“Kamu ini ya, disuruh kerja tapi malah minta pulang!”
“Ini baru di Indonesia, coba kalau kamu sudah di Hong Kong!”
“Terus kalau kamu ndak betah, kamu minta pulang juga gitu?”
“Belajar kerja itu yang bener, yang sungguh-sungguh, baru dua bulan, kamu sudah bikin masalah!”.
Staf kantor itu ngomel-ngomel. Staf kantor yang terkenal paling galak dan nyebelin menurut versi para calon tenaga kerja di sini.Yang kalau ngomong seperti pakai mikrofon, bikin kuping terasa panas menyengat.
Aku merasa malu dengan para staf lainnnya. Sebenarnya apa sih yang dikatakan si nenek, sefatal itukah kesalahanku?
Aku yang masih bingung hanya terdiam, aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku jauh melayang, mengingat-ngat kembali ketika aku di PKL-an kemarin.
“Ya sudah!”
“Kamu boleh balik lagi ke asrama! setelah dari sini, kamu belajar bahasa lagi di BLK!” Cerocosnya lagi.
“Baik Bu, terima kasih, permisi!” jawabku.
Dalam perjalanan menuju ke asrama, hatiku tiba-tiba nelangsa. Air mata ini seakan-akan berlomba-lomba untuk bisa keluar, tetapi percuma air mata ini tidak bisa kelua karena aku tahan. Hal seperti itu tidak boleh membuatku cengeng.
Tetapi semakin ditahan hati ini semakin sakit. Beginikah rasanya kerja ikut orang? Sungguh pengalaman pertama kerja yang mengesankan.
“Kalau memang permasalahan ini terjadi karena perkataanku yang waktu itu,aku sungguh menyesal.”
“Kenapa waktu itu aku tidak diam saja?”
“Untuk apa juga aku harus bertanya kepada si nenek, kapan aku balik ke asrama?”
“Kenapa aku begitu cerewet?”sesalku lirih.
Sesampainya di asrama, aku ambil buku pelajaran yang hampir dua bulan tidak aku sentuh. Kesibukan kerja tiap hari membuatku tidak bisa belajar.
Setelah berpamitan ke ibu asrama, aku langkahkan kaki ini ke balai latihan kerja, sekolah lagi seperti dulu. Aku sapa teman-temanku di kelas. Kemudian aku duduk di kursi baris kedua. Obrolan ringan dengan teman-teman seketika berhenti ketika guru bahasa kantonis datang.
Guru bahasa kantonis ini bukan mantan tenaga kerja. Tetapi dia pintar serta fasih berbahasa kantonis dan juga mandarin. Mungkin kuliahnya dulu mengambil jurusan bahasa asing atau dia memang berasal dari keluarga yang setiap hari ngomong dengan bahasa tersebut.
Awalnya aku heran ketika melihatnya, cowok tetapi kenapa dipanggil Miss, batinku. Berperawakan tinggi besar, rambut lurus sebahu, berkacamata, matanya sipit dan berkulit kuning langsat.
Pemilik PJTKI (Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia) ini bukan orang jawa, atau bahasa lainnya adalah bukan pribumi asli. Calon tenaga kerja pun kalau PKL kebanyakan di rumah orang yang bermata sipit. Mungkin mereka adalah para sahabatnya atau bisa jadi mereka adalah rekan kerja atau bisnisnya.
Penampilannnya tomboy, sekilas tidak terlihat kefeminimannya. Setiap mengajar di kelas, dia memakai celana panjang dan kemeja polos,hanya saja setiap hari berbeda warna.
Plek ketiplek, seperti laki-laki tulen.
Ada salah satu calon tenaga kerja yang PKL di rumahnya. Dia bercerita kalau di rumah, setiap hari dia memakai daster atau rok, pakaian wanita pada umumnya.
“Masa sih dia pakai daster?”
“Masa sih dia pakai rok?”
“Ayo kita membayangkan bareng, seperti apa penampakannya!”
Celetuk salah satu temankku.
Aku dan teman-teman di asrama tertawa cekikikan mendengar ceritanya. Membayangkannya itu lucu.
Galak dan tegas orangnya. Kalau marah suka nggebrak meja dan membanting buku ke lantai.
Bagi mereka yang duduk di kursi paling depan, harus segera mengambil buku yang dibantingnya ke lantai. Kalau tidak atau lambat ngambilnya, seisi kelas bisa kena imbasnya.
Baru berjalan beberapa menit, pelajaran pun terhenti ketika seorang piket kantor datang ke kelas kami. Setelah mengucapkan salam, dia mendekati guru dan memberikan secarik kertas berwarna putih. Setelah itu dia pun permisi.
Oleh guru, dibukanya kertas itu, dibaca, dan dia diam sejenak. Suasana si kelas pun seketika ikut hening. Tatapan matanya tajam, menatap setiap siswanya satu per satu. Mereka terlihat grogi, pun begitu denganku.
Giliranku, dia menatapku tajam, lama, ada beberapa menit sambil senyum-senyum sendiri. Senyumannya terlihat aneh. Bukan seperti senyuman biasanya, bukan mengisyaratkan rasa senang atau bahagia.
“Kamu tidak betah PKL?”
“Kamu tidak berniat untuk kerja?”
Dia bertanya kepadaku, aku bingung mau jawab apa. Lidahku kelu, tanganku sedikit gemetaran. Temanku yang lain hanya terdiam, tidak ada suara apa pun.
Kalau tiba-tiba terdengar suara bolpoin atau buku jatuh ,sontak seisi kelas mengucapkan..”Tue em ci, Miss!”(Maaf, Miss!”).
“Saya betah dan saya berniat kerja, Miss!” jawabku tegas.
“Kalau kamu malas-malasan kerja, majikan itu tidak suka. Kamu kerja di bayar lho!” kata dia lagi.
“Iya Miss!” jawabku.
“Jawab pakai bahasa kantonis!” bentak dia.
“Hai, Miss!” (
“Tue em ci, Miss!”
Aku jadi salah tingkah. Aku merasa ini tidak adil. Semua seperti menyalahkanku, tanpa mau mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu.
Satu kesalahan sepele, bisa menghapus semua kebaikan. Setelah kejadian itu, aku selalu disindir apabila aku melakukan kesalahan atau tidak cekatan dalam mengikuti proses belajar dan mengajar di kelas.
Ternyata mulut lebih tajam dari pedang. Kesalahan satu kalimat bisa ditafsirkan bermacam-macam.
“Kapan aku balik ke asrama,Nek?”
Kalimat tanya sederhana yang membuat namaku di sini menjadi sedikit tercoreng. Padahal sebenarnya bukan maksud hati untuk tidak mau kerja. Bukan maksud pula,bahwa aku menyepelekan pekerjaan di sini dan lebih mementingkan pekerjaan yang dalam arti sesungguhnya, menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri.
Entah apa yang ada di pikiranmu, Nek!
*
Dua minggu setelah kepulanganku dari rumah si nenek, akhirnya aku berangkat ke Hong Kong juga. Baju seragam, jaket, sepatu, dan tas warna biru tua pemberian dari pihak penyalur sudah aku siapkan dari semalam.
Dari awal aku mendaftar menjadi calon tenaga kerja sampai aku mau berangkat ke Hong Kong, baju seragam keberangkatan tidak pernah berubah, sama.Mulai dari model, corak, maupun warnanya.
Sudah tradisi di asrama, pembacaan surat yasin dan pengajian singkat untuk mendoakan para calon tenaga kerja yang mau berangkat ke negara tujuan. Aku dan beberapa temanku yang esok hari mau terbang ke Hong Kong pun mengadakan yasinan dan doa bersama. Kami saling menguatkan, mendoakan dan saling bermaaf-maafan. Aku yang sekitar lima bulan di asrama, sudah pasti banyak salah dan khilaf.
Bercanda yang kadang kelewatan ataupun kata-kata yang menyinggung perasaan. Entahlah, sedih rasanya setiap kali ada yang mau berangkat. Perjuangan di luar negeri siap dihadapi. Perahu layar siap dikembangkan.
Kurang lebih lima jam di pesawat, membuat perutku sedikit tidak nyaman. Bener-bener kampungan.
Aku yang belum pernah naik pesawat sebelumnya, sedikit bingung menggunakan toilet di pesawat. Di kampungku, tidak ada yang namanya tisu toilet. Yang ada adalah air yang jernih dan melimpah ruah.
Di dalam pesawat, aku ngobrol dengan penumpang yang ada di sebelahku. Dia mau berangkat ke tanah suci Makkah. Kami banyak bercerita.
Perjalanan terasa sangat lama. Dari balik jendela pesawat, kulihat gumpalan awan putih. Pesawat kadang terasa gludakkk gludakkk….apa itu karena pesawat yang aku tumpangi menabrak awan? [bersambung]