Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Dalam dua bulan terakhir, ruang publik dipenuhi perdebatan sengit tentang keberadaan pagar laut di perairan Tangerang. Bukan hanya perkara batas maritim, isu ini menyentuh inti dari kedaulatan negara. Ketika menyangkut kedaulatan, rakyat kecil yang sehari-harinya berjibaku dengan kerasnya hidup pun tak segan mengangkat senjata perlawanan. Mereka boleh saja dihimpit kemiskinan, tetapi kesetiaan kepada Ibu Pertiwi tak pernah luntur.

Itulah yang dilakukan Kholid, seorang nelayan yang namanya kini menggema sebagai simbol perlawanan. Di tengah hempasan ombak dan angin laut yang menggigit, ia muncul dengan orasi yang menampar kesadaran publik. Suaranya mengguncang, menyingkap kenyataan bahwa ada ancaman besar terhadap kedaulatan negeri ini. Pagar laut yang membentang sepanjang 30 km, yang disinyalir dikuasai oligarki, menjadi tembok penghalang bagi nelayan mencari nafkah. Maka, tembok itu harus dirobohkan.

Perlawanan Kholid seketika mengusik kenyamanan oligarki yang selama ini berkuasa di balik layar. Keberaniannya menjadikan ia sosok yang ditakuti, bukan hanya oleh pemodal besar, tetapi juga oleh penguasa yang selama ini tunduk dalam bayang-bayang kepentingan kapitalis. Kholid, seorang nelayan biasa, telah menjadi ikon perjuangan rakyat kecil, lambang keberanian kaum tertindas, dan simbol api semangat yang bisa menjalar menjadi revolusi sosial di negeri ini.

Namun, sejarah mencatat bahwa mereka yang berani melawan arus kekuasaan selalu menghadapi tekanan. Sejarah juga membuktikan bahwa cara paling ampuh untuk memadamkan api perlawanan bukan dengan konfrontasi langsung, tetapi dengan pengalihan isu. Sejak zaman kerajaan, strategi ini telah dipakai: mengalihkan perhatian rakyat dari permasalahan besar dengan menciptakan isu baru yang lebih menyita emosi publik.

Lihatlah bagaimana narasi yang sebelumnya dipenuhi dengan polemik pagar laut kini perlahan bergeser ke antrean gas melon 3 kg. Mendadak, masyarakat dibuat sibuk oleh kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual gas subsidi, memaksa ibu-ibu berjalan jauh ke pangkalan resmi. Antrean mengular di berbagai daerah, menciptakan pemandangan memilukan: perempuan-perempuan paruh baya menenteng tabung gas dengan wajah letih, bahkan seorang ibu di Pamulang meninggal dunia setelah kelelahan mencari gas untuk memasak makanan anaknya.

Siapa yang tidak tersentuh melihat perjuangan para ibu di pagi buta, berjalan kaki demi mendapatkan tabung gas subsidi? Siapa yang tidak geram melihat rakyat kecil terus-menerus menjadi korban kebijakan yang tak berpihak kepada mereka? Rasa empati dan amarah publik pun teralihkan.

Dan di tengah hiruk-pikuk ini, isu pagar laut perlahan meredup. Sorotan terhadap aktor-aktor besar di balik proyek kontroversial ini mulai pudar. Sebelum ada penyelesaian konkret di meja hijau, publik sudah diarahkan untuk fokus ke masalah lain. Oligarki mungkin saja tertawa di balik layar, menyaksikan strategi klasik ini bekerja dengan sempurna.

Dalam seni perang Sun Tzu, ada satu prinsip yang relevan dengan situasi ini: “Seni tertinggi dalam perang adalah menundukkan musuh tanpa pertempuran.” Mungkin caranya bukan dengan senjata, bukan dengan represi, tetapi dengan membakar lumbung pangan mereka secara perlahan. Sebab pasukan yang kelaparan tak akan bisa bertempur.

Kini, pertanyaannya: jika Kholid saja harus antre gas melon 3 kg di pangkalan, lalu siapa yang masih berdiri di garis depan untuk menjaga kedaulatan negeri ini?

Akademisi, penulis buku-buku politik, kepemimpinan, dan demokrasi.

(Visited 39 times, 18 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.