Oleh: Tammasse Balla

Dulu, aku hanyalah seorang musafir yang menapaki jalan sunyi. Aku tak lebih dari seorang pengelana yang lebih akrab dengan lembaran-lembaran buku daripada pelukan hangat seorang kekasih. Aku melangkah di lorong-lorong Fakultas Sastra Unhas seperti bayang-bayang yang menghindari siluet senja, memetik makna dari syair-syair lama, sementara rekan-rekanku menari di bawah bintang asmara.

Aku tak mengenal harum mawar cinta, tak pernah menggenggam jemari yang bergetar oleh rindu. Kata orang, aku seperti ranting yang tak pernah disinggahi burung, seperti padang luas tanpa embun pagi. Mereka mengejekku, menertawakan kesunyianku, seolah-olah kesendirian adalah kehampaan yang menyedihkan.

Ibuku, wanita yang wajahnya serupa rembulan yang selalu bersinar dalam hidupku, pernah menatapku dengan mata berkabut. “Kasihan engkau, Nak,” ucapnya, seperti angin yang menyapa ranting tua. Aku tersenyum, meyakinkannya dengan keteguhan yang kujaga di dalam dada. “Akan ada waktunya, Ibu,” kataku. “Akan tiba saatnya langit mempertemukanku dengan bintang yang sepadan.”

Benar saja, takdir memutar roda kehidupanku dengan irama yang tak bisa ditebak. Di antara kepungan buku dan denting raket bulutangkis, aku menemukan dia—sang cahaya yang mengusir remang dari jiwaku. Seorang calon dokter, yang di wajahnya tersimpan samudra kasih dan di matanya berpendar kelembutan.

Dia datang seperti angin sejuk setelah musim kemarau panjang, seperti hujan pertama yang mengetuk jendela tanah gersang. Aku menatapnya, seperti peziarah yang menemukan oase di tengah padang tandus. Tanpa ragu, tanpa bertanya pada waktu, aku menggenggam tangannya dan berkata, “Kau adalah takdir yang kutunggu.”

Kami mengayuh bahtera rumah tangga, melintasi gelombang kehidupan dengan dayung kesabaran. Tahun demi tahun, kami merajut kebahagiaan, menenun suka dan sering ada kesulitan, hingga lembaran hidup kami menjelma kisah yang tak mungkin terhapus oleh waktu.

Darinya, aku belajar bahwa cinta bukan sekadar puisi yang dihiasi kata-kata indah, bukan pula nyala api yang berkobar lalu padam. Cinta adalah dedaunan yang tetap hijau meski diterpa angin, adalah sungai yang mengalir tak kenal musim.

Darinya, aku mengenal makna pengorbanan. Ia berdiri di sisiku saat badai mengguncang, menggenggam tanganku ketika aku nyaris terjatuh. Ia adalah payung yang melindungiku dari hujan kesedihan, adalah tembok yang menyangga reruntuhan harapanku.

Tiga puluh tahun telah berlalu. Tiga dekade yang penuh warna, tiga puluh musim yang telah kami lewati bersama. Di pelukan waktu, cinta kami tak pernah lapuk. Seperti pohon yang akarnya menancap dalam ke bumi, kasih kami semakin kokoh, semakin meneduhkan.

Dua bidadari kecil hadir dalam kehidupan kami, menjadi matahari yang menghangatkan, menjadi bulan yang menerangi malam-malam kami. Mereka tumbuh dengan kecerdasan yang menawan, dengan kebaikan yang memantulkan cahaya ibunya.

Istriku, dia yang dulu kupanggil calon dokter, kini menjelma dewi yang menuntun banyak jiwa. Di tangannya, kehidupan kembali dipulihkan, harapan kembali dibangkitkan. Namanya bergema di ruang-ruang rumah sakit ternama di kotaku. Ia disebut dengan doa oleh mereka yang diselamatkan dari penyakit stroke.

Kini, aku sadar bahwa surga tak selalu terletak di langit yang jauh, tak melulu berada di balik gerbang tinggi. Surga adalah rumah yang hangat di kala hujan, adalah suara lembut yang membangunkanku setiap pagi, adalah tangan yang selalu menggenggamku dalam lelah dan duka.

Surga adalah istriku, yang wajahnya adalah ketenangan, yang suaranya adalah nyanyian paling syahdu dalam hidupku. Dialah cahaya di antara gelapku, dialah jalan pulang ketika aku tersesat dalam lelah dunia.

Jika waktu bisa kupeluk, ingin rasanya kugenggam detik-detik yang kami lalui bersama, ingin kujadikan bunga abadi yang tak akan layu. Sebab, di dalam dirinya, aku menemukan rumah yang sesungguhnya, tempat aku kembali setelah perjalanan panjang yang melelahkan.

Kini, setelah puluhan tahun berlayar di lautan kehidupan, aku tak lagi peduli pada tawa mereka yang dulu mengejek kesendirianku. Sebab, aku telah menemukan surga yang kurindukan, bidadari hatiku—Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, Sp.S., Subsp. N.R.E.(K), yang saat ini menjabat Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dan Ketua Pokja Neurorestorasi Perdosni Pusat. Sehat dan panjang umur, Mama, gumam hatiku tiap detik.

(Makassar, 1 Februari 2025, Pk. 09.15 WITA)

(Visited 20 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.