Oleh: Besse Rismawati

Sudah setahun lebih Pandemi Covid-19 melanda negeri. Ia telah mengubah hampir semua pola hidup selama ini. Di sektor pendidikan, pandemi ini benar-benar menghancurkan kegembiraan kami guru dan anak didik. Keseruan bersama anak-anak kami tiba -tiba hening, tiada suara anak-anak yang setiap hari menghangatkan suasana sekolah.

Covid-19 meresahkan kami sebagai pendidik. Keadaan memaksa untuk melaksanakan proses pembelajaran sistem daring (dalam jaringan). Dengan segala keterbatasan, kami yang berada di Desa Batuganda sangat susah mendapatkan sinyal internet. Kami tidak memiliki akses jaringan internet yang memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran daring.

Desa kami luas dan indah, yang terdapat enam dusun dengan kondisi geografis pegunungan. Penduduk yang umumnya petani, adalah orang tua anak-anak kami. Mereka sibuk dengan pekerjaan kesehariannya untuk mencari nafkah, sementara guru tidak berdaya untuk melakukan pembelajaran daring.

Untuk mendapatkan akses internet kami harus mencari titik-titik tertentu yang kebetulan ada jaringan, itupun hanya untuk chatting WhatsApp saja. Bahkan tidak jarang kami berpindah-pindah tempat kalau jaringan itu berpindah atau bergeser titiknya. Lebih sedihnya lagi jika cuaca mulai mendung, secara otomatis akses internet langsung juga menghilang.

Kami seperti anak ayam kehilangan induk ketika jaringan tiba tiba hilang. Kami harus apa? Kami bisa Apa? Kami tidak memiliki dana untuk mendapatkan jaringan Wifi. Kami harus meminta sama siapa? Kami harus mengadu kemana?

Dilema yang kami alami tidak menurunkan semangat kami. Kami tetap mencari solusi agar anak-anak didik kami tetap mendapatkan pembelajaran meskipun tidak seefektif biasanya. Dengan perjalanan jauh dan mendaki gunung jalan kaki, kami menemui anak-anak didik kami. Kelelahan menempuh perjalanan, tiba-tiba terbayaran ketika tiba di rumah murid, disambut kegirangan. Nampak betapa senangnya hati mereka menyambut guruhnya, betapa rindu mereka bergembira bersama teman-temanya di sekolah.

Pertanyaan yang selalu dilontarkan anak-anak, “Kapan kita sekolah lagi ibu guru? Saya sudah rindu sama ibu guru dan teman teman semua.” Dengan wajah sedih kami menjawab, “Sabar nak, tunggu Corona tidak ada lagi.” Anak-anak pun bertanya lagi, apa itu Corona ibu guru? Demikian seterusnya kami berbincang sama anak-anak.

Pada usia yang di ibaratkan kertas kosong, yang sangat butuh tangan-tangan terampil untuk melukisnya indah. Namun karena pandemi kertas kosong itu tidak terlukis indah, bahkan mungkin mendapatkan coretan yang tidak bermakna.

Karena kondisi tidak sempat mengunjungi anak-anak, kami mengirimkan surat ke orang tua yang berisikan pesan singkat tentang Rencana PROGRAM Pembelajaran Mingguan (RPPM). Surat inilah yang menjadi penyambung komunikasi kepada orang tua murid yang dikirim melalui kepala dusun, maupun tetangga atau warga yang kebetulan lewat di depan sekolah kami, jika orang tua tidak sempat datang menjemput surat kami untuknya.

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun ajaran baru, berarti keresahan kembali menerpa jiwa kami. Apakah kita tetap dengan pembelajaran jarak jauh? Jika ia, harapan kami semoga sekolah (TK) khususnya yang berada di pelosok agar sekolah bisa mendapatkan bantuan akses jaringan internet. Meski dengan kapasitas yang rendah sekalipun, itu akan sangat berarti bagi kami guru serta anak-anak kami. Guru dengan muda bisa mengakses segala Informasi terkait pembelajaran. Terlebih masih ada guru dengan kualifikasi pendidikan lulusan SMA, sehingga sangat membutuhkan info-info pembelajaran lewat jaringan internet.

(Visited 111 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: