Oleh: Tammasse Balla

Lebaran bagi banyak orang adalah kembalinya jiwa ke pangkuan kasih. Mereka pulang membawa rindu yang penuh, dengan hati riang seakan-akan tak ada yang lebih indah selain kembali ke rumah tempat kenangan bersemi. Namun bagiku, mudik justru mengusik luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Seperti mengangkat kembali tirai masa lalu yang menampilkan bayang-bayang bahagia yang kini hanya sebatas kenangan.

Saat orang lain berkumpul di bawah atap rumah orang tua mereka, bercengkerama dalam tawa yang pecah, aku hanya bisa berdiri di antara dua batu nisan. Di sanalah rumah bagi mereka yang telah pergi, bagi ayah dan ibu yang dulu menyambutku dengan senyum yang hangat. Kini, hanya tanah basah dan sejumput doa yang bisa kuberikan. Aku berbicara pada mereka yang diam, merasakan udara yang hampa seolah-olah tak ada lagi yang dapat membalas rindu ini.

Angin di tanah kelahiranku tak lagi sama. Ia berhembus bukan dengan kehangatan, melainkan seperti bisikan kenangan yang menyayat hati. Pohon-pohon di halaman rumah yang dulu rindang kini berbisik lirih, seakan memahami sepi yang merayapi dadaku. Aku menapaki jalan setapak menuju rumah lama, namun setiap langkah terasa berat, karena aku tahu tak ada lagi sepasang mata yang menunggu dengan tatapan cinta.

Di dalam rumah itu, dinding-dinding tua masih menyimpan gema suara mereka. Aku duduk di ruang tamu yang dulu penuh cerita, membiarkan bayangan masa lalu menari di pelupuk mataku. Aku bisa melihat ibu yang sibuk di dapur, ayah yang duduk di serambi menyetel radio sambil menikmati secangkir kopi, dan aku yang masih kanak-kanak, berlari ke pelukan mereka. Waktu telah menghapus kehadiran mereka, namun tidak dengan ingatanku yang tetap setia menggenggam setiap momen itu.

Malam datang dengan sepi yang menggantung di langit. Aku keluar menatap bintang-bintang, mencari kehangatan dalam cahaya kecil yang berkelip di kejauhan. Mungkin di sanalah mereka kini berada, tersenyum menatapku yang masih bertahan dalam kesedihan ini. Namun tak ada suara yang bisa menjawab tanyaku, tak ada sentuhan yang bisa menenangkan resahku.

Esoknya, aku melangkah menuju pemakaman. Setiap langkah seperti mengiris jantung, membawaku pada kenyataan yang selama ini coba kusangkal. Aku duduk di antara dua pusara itu, menggenggam tanah yang kini menjadi tempat peristirahatan mereka. “Ayah… Ibu… aku pulang,” bisikku dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Tanah merah ini saksi bisu dari kehilangan yang tak tergantikan. Batu nisan ini lebih dingin dari kesunyian yang kurasakan. Aku menundukkan kepala, membiarkan air mata jatuh tanpa mampu kutahan. Aku berbicara dalam doa, berharap bisikan hatiku mampu mencapai mereka di alam sana.

Angin sore berhembus pelan, seakan ingin menenangkan gelisah yang menggurati dadaku. Namun, tak ada yang bisa menggantikan kehadiran mereka. Hanya doa yang bisa kukirimkan, hanya kenangan yang bisa kupegang erat dalam perjalanan panjang hidupku.

Aku tak tahu kapan luka ini akan sembuh, atau apakah ia memang ditakdirkan untuk selalu ada. Namun satu hal yang kupahami, cinta tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah tempat, mengendap dalam doa dan ingatan, menunggu saat aku bisa kembali bersama mereka di keabadian.

Dengan langkah berat, aku meninggalkan makam itu. Aku mudik bukan untuk berpesta, bukan untuk bersua dalam tawa seperti orang lain. Aku mudik untuk bertemu dengan bayang-bayang masa lalu, untuk menziarahi cinta yang tak lagi memiliki jasad, tetapi tetap hidup di dalam jiwa selamanya.
————————————————-
Makassar, 18 Maret 2025 M./
18 Ramadan 1446 H.
Pk. 03.30 dini hari

(Visited 20 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.