Walau rasa yang kubangun di saat itu sangatlah berapi-api, istilahnya mereka kok semangat 45, untuk menuangkan semua ide kreatif dan hasil karya ke dalam kegiatan ini demi nama baik desaku. Tettapi apa hasilnya? rasa yang tidak bisa lagi digambarkan. Andai waktu yang sedang berjalan saat kami berkarya tidak ada harapan yang mereka iming-imingkan, mungkin kami tidak punya rasa ini .
Andai bahasa ini tidak pernah terlintas di telingaku, mungkin aku punya rasa, “Di sinilah desa yang paling aktif dan kompak dengan masyarakat dan kadesnya. Desa ini paling kreatif dan inovatif. Ini desa yang akan dipersiapkan untuk … inilah yang layak dapat penghargaan.” Tetapi nyatanya…
Rasa itu pun muncul lagi, tanpa diundang dan tanpa dipanggil. Rasa itu datang setelah kami melihat fakta dan kenyataan yang berbeda dari hasil yang kami peroleh. Seharusnya rasa ini tak perlu muncul karena rasa ini mematikan semangat kami. Ide kreatif kami seketika itu juga tumpul, bahkan tak bermata lagi ujungnya.
Rasa ini masih ada. Tiba-tiba dapat informasi lagi desa kami akan dipersiapkan lomba … di bidang … silakan berbenah dan kami akan turun lagi dalam pembinaan.
Lalu kami harus apa? Tetapi kami tidak membuat mereka merasakan rasa yang kami rasakan. Kami pun mulai berbenah dengan rasa yang tidak sama lagi dengan awal. Karena kecewa, lain yang berbuat lain, yang dapat penghargaannya. Siap, kami akan berbuat semampu kami, tetapi jangan terlalu banyak menuntut, ya?
Kecewa inilah rasa yang sangat mematikan semangat berkarya dan berinovasi di kalangan masyarakat. Jangan kecewakan kami. Jangan sampai kami membelakangi dengan wajah tanpa semangat. Biarkan kami berkarya dan berilah kami penghargaan yang sesuai dengan hasil.
Semangat Bunda… Semoga rasa itu berakhir indah…