“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda.” –
Tan Malaka
Dibawakan pada acara Pembinaan dan Pelatihan kepeloporan Mahasiswa di Hotel D’ Maleo Kota Makassar, Jumat, 5 Mei 2019.
Prolog
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresivitas mereka dalam merespon gejala sosial daripada kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis masyarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas.
- Mahasiswa Sebagai “Agent Of Change”
Mahasiswa sebagai simbol dari kehidupan pemuda dengan corak kebudayaan yang otonom dengan sendirinya akan membedakan dirinya dengan masyarakat lainnya.
Mahasiswa haruslah peka dan senantiasa tanggap terhadap setiap kebijakan yang ada, termasuk isu akan diberlakunya Undang-Undang BHP di Perguruan Tinggi. Namun tafsiran peran dan fungsi tersebut mengalami kekeliruan.
Aspirasi kepentingan selalu disalurkan dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis. Gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu di ingat oleh mahasiswa adalah bahwa dalam menyampaikan aspirasi harus senatiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.
Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggung jawab sosial seperti yang telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda.
Dalam kategorisasi karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis mahasiwa, antara lain;
- Mahasiswa Passifis, adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang lain, cenderung cuek dan apatis,
- Mahasiswa Akademis, adalah mahasiwa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai (IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan”; dan
- Mahasiswa Aktifis, adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi bukan semata-mata menjadi pecundang-pecundang mata kuliah denga akreditasi “Cumlaude”. Akan tetapi mereka mempunyai kepedulian terhadap realitas eksternal mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa (kuliah).
Dari ketiga karakter mahasiwa tersebut diatas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang akan mampu memegang amanah menjalankan tanggung jawab sosial adalah mereka yang termasuk dalam komunitas mahasiswa aktifis.
Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran mereka untuk memposisikan diri bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada mereka.
- Peran Strategis Mahasiswa
Sebagai langkah taktis mahasiswa harus memiliki 4 kekuatan :
- Kekuatan Moral
- Kekuatan Kontrol Sosial
- Kekuatan Intelektua
- Kekuatan Profesional
Oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut di atas. Sebagai kekuatan moral dan Kontrol sosial, mahasiswa harus mampu bersentuhan dengan aksi-aksi pembelaan kaum tertindas.
Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro, mampu melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan seperti nelayan, buruh, petani, anak jalanan, dan PSK.
Sebagai bagian dari intellectual community mahasiswa menduduki posisi yang strategis dalam keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa merupakan salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran bangsa, di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarkat sipil (Madani) yang mempunyai kasadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung saat ini.
- Tanggung jawab sosial mahasiswa
Secara sederhana posisi mahasiswa bisa kita gambarkan sebagai sosok yang berada di tengah level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga dianggap berada diantara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka di tengah-tengah level apapun mempunyai nilai strategis.
“Tidak ada yang salah dengan mahasiswa yang aktif berpolitik. Justru seorang mahasiswa yang berpolitik adalah mereka yang memiliki daya pikir kritis dan aktif dalam setiap penanganan permasalahan yang terjadi terhadap bangsa ini.”
Sdm
Muhammad Hatta pada tahun 1957 pernah mengatakan bahwa, “kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”.
Pernyataan Muhammad Hatta tentang posisi kaum intelegensia, menyadarkan bahwa dalam memainkan peran dan fungsi kaum intelegensia tidak lepas dari pertanggungjawaban statemen yang dilempar dikalangan publik secara luas.
Pertanggungjawaban kaum intelegensia muncul sebagai kontrol terhadap negara dan kekuasaan yang cenderung gagap dan mengubah haluan menjadi pengerus intelektualitas masyarakat dan mengeksploitasi masyarakat luas demi sebuah ilusi kekuasaan.
Kaum intelegensia mempunyai peranan yang double, sebagai masyarakat dan sebagai kaum terpelajar. Oleh karena itu dengan sendirinya tanggung jawabnya juga menjadi lebih besar karena memainkan dua peran sekaligus.
Kaum intelegensia mempunyai kekuatan dalam daya nalar dan keilmuannnya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Namun, unsur penting dari ilmu dan daya pikir itu adalah entitas nilai moral yang harus dijunjung tinggi. Seperti yang disampaikan oleh KH. Idham Cholid, bahwa ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk diamalkan.
Tipe ideal intelektual dalam pandangan ini adalah golongan pemikir yang bijak yang duduk bermeditasi di “puncak gunung es”, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal dan abadi dan tidak tersentuh oleh kekuasaan. Dengan kata lain, idealisme seorang intelektual adalah bebas dari unsur politis dan kekuasaan, dan mengkritisi sistem dari luar, ibaratkan seorang komentator yang menikmati pertandingan.
Terkait dengan obyek dan subyek politik dengan berintikan pandangan Goffman kehidupan diibaratkan teater, interaksi sosial di atas panggung yang menampilkan permainan para aktor (baca; para politisi) yang mengelola kesan (impression management) dengan sadar atau tidak demi peningkatan status sosial, kepentingan finansial, dan politik kekuasaan.
Ketika menjadi mahasiswa telah gagal menapaki semangat idealisme pertanggungjawaban moral dan intelektual, maka bisa dipastikan ketika keluar dari komunitas kampus, akan menjadi sampah peradaban yang merusak tatanan nilai dan etika dalam bernegara dan bermasyarakat. Mahasiswa yang sadar akan hakikatnya, tidak gampang terjebak dalam aksi yang bersifat temporer tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan.
Dalam hal kesarjanaan misalnya, kita harus mampu member penegasan bahwa “penguasaan ilmu apa saja harus mempunyai faedah nyata bagi peradaban kemanusiaan, baik ilmu agama, eksakta, sosial ekonomi. Dan proses kesarjanaan itu belum selesai manakala tidak disertai dengan tindakan-tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat”.
Dengan penuh rasa miris dan menyesakkan hati, mahasiswa hari ini hanya bisa mengenang euforia kenangan sejarah kegemilangan pencapaian mahasiswa sebelumnya, dan tidak mampu menjadi orang yang hidup dizamannya sendiri. Perlu dimunculkan jargon “kun ibna zamanika (jadilah anak zamanmu)” sebagai sebuah kritikan mendalam terhadap gerakan mahasiswa pasca reformasi.
Diberdayakan
Dr.Sudirman,S.Pd.,M.Si.
- Referensi
- http://www.kompasiana.com/aidhiel/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial_55105fef8133115a3bbc60ee
- http://imadiklus.com/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial/
- http://rayonalkindy.blogspot.co.id/2012/12/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html
apa itu agen of change
Terimakasih pak
Kesadaran mahasiswa itu sendiri bagaimana menempatkan dirinya dalam lingkungannya, cara dia berfikir dan bertindak. Bagaimana ilmu yang dia pelajari untuk di amalkan kembali.