Tahafut al-Falasifah adalah karya Al-Ghazali yang menjadi kontroversi selama berabad-abad. Di dalam karya ini Al-Ghazali mengkritik para filsuf muslim, terutama Ibnu Sina dan Al-Farabi, khususnya dalam masalah teologi atau kalam. 

wikipedia

Salah satu karya al-Ghazali yang terkenal adalah Tahafut al-Falasifah atau diterjemahkan sebagai “Kerancuan para filsuf”. Karya tersebut juga kontroversial karena dianggap sebagai penyebab mundurnya minat terhadap filsafat dalam dunia Islam, khususnya yg berakar pada filsafat Yunani.

“Para filsuf” yang dimaksud di sini adalah kelompok peripatetik atau orang-orang yg pemikirannya dipengaruhi Platon, Aristoteles, dan Neoplatonisme.

Dalam Tahafut, al-Ghazali menyebut dua nama yaitu Ibn Sina dan al-Farabi.

Dalam Tahafut, al-Ghazali menulis 20 bab sanggahan terhadap pandangan para filsuf terkait beberapa hal, di antaranya: tentang eternitas alam, tentang ketidakmungkinan Tuhan terlibat pd urusan-urusan partikular, serta kebangkitan jiwa (saja) di hari kiamat.

Menurut al-Ghazali, pandangan semacam itu bisa membuat para filsuf keluar dari Islam.

Dalam pandangan para filsuf yg diurai al-Ghazali, mereka meyakini bahwa alam tercipta melalui emanasi yg diturunkan dari Prinsip Pertama (Tuhan).

Dengan demikian, tdk ada celah utk “ketiadaan menjadi ada” atau disebut jg awal temporal.

Mengapa? Dlm pandangan para filsuf yg diurai al-Ghazali, awal temporal tdk mungkin krn Tuhan tdk berada pd awal temporal, dan utk menciptakan awal temporal itu, Tuhan memerlukan intensi dan kehendak.

Intensi dan kehendak ini, dlm pandangan para filsuf yg diurai al-Ghazali, dianggap tdk mungkin dilakukan oleh Tuhan krn jika demikian adanya, maka Tuhan dikenakan kehendak bebas.

Tuhan, bagi para filsuf, menjadikan alam krn sebab-akibat yg terikat hukum keniscayaan.

1). Sanggahan al-Ghazali:
Tuhan meng-ada-kan dan apabila Dia menghendaki, Dia menghancurkan. Selama aktivitas2nya ini, Dia tdk mengalami perubahan, hanya (hasil) perbuatan-Nya lah yg mengalami perubahan.

2). Sanggahan al-Ghazali:
Setiap gerakan didasarkan pd perbuatan Tuhan dan hal2 yg oleh para filsuf disebut sebagai gerakan dr Pelaku hanyalah bersifat metaforis.

Kemudian dlm pandangan para filsuf yg diurai al-Ghazali, disebutkan juga bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dgn suatu pengetahuan universal yg tdk termasuk ke dalam pembagian waktu dan tdk berubah-ubah sejak masa lampau, kini, hingga masa mendatang.

Dilanjutkannya: tak ada sesuatu pun bahkan partikel atom di langit atau di bumi yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Hanya saja, Tuhan mengetahui tiap partikularia scr universal.

3). Sanggahan al-Ghazali:
Memang kenapa jika Tuhan mengetahui segala fenomena temporal? tentu pengetahuan itu akan merupakan suatu tanda kesempurnaan, bukan kekurangan atau penundukan.

4). Sanggahan al-Ghazali:
Hubungan sebab-akibat dalam dunia bukan sesuatu yg niscaya, melainkan semuanya terjadi atas kehendak Tuhan (yang terlibat dalam fenomena temporal dan partikularia).
Dalam hal ini, al-Ghazali agak mirip dgn Hume terkait skeptisismenya pd hub sebab-akibat.

Kemudian al-Ghazali juga mengurai pandangan para filsuf terkait penolakan mereka terhadap kebangkitan tubuh di hari kiamat, penolakan atas kesenangan fisik di Surga dan rasa sakit secara fisik di neraka.

5). Sanggahan al-Ghazali:
Menggabungkan yang bersifat spiritual dan fisik adalah lebih sempurna, dan hal itu mungkin saja.

6). Sanggahan al-Ghazali:
Yang dimaksud dgn kebangkitan adl kebangkitan tubuh-tubuh. Dan ini dimungkinkan dgn mengembalikan jiwa kpd tubuh, baik tubuh itu dibuat dr materi serupa, sprti yg asli atau dibuat dr materi tubuh lain, atau juga dari suatu materi yang blm prnah dicipta sblmnya.

7). Sanggahan al-Ghazali:
Hal-hal yang menyangkut masalah eskatologis (ukhrawi) yang dijanjikan kepada kita tidak merupakan hal yang mustahil bagi kekuasaan Allah. Karenanya, kita harus memahaminya dalam kerangka eksplisit pernyataan.
Meski menjadi penyebab kemunduran minat thd filsafat dlm dunia Islam, ada hal yg mesti diingat dalam serangan al-Ghazali ini:
(1) al-Ghazali menyerang para filsuf lewat pemahaman filsafat yg juga tinggi,
(2) sebelum menulis Tahafut, al-Ghazali menulis Maqasid al-Falasifah yg isinya mengurai dgn jernih pemikiran para filsuf.
Kesimpulan
Al-Ghazali mengecam keras terhadap tiga kesimpulan para filosof, yaitu keabadian alam, pengetahuan Tuhan sebatas pada yang universal, dan jasad tidak dibangkitkan pada akhir zaman.

Menurut Al-Ghazali, tiga kesimpulan itu bisa mengantarkan seorang muslim pada kekafiran.

Rupanya, Al-Ghazali telah salah paham terhadap dua dari tiga kesimpulan para filosof tadi.

Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad.

Al Ghazali

Pertama, mengenai keabadian alam (ke-qadim-an alam).

Al-Ghazali menganggap bahwa filosof telah musyrik karena ada dua entitas yang sama-sama qadim, yaitu Tuhan dan alam.

Padahal, yang qadim hanyalah Tuhan. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa alam ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan Tuhan.

Sebenarnya, Alam disebut qadim oleh filosof bukan berarti keberadaan alam itu tidak butuh kepada Tuhan. Memang, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada sebelum adanya ruang dan waktu. Itulah yang dimaksud alam yang qadim oleh para filosof. Sementara, jika dilihat dari zatnya (zaty), keberadaan alam itu butuh kepada Tuhan. Sehingga, alam itu tetap “baru (hadist)” sebagai lawan dari “abadi (qadim)”. Maka, secara temporal, alam bersifat “qadim”, tetapi secara zat alam tetap bersifat “hadits”. Itu yang disalahpahami oleh Al-Ghazali.

Kedua, Al-Ghazali keliru ketika mengartikan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap alam itu bersifat universal, tidak partikular.

Al-Ghazali menganggap bahwa para filosof telah mengingkari sifat Maha Tahu yang dimiliki Tuhan sebagaimana keterangan yang banyak terdapat di dalam al-Qur’an.

Sebenarnya, filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular dari alam ini, tetapi, filosof mengatakan bahwa cara Tuhan itu berbeda dengan cara manusia dalam mengetahui alam ini.

Pengetahuan Tuhan itu sebagai sebab (illat) dari alam ini, sementara, pengetahuan manusia itu sebagai akibat (ma’lul) dari alam ini.

Pengetahuan Tuhan tentang alam ini sudah pasti benar sehingga alam ini akan mengikuti pengetahuan Tuhan tersebut.

Alam menjadi akibat (ma’lul) dari pengetahuan Tuhan, yang dalam hal ini menjadi sebab (illat).

Pengetahuan manusia itu berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap alam ini, sehingga pengetahuan itu tergantung kepada alam. Maka, alam menjadi sebab (illat) bagi pengetahuan manusia, yang dalam hal ini menjadi akibat (ma’lul).

Kesalahpahaman yang dialami oleh Al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya fatwa dari seorang ulama besar itu pasti benar.

Fatwa beliau bahwa filsafat itu berbahaya adalah tidak benar karena dibangun atas persepsi yang keliru terhadap kesimpulan para filosof tadi.

Pemaparan di atas memberikan informasi kepada kita perihal alasan Al-Ghazali mengharamkan filsafat, yakni karena beberapa kesimpulan para filosof.

Kesimpulan-kesimpulan tersebut sebenarnya berkaitan dengan ajaran Neoplatonisme yang muncul pada abad ke-2M.

Aliran ini mengatakan bahwa Tuhan itu mutlak berbeda dengan alam. Tuhan Yang Maha Tinggi tidak patut menciptakan alam yang rendah ini. Maka, untuk menjelaskan bagaimana terciptanya alam ini, aliran Neoplatonisme menganggap bahwa ada yang mewakili Tuhan untuk mengatur alam ini, yakni yang dinamakan dengan “nous” (akal).

Ajaran tersebut telah mengantar para filosof muslim kepada tiga kesimpulan tadi.

Dengan demikian, sebenarnya Al-Ghazali tidak menolak keseluruhan sistem filsafat yang selama ini dibangun.

Al-Ghazali hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat secara keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih tetap menggunakan logika Aristoteles, misalnya. Itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan.

Pelajaran Mantiq yang diajarkan di pesantren-pesantren sampai saat ini tidak lain adalah logika Aristoteles yang sudah ada sejak 5 abad sebelum masehi.

Jadi, filsafat harus tetap hidup di dunia Islam agar umat Islam bisa meraih kembali kejayaan seperti di masa lalu.

Terbukti, ketika masa dinasti Abbasiyyah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat serta buku-buku pengetahuan lainnya, umat Islam memperoleh kejayaan yang luar biasa, jauh melampaui Eropa.(Nanang Rosidi).

Karya seorang tokoh besar Islam bernama Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) juga telah dibantah oleh Ibnu Rushd, tokoh besar lain yang lahir sesudah Al-Ghazali tiada. Karya Ibnu Rushd yang merupakan bantahan terhadap karya Al-Ghazali tersebut oleh Ibnu Rushd diberi judul Tahafut Al Tahafut (Kerancuan di atas Kerancuan).
Wallahu’alambishshawab

Diberdayakan :

Sudirman Muhammadiyah

(Belajar bijak)

Sumber Suntingan bacaan:
1). Al-Ghazzālī (2000). The Incoherence of The Philosophers (Tahāfut al-Falāsifah): A Parallel English-Arabic Text. Michael E. Marmura (translator). Utah: Brigham Young University Press.

2)Imam al-Ghazali. (2015). Tahafut Al Falasifah: Kerancuan Para Filsuf. Diterjemahkan oleh Achmad Maimun. FORUM.
3). Nanang Rosidi, 2013, Penolakan Al-Ghazali terhadap Filsafat, Kompas. com.

Bersungguh-sungguhlah engkau dalam menuntut ilmu, jauhilah kemalasan dan kebosanan kerana jika tidak demikian engkau akan berada dalam bahaya kesesatan.

Al Ghazali


















(Visited 1,774 times, 5 visits today)
Avatar photo

By Sudirman Muhammadiyah

Dr. Sudirman, S. Pd., M. Si. Dosen|Peneliti|Penulis| penggiat media sosial| HARTA|TAHTA|BUKU|

4 thoughts on “Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsuf)Kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat”
  1. Seperti api yg terlihat dan terasa panas , ketika ditiup kemana api itu!? Bayangan yg membayangi apa yang diwujudkan dalam kenyataan tetap membayangi…

  2. Mantap pk. Semoga dari berbagai referensi filsafat yg telah dituangkan dalam tulisan ini memberikan pencerahan pada jalan kebenaran untuk sampai pada satu kesimpulan, bahwa kebenaran adanya satu Tuhan, satu manusia dan satu alam semesta dapat tertemukan. Sadar atau tidak, sebenarnya filsuf dari beberapa tokoh yang sudah terkenal seperti plato Aristoteles dll. Jika disandingkan dengan pengetahuan keberanran Orang bugis, secara pribadi sy ingin mengatakan bahwa tokoh intelektual orang bugis jauh masih diatas dari pada para tokoh filsuf tersebut. Hanya saja pengetahuan orang bugis selama ini yang bercampur baur antara filsafat dan tasauf belum diletakkan secara mendasar oleh para intelektuanya. Ini yang menjadi kelemahan. Menurut temuan pada kerangka pengetahuan liar, intelektual tokoh orang bugis jau lebih sempuna pemahamannya tentang pra sejarah, sejarah kenabian (kewalian), sejarah kerajaan bahkan kita punya sejarah ampera, arde lama, orde baru dan sekarang erah reformasi. Catatan: pengetahuan ini pada tokoh orang bugis tertentu, sepertinya pengetahuan ini sangat original sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: