Oleh: Tammasse Balla

Waktu adalah angin yang berlari tanpa letih. Ia mengusap wajah-wajah kecil, menyaksikan mereka bertumbuh, lalu berlalu tanpa menoleh. Dulu, dalam sebuah ruang besar disesaki orang-orang, seorang ibu muda berdiri gagah dalam jubah kebanggaannya, menerima gelar yang kelak menjadi cahaya bagi keluarganya. Di antara riuh rendah perayaan itu, ada seorang bocah kecil usia 1 tahun dalam gendongan ayahnya, belum mengerti apa yang terjadi, tetapi telah menjadi saksi dari sebuah perjalanan panjang.

Seperti mentari yang terbit di ufuk timur, harapan dalam keluarga ini pun mulai terang. Dari bocah kecil yang dulu digendong, kini ia telah berdiri di atas kakinya sendiri, mengenakan jas putih yang dulu pernah dikenakan ibunya. Ia bukan lagi sekadar anak dari seorang dokter, ia adalah dokter itu sendiri. Seorang pejuang di medan yang sama, dengan impian yang semakin megah.

Langit kehidupan tak selalu biru, kadang-kadang mendung menggantung, badai datang tanpa permisi. Di setiap tahap perjalanan, ada lelah yang merayap, ada air mata yang jatuh, ada tanya yang menggelayut. Namun, seperti pohon yang menancapkan akarnya ke bumi, Iin tak pernah goyah. Ia menyerap kekuatan dari tanah yang telah ditempa oleh perjuangan orang tuanya. Ia adalah pohon yang tumbuh dari benih pengorbanan.

Dalam sunyi malam, ada buku yang terbuka, ada tangan yang tak henti mencatat, ada mata yang menari-nari di antara halaman ilmu. Ia bukan hanya membaca kata-kata, tetapi juga membaca kehidupan. Ia memahami bahwa Dokter bukan sekadar profesi, melainkan amanah untuk menyentuh kehidupan orang lain, menjadi jembatan bagi kelahiran, menjadi pelipur dalam kesakitan, menjadi lentera dalam keputusasaan.

Di hadapan cermin, ia melihat bayangannya sendiri. Namun, yang ia lihat bukan hanya dirinya, melainkan juga ibunya. Ada garis-garis keteguhan yang sama, ada nyala tekad yang serupa. Seolah-olah, di setiap langkahnya, ibunya berjalan di sampingnya. Bukan untuk menggandeng, melainkan untuk menyaksikan bahwa anaknya telah mampu melangkah sendiri.

Dunia ini luas, tetapi di dalam hati seorang ibu, anak tetaplah dunia yang tak tergantikan. Di setiap doa yang terucap, ada harapan agar ia selalu dalam lindungan-Nya. Agar tangan-tangan kecil yang dulu digenggam bisa menggenggam tangan pasien dengan penuh sentuhan cinta. Agar ilmu yang dipelajari bukan sekadar teori, tetapi menjadi keberkahan nyata.

Di ruang-ruang rumah sakit, di lorong-lorong kehidupan, Lin kini berdiri tegak. Ia bukan lagi anak kecil yang digendong, tetapi seorang Dokter yang akan menggendong kehidupan lain. Ia akan menyaksikan tangis pertama bayi yang lahir, ia akan menjadi bagian dari kehidupan yang baru dimulai.

Seperti sungai yang mengalir dari gunung ke lautan, kehidupan pun berlanjut. Cita-cita yang dulu tertanam kini mulai berbunga. Apa yang dulu dimulai oleh ibunya, kini diteruskan olehnya. Ia bukan sekadar pelanjut, ia adalah pemilik impiannya sendiri. Impian yang tumbuh dari benih kasih sayang, yang disirami oleh doa tanpa henti.

Pada saat-saat lengang, ketika waktu memberi ruang untuk menghela napas, seorang ayah dan ibu akan duduk bersama. Mereka akan saling menatap, lalu tersenyum. Mereka tidak perlu berkata-kata, karena dalam hati mereka tahu: perjuangan mereka tidak sia-sia.

Ada banyak hal yang bisa diwariskan di dunia ini—harta, nama, bahkan kejayaan. Di antara yang disebutkan itu, yang paling berharga adalah warisan perjuangan dan nilai-nilai. Iin telah mewarisi itu semua. Ia adalah cerminan dari perjalanan panjang keluarganya, tetapi dengan warna-warna yang ia goreskan sendiri.

Langit yang dahulu menaungi ibunya kini menaunginya juga. Matahari yang dahulu menyinari perjalanan ibunya kini menyinarinya juga. Langkah-langkah yang ia tapaki adalah langkahnya sendiri. Ia bukan bayang-bayang dari masa lalu, tetapi cahaya dari masa depan.

Biarlah ia melangkah lebih jauh. Biarkan ia menaklukkan dunia dengan ilmunya, dengan perjuangannya, dengan ketulusannya. Karena ia tidak hanya akan menjadi Dokter yang hebat, tetapi juga menjadi manusia bermakna.

Kelak pada suatu masa yang belum tiba, ia akan berdiri di hadapan anaknya sendiri, sambil berkata:
“Nak, dulu ibumu juga berjalan di jalan ini. Kini, aku serahkan jalan ini kepadamu. Bagaimanapun juga, air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua.
————————————————
Makassar, 19 Maret 2025 M./19 Ramadan 1446 H.
Pk. 19.23 WITA
……. sambil duduk-duduk depan klinik menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang usia buka buka hari ke-19 ……..

(Visited 24 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.