Oleh: Sumardi

Kira-kira dalam hitungan dua pekan setelah Bangsa Indonesia memperingati  gegap gempita peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, publik seolah tersentak dengan suguhan berita tertangkapnya sepasang suami isteri dan beberapa PNS di sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Penangkapan atau bahasa lainnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersebut sebuah langkah pembuktian awal terjadinya “perselingkuhan di Pasar Imajiner” terjadi dengan melibatkan banyak orang dari banyak profesi mulai dari politisi, pejabat negara yang juga merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian, dan beberapa PNS. Sebuah pemandangan miris dipertontonkan oleh orang-orang yang surplus pendidikan namun minus dengan etika di hadapan ribuan rakyat yang hampir terkulai lemas menghadapi sulitnya kehidupan saat ini.

Pada pasar imajiner yang memperjual belikan jabatan Kepala Desa tersebut pada sisi lain adalah sebuah perhelatan yang bersifat simbiosis mutualisme. Pada satu sisi oknum PNS tersebut mendapatkan jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa dengan segala fasilitasnya sedangkan pejabat negara/kepala daerah mendapatkan sejumlah uang yang mencapai ratusan juta rupiah. Tentu saja melalui perantara dan pengatur skenario pertunjukan ini. Konon kabarnya seorang PNS yang akan menjadi Plt Kepala Desa dikenakan harga 20 juta rupiah per jabatan. Sangat mungkin pada satu sisi oknum PNS tersebut tidak mempunyai kompetensi untuk menjadi Kepala Desa namun memaksakan diri untuk menjadi pemimpin di desa dengan tambahan makanan “suplemen”.  Bahkan sangat mungkin pada saat ini praktik birokrasi telah sedemikian busuk sehingga setiap promosi jabatan dalam konteks memimpin sebuah unit organisasi harus selalu didorong dengan membayar sejumlah uang tertentu.  Pada sisi lain pejabat negara yang mempunyai wewenang mengangkat Plt Kepala Desa begitu tamak untuk mengisi pundi-pundinya sebagai bekal pengembalian biaya politik yang sangat besar atau untuk keperluan hajatan politik berikutnya. Kita faham ongkos politik untuk pencalonan dalam pemilihan Kepala Daerah tidak sedikit jumlahnya. Disinilah bertemunya  supply and demand yang akhirnya disepakati harga pasarnya yang tentu merupakan pasar gelap bahkan pasar imajiner sebagaimana maaf “orang kentut” ada baunya tetapi sulit untuk dibuktikan wujudnya.  

Perselingkuhan demi perselingkuhan dalam pasar imajiner jabatan terus terjadi di Indonesia bahkan seakan tidak ada jeranya sama sekali. Uang memang selalu menggiurkan dan dengan uang dapat melakukan berbagai hal. Kalau saja jabatan Plt Kepala Desa harganya mencapai 20 juta per jabatan, lalu berapa harga jabatan  Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas, dan Kepala  Seksi. Terus meningkat berapa juga harga jabatan untuk Kepala Bagian, Sekretaris Dinas sampai Kepala Dinas bahkan jabatan Sekretaris Daerah. Mengingat jabatan di lingkungan Pemerintah Daerah adalah ribuan tentu saja jika hal ini dikalkulasi dan dikonversi dengan uang merupakan sebuah medan magnet luar biasa bagi para bakal calon Kepala Daerah untuk maju dalam pilkada.

Menurut pandangan penulis dalam mensikapi fenomena gunung es saat ini minimal terdapat  dua hal penting yang harus segera dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan yang berulang ini. Pertama, program penguatan dan penegakan etika dan disiplin di lingkungan PNS. Program ini dilakukan dengan sasaran atau tujuan akhir mengubah mindset dan mengurangi praktik suap lingkungan PNS. Untuk menghentikan perilaku suap antara lain adalah dengan memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya sehingga menimbulkan efek jera bagi PNS. Mengapa demikian karena niat atau keinginan membeli jabatan bisa jadi timbul dari oknum PNS yang tidak percaya diri dengan kemampuannya sehingga menggunakan jalan pintas dengan cara membeli jabatan di pasar imajiner.

Langkah kedua, adalah memutus wewenang Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dalam  mengangkat, memindahkan dan memberhentikan PNS di lingkungan birokrasi. Pemutusan wewenang ini tentunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Disadari atau tidak maraknya jual beli jabatan di pasar imajiner ini disebabkan Gubernur, Bupati dan Walikota mempunyai wewenang yang kemudian disalahgunakan untuk kepentingannya. Nah, pada sisi lain kita semua sadar bahwa untuk menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota dalam perhelatan pilkada dibutuhkan biaya politik yang sangat besar untuk persiapan pencalonan, tim sukses, mobilisasi dukungan dan kampanye. Wewenang 3 M (mengangkat, memindahkan dan memberhentikan) PNS sudah waktunya untuk dipindahkan kepada Sekretaris Provinsi, Kabupaten dan Kota yang juga sebagai PNS. Seorang Sekretaris Daerah adalah PNS sekaligus pejabat karier yang meniti karir dari awal melalui pendidikan dan pelatihan terstruktur. Untuk meniti karir sebagai PNS sampai dengan Sekretaris Daerah relative tidak memerlukan biaya banyak sebagaimana pencalonan Kepala Daerah, sehingga diharapkan tidak ada beban untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya. Selama dua hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah maka penulis haqqul yakin akan kembali dan terus muncul lagi jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Daerah. Silahkan buktikan atau anda berani bertaruh ?      

Penulis : Praktisi Audit Manajemen Sumber Daya Aparatur

(Visited 147 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sumardi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: