkah, bukan kutukan.

Tuan-tuan yang terhormat, sampai kapan rakyat Papua akan terus memeluk kemiskinan mereka? Apakah kita akan membiarkan mereka berjalan sendiri, tertatih-tatih, di atas tanah emas yang mengkilau hanya untuk dinikmati segelintir orang? Negeri ini butuh keberanian untuk meluruskan ketidakadilan. Karena tanpa itu, kemakmuran hanyalah ilusi, dan Papua akan terus menjadi simbol pengkhianatan terhadap keadilan sosial. []

*Penulis adalah akademisi dan penulis buku-buku politik dan kepemimpinan.

(Visited 70 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.