Oleh: Ruslan Ismail Mage

Beberapa waktu lalu, saya menjadi narasumber dalam seminar parenting bertajuk “Tidur dengan Pencuri Masa Depan” di salah satu kota pendidikan. Ruangan yang berkapasitas 400 tempat duduk penuh oleh peserta yang antusias ingin mengetahui sejak dini siapa pencuri masa depan anak-anak yang dimaksud.

Namun, tulisan ini tidak bermaksud membahas materi parenting tersebut. Lain waktu akan dikupas tajam setajam silet siapa pencuri masa depan anak-anak itu. Tulisan kali ini lebih tertarik mengenang kembali dan menarasikan ekspresi salah seorang peserta seminar parenting itu setelah mengetahui bahwa narasumbernya adalah sahabat lama yang sudah terpisah kurang lebih 30 tahun.

Selesai acara, saya didatangi seorang peserta, lalu dia menjabat erat tanganku. “Tidak kusangka, orang yang vokalnya menghentak di podium adalah sahabat lamaku, Ruslan Ismail Mage,” katanya sambil memeluk bahuku. Ternyata benar, ia sahabat lama, teman seperjuangan era akhir 80-an. Selama kurang lebih 30 tahun kami kehilangan kontak.

Sebagai sahabat lama yang baru bertemu lagi, tentu kami saling menanyakan kabar keluarga. Namun, ketika saya tanyakan kehidupan keluarganya, ia kurang respons. Bahkan, pancaran kegirangan di wajahnya karena baru bertemu perlahan redup.

Walaupun begitu, kami terus bercanda, berbagi cerita masa lalu. Hingga ia sendiri mengatakan, “Jangan ikuti jejak aku, Bro. Aku sudah tiga kali kawin cerai.” Mendengar pengakuannya itu, aku langsung menjabat tangannya sambil berucap, “Selamat, Bro. Engkau memang selalu mengalahkanku. Sudah tiga kali merasakan pengantin baru. Aku baru sekali.” Kami pun tertawa lepas mengenang masa-masa muda.

“Supaya saya tidak mengikuti jejakmu tiga kali, coba Bro ceritakan dari awal kenapa sampai bisa bercerai.”

Dengan memperbaiki posisi duduknya, dia mulai merekontruksi ulang memori untuk mengingat perjalanan cintanya yang berliku. Lebih jelas, berikut pengakuannya.

Perkawinan pertamaku awalnya normal dan kami hidup bahagia. Tiga bulan pertama aman. Melangkah tiga bulan kedua masih aman. Memasuki tiga bulan ketiga baru ada riak-riak yang selalu memicu perdebatan. Aku ketahuan selingkuh, Bro. Tanpa pikir panjang, istri minggat ke rumah orang tuanya, lalu meminta cerai.

Perkawinan kedua aku bertekad tidak ingin lagi mengulangi perbuatanku. Aku ingin menebus kesalahan dengan menjadi suami setia yang siaga satu setiap saat. Tiga bulan pertama aman. Benar-benar kami merasakan indahnya suami-istri. Saling mengisi dan menyayangi. Tiga bulan kedua masih aman. Bahkan, orang-orang bisa iri melihat kemesraan kami. Kemana-mana selalu bersama, lengket seperi permen karet. Memasuki tiga bulan ketiga, baru datang petir menghantam dadaku. Istriku ketahuan selingkuh.

Nampaknya hukum karma menyerangku. Pertama, cerai karena aku selingkuh. Kedua, cerai karena istriku selingkuh. Sebagai laki-laki harga diriku terusik. Aku harus menentukan sikap bercerai dan pergi jauh meninggalkan semua kenangan.

Aku merantau ke daerah lain dengan harapan bisa memulai hidup baru. Setahun ngejomblo, baru bisa mencoba mencari pendamping hidup lagi. Untuk yang ketiga kalinya aku harus ekstra hati-hati memilih pasangan hidup. Aku harus mencari perempuan yang sederhana dan mencintaiku apa adanya. Tidak ingin gagal yang ketiga kalinya.

Alhamdulillah, sebelum masuk tahun kedua ngejomblo, aku sudah temukan perempuan idaman yang kuyakini bisa menemaniku selamanya. Tidak membuang waktu, aku melamarnya untuk menjadi pendamping hidupku.

Waktu terus berputar. Memasuki tiga bulan pertama aman, Bro. Kalau aku bicara (ngomel), istri diam aja mendengarnya. Nampaknya, yang ketiga ini pintar menjaga hubungan dengan menjadi pendengar yang baik. Melangkah tiga bulan kedua, masih aman, Bro. Ketika dia berbicara (ngomel), giliran aku yang memilih diam. Memasuki tiga bulan ketiga, nampaknya awan mulai berarak. Cuaca sudah susah diprediksi arahnya. Bahkan, sesekali petir sudah menyambar.

Begitulah, tiga bulan ketiga kami selalu bersamaan bicara, tidak ada lagi yang mau memilih menjadi pendengar. Puncaknya, ketika piring sudah mulai beterbangan, melayang dimana-mana. Satu, dua, tiga, atau mungkin ada selusin piring melayang membentur dinding, lalu jatuh pecah berpeping-keping. Jiwaku kembali retak dan akhirnya kami bercerai lagi, Bro.

Pesanku, kalau main layang-layang jangan sampai putus, Bro. Kalau sedang ada masalah, jangan sampai piring melayang, Bro. Malu sama tetangga. []

(Visited 215 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: