Dalam bukunya yang berjudul Counterplesures: Risalah Kenikmatan dan Kekerasan Seksual (Qalam, 2002), Karmen MacKendrick mengemukakan bahwa kenikmatan bukan hanya bisa diperoleh melalui pelepasan ketegangan sebagaimana yang dipahami Freud. Melalui Counterplesures, MacKendrick meyakini dan membuktikan bahwa ada banyak kenikmatan yang bisa dirasakan dan tidak melalui mekanisme pelepasan tegangan, melainkan pada stimulasi dan rangsangan. Inilah yang disebutnya sebagai kontra kenikmatan.
Kontra kenikmaan merupakan kenikmatan yang menyeleweng dari pengertian yang normal, kenikmatan yang keluar dari koridor kenikmatan yang selama ini dipahami. MacKendrick menteoritisasi bahwa kontra kenikmatan merupakan (1) sebuah kenikmatan karena kurangnya kesesuaian –dengan kenikmatan lazim- (2) sebuah kesukaan akan perlawanan itu sendiri, tetapi bukan kesukaan akan reaktivitas (3) sebuah kesukaan akan mobilitas struktur-struktur kekuasaan dalam menembus batas, dan (4) sebuah kenikmatan akan batas, bentuk-bentuk dari permainan terhadap batas.
Dengan pengertian seperti ini, maka kenikmatan yang selama ini diklaim oleh Freud sebagai kenikmatan kekanak-kanakan dan sebagai gejala neurosis, dalam bentuk sadistik, masokistik bahkan sadomasokistik, menjadi sesuatu yang sah disebut sebagai kenikmatan, meskipun dalam bentuk kontra-kenikmatan.
Dalam wacana seperti inilah kita akan menemukan sebuah penjelasan logis terhadap apa yang dilakukan oleh para kaum agamis dalam mengekspresikan heroisme keagamaan yang mereka alami. Seperti misalnya, apa yang dilakukan oleh kaum flagellant yang dipimpin oleh St Anthony (Abad ke-18) di Italia, mereka melakukan praktik mencambuki diri dan sengaja menunjukkan diri mereka seperti orang gila untuk mencapai hasrat-hasratnya dan menyempurnakannya dengan tangisan yang meledak-ledak dan pelemah-lemahan diri.
Bahkan kaum ini menganggap bahwa penderitaan fisik yang mereka alami dan penghinaan yang mereka terima merupakan jalan satu satunya untuk menuju derajat manusia sempurna (insan kamil). Tradisi ini berkembang dan menjamur serta dianggap sebagai hal yang normal pada kaum agamawan, sebelum abad ke-18.
St. Francis Of Assissi mengatakan bahwa penghinaan adalah cara untuk sampai pada kerendahan hati, sebab tanpa kerendahan hari, tidak akan ada lagi hal yang bisa menyenangkan Tuhan. Tindakan ini akan menemukan ekspresi maksimalnya dalam tindakan masokistik. Sungguh peribadatan dalam bentuk menundukkan kepala, menekukkan kedua lutut kaki, menyedekapkan tangan, menutupi kepala dan mensujudkan seluruh badan merefleksikan sikap-sikap dasar tubuh (posture) masokistik. Dan ini dapat kita temukan dalam tradisi agama barat (ibrahimik).
Kenikmatan spiritual terpaut dengan masokistik, karena komponen-komponen masokistik seperti kerinduan untuk melayani, mengabdi, tunduk, memaksakan diri secara seksual, secara emosional dan secara fisikal membuat seseorang menjadi budak baik budak seorang pria, wanita, atau Tuhan. Bahkan lebih jauh dari itu, masokisme dan ekstase mistik, keduanya sama-sama dimotivasi oleh hasrat pelupaan dan pembebasan (obliviasi dan liberasi); untuk menyingkirkan beban-beban diri dari segala konflik, derita dan keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam perspektif inilah kita akan menemukan bahwa praktek perayaan hari asyyura’ oleh sebagian ummat Islam (terutama syi’ah) dalam bentuk upacara-upacara ritual yang diisi dengan tangisan religius, ekspresi pecambukan diri dan berbagai bentuk posture masokistik lainnya sebagai sebuah bangunan kontra kenikmatan. Bahkan kalau kita coba lacak lebih jauh, akan kita temukan akar dari praktek ini merupakan sebuah bentuk obliviasi dan liberasi.
Mengapa demikian, karena perayaan asyyura’ dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap pengorbanan yang telah di persembahkan oleh sorang cucu Muhammad SAW (Husain, r.a.) ketika berhadapan dengan pasukan Yazid bin Muawiyah. Orang yang ikut merayaan akan melakukan tindakan masokistik untuk melupakan rasa bersalah mereka karena membiarkan hal itu terjadi tanpa mampu mereka melakuakan pembelaan, dan juga mereka menganggap bahwa dengan tindakan itu mereka merasa akan terbebas dari kesalahan karena ketidakmempuan melakukan pembelaan tersebut.
Dengan penyaluran hasrat pelupaan dan pembebasan ini, orang yang ikut merayakan Asyyura’ akan merasa terbang ke kesadaran ekstase, dan praktek ini tidak lagi dapat dipahami sebagai tindakan yang sia-sia dan bodoh, melainkan seharusnya tindakan masokistik ini menjadi sebuah medium terjadinya transformasi spiritual.
Tindakan masokis-spiritual seperti ini merupakan jawaban atas tawaran yang pernah dilontarkan oleh Foucault bahwa kita selayaknya melakukan sebuah multiplisitas kenikmatan paralel non produktif yang membebaskan (atau paling tidak membawa perlawanan). Untuk mengalami kepenuhan pengalaman sebagai manusia, kita memerlukan pasivitas, reseptivitas dan penegasan. Kemanusiaan yang utuh memerlukan penyerahan diri pada sisi bawah dan sisi atas kehidupan. Kenikmatan spiritual dapat saja diperoleh melalui jalan masokis yang selama ini dianggap menyimpang dari ketundukan konvensional dalam ibadah-ibadah ritual yang dipatenkan.