Oleh: Sumardi, S.E., Ak., M.Si., CA.*
Senin 3 Mei 2021 bertepatan hari ke-21 puasa Ramadan. Pagi-pagi buta sebelum azan Subuh berkumandang, saya sudah meluncur membelah sepinya Jakarta menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Selanjutnya dengan pesawat udara low cost carrier milik anak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbang selama kurang lebih satu jam. Alhamdulillah tiba dengan selamat menjejakkan kaki di tanah seberang, dengan tujuan memastikan berjalannya sebuah regulasi.
Bagi sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia birokrasi tentu sangat paham definisi formasi pegawai. Setiap rekrutmen pegawai diawali dengan kegiatan analisis jabatan (anjab). Berdasarkan anjab tersebut, akan muncul jumlah beban kerja, jabatan yang diperlukan, dan jumlah pegawai yang seharusnya melaksanakan suatu pekerjaan sehingga diharapkan masyarakat memperoleh pelayanan prima dari pemerintah daerah.
Secara singkat, produk kegiatan anjab adalah formasi pegawai yang sekaligus menetapkan daerah/tempat yang membutuhkan PNS dengan formasi jabatan tertentu. Misalnya di suatu daerah formasi guru PNS adalah sejumlah 6 (enam) orang, lalu baru tersedia 2 (dua) orang, maka perlu tambahan 4 (empat) orang guru yang akan dipenuhi melalui rekrutmen dan seleksi CPNS baru. Demikian halnya dengan kebutuhan jabatan lainnya seperti perawat, dokter, tenaga medis, dan formasi lainnya.
Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini bahwa di awal banyak orang melamar CPNS formasi guru, dokter, bidan, atau jabatan lainnya di daerah pinggiran atau terpencil demi sebuah harapan lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahkan, dengan ringannya bersumpah di atas kertas bermaterai sanggup untuk tidak mengajukan pindah tugas dalam kurun waktu sekian tahun.
Namun apa yang terjadi, beberapa bulan kemudian setelah penempatan sebagai Calon PNS, dengan berbagai upaya mereka mengajukan pindah mendekati kota dengan setumpuk alasan pembenar. Keluarga, kesulitan transportasi, jarak jauh, dan keterbatasan fasilitas, serta sakit-sakitan menjadi alasan klise yang sering kita dengarkan. Bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara tidak terpuji untuk memuluskan niatnya dengan menyogok, memanfaatkan pejabat yang berpengaruh, dan mengintimidasi melalui orang lain terhadap pejabat pemegang kunci dalam mutasi pegawai.
Nampaknya mereka tidak pernah berpikir bahwa masyarakat terpencil yang tinggal di pinggiran juga amat sangat membutuhkan pelayanan. Masyarakat membutuhkan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan administratif lainnya. Masyarakat di pinggiran mempunyai hak yang sama sebagai warga negara untuk mendapatkan pelayanan.
Jika hal seperti ini terus berlanjut, pelayanan oleh birokrasi bukannya tambah baik, namun terus akan mengalami kemunduran. Jadi, tidaklah mengherankan kalau kita sering menemukan kondisi pada suatu daerah tertentu Puskesmas Rawat Inap yang seharusnya diampu oleh 3 (tiga) dokter umum ternyata realisasinya hanya ada satu dokter PNS sedangkan dua dokter lainnya “direstui” oleh pejabat penting untuk bertugas di RSU Kota. Demikian halnya sebuah SDN di pinggiran yang seharusnya diisi oleh 6 (enam) guru berstatus PNS hanya diisi oleh 1 (satu) guru PNS sedangkan 5 (lima) lainnya adalah guru Wiyata Bakti dengan honorarium yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mirisnya lagi, guru yang seharusnya bertugas di SDN tersebut telah dimutasi oleh pejabat penting hanya setahun sejak penempatannya di awal.
Inilah potret beberapa daerah di negeri kita. Sesungguhnya peraturan atau regulasi mengenai penempatan PNS sudah ada. Ketentuan mengenai formasi pegawai juga sudah ada. Regulasi mengenai sanksi disiplin PNS juga sudah ada. Namun, nampaknya regulasi itu belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik. Karena itu, tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa realisasi atas berbagai kebijakan tersebut masih “jauh panggang dari api”. Akhirnya, hanya sebuah fatamorgana bagi masyarakat terpencil atau pinggiran untuk mendapatkan pelayanan unggul dari birokrasi.
Jadi, lupakan dulu berbagai indikator keberhasilan di bidang pendidikan dan kesehatan karena memang negeri ini baru sebatas kaya regulasi namun miskin implementasi.
* Penulis adalah Asisten Komisioner KASN RI.