Kritik Martin Heidegger atas Ontologi “Dunia” Cartesian.

Pemikiran Martin Heidegger masih terasa pengaruhnya hingga hari ini. Ketika perkembangan teknologi dan sains semakin maju, manusia terasing di dalam sistem dunia dan kerap kali merasa cemas akan eksistensinya, maka pemikiran Heidegger selalu dirujuk dan dibicarakan, meski ia dan gagasan pemikirannya kurang terkenal jika dibandingkan dengan pendahulunya seperti Friedrich Nietzsche yang bak idola bagi kawula muda dan gerbang pertama untuk menggugat Tuhan ketika mulai beranjak dewasa.

Berbeda dengan Nietzsche yang karyanya sudah banyak dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, pemikiran Heidegger belum  pernah ada yang diterjemahkan.

Apalagi karya besarnya Sein und Zeit (Being and Time).dianggap sebagai salah satu filsuf Jerman paling berpengaruh dan paling orisinal di abad ke-20.

Sebagian besar reputasinya berasal dari karyanya, ‘Being and time’ di mana dia menggunakan koin, yang membuat filosofinya padat.

Studi, pemikiran dan karyanya berkisar pada topik seperti ‘Being’, ‘unity’, ‘freedom’, ‘care’ dan ‘possibility’.

Meskipun istilah-istilah ini sederhana untuk diakui dalam spektrum yang luas, ia berpendapat bahwa kita hanya memikirkannya ketika kita sendirian atau terisolasi.

Dalam kritiknya terhadap Descartes, ada dua problem yang hendak diincar oleh Heidegger yakni pertama, pembelahan subjek – objek filsafat modern sejak Descartes.

Kedua, problem mendasar lainnya, yakni untuk mendapatkan pemahaman mengenai makna “Ada” melalui pemeriksaan atas manusia.

Heidegger mengajukan pertanyaan: Apakah ontologi “dunia” a la Descartes itu melihat fenomena dunia secara keseluruhan? Jika tidak, sekurang-kurangnya, apakah mendefinisikan ada ke-dunia-an sejauh karakter keduniaannya dapat terlihat?.

Menurutnya, tidak. Alasannya, karena Descartes berangkat dari prinsip ‘ada’ yang meluas dan disamakan sebagai dunia. Lalu Descartes mengakses ‘ada’ tersebut melalui pikiran (matematika dan fisika).

Namun justru di sini poin kritik Heidegger: “dunia” dalam pemikiran Descartes, tidak membiarkan “dunia” tersebut hadir dengan sendirinya.

Heidegger melanjutkan: bagaimana mungkin Descartes mengidentifikasi ada yang pasti dan adanya tersebut dengan dunia, jika ia tidak tahu fenomena dunia sepenuhnya?.

Heidegger mengatakan bahwa perjumpaan antara dunia dan pengadanya terletak pada esensi “ada” Da-sein itu sendiri dan melalui keseharian.

Dunia dan Da-sein secara ontologis konstitutif berada di dekat kita: dalam keseharian. Alasannya karena struktur manusia (ek-sistensi) itu tidak diabstraksi secara isolatif dari dunia, melainkan berada bersama dalam keseharian.

Keseharian mendapat prioritas dalam pemikiran Heidegger karena dunia keseharian menunjukkan dunia saat segala sesuatunya dipahami secara pra-reflektif tanpa meninggalkan maknanya secara isolatif.

Berbeda dengan upaya Descartes untuk mengandalkan pikiran sebagai satu-satunya cara untuk melihat realitas, Heidegger menganggap dunia fenomena sebagai kondisi a priori bagi Da-sein.


Dunia, bagi Heidegger, bukan sesuatu yang berada di luar Da-sein/ Ek-sistensi.

Setiap orang adalah orang lain dan tidak ada orang yang menjadi dirinya sendiri

Heidegger

Ek-sistensi secara esensial merupakan Ada-di-dunia (In-der-Welt-sein), dan “dunia” adalah Dasein atau eksistensial.

Heidegger juga menolak beragam interpretasi bahwa dunia adalah realitas “objektif” yang berlawanan dengan pemahaman “subjektif”.

Dengan kata lain, “dunia” tidak benar-benar berbeda dengan Da-sein, karena merupakan cara berada Da-sein.

Sebab menurut Heidegger, Da-sein sudah selalu ada-bersama/ ada di-dunia.

Semoga bermanfaat, terus mencintai Filsafat, agar kita semakin bijak.

Diedit untuk diberdayakan bagi pecinta literasi.
Makassar,  September 2022

Sudirman Muhammadiyah

(Hidup sekali, Berarti &bermakna lalu mati)

Manusia bertindak seolah-olah dialah pembentuk dan ahli bahasa, padahal bahasa tetaplah penguasa manusia

Martin Heidegger

Daftar Pustaka:
Carman, Taylor. (2003). Heidegger’s Analytic: Interpretation, Discourse, and Authenticity in Being and Time. New York: Cambridge University Press.

Stambaugh, Joan. (1996). Being and Time. Albamy: State University of New York Press.
Sukmono, @Banin_Diar. (2017). Kemandirian Dunia dalam Pemikiran Martin Heidegger (Kritik atas Pembacaan Materialisme Spekulatif Quentin Meillasoux). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.






(Visited 42 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sudirman Muhammadiyah

Dr. Sudirman, S. Pd., M. Si. Dosen|Peneliti|Penulis| penggiat media sosial| HARTA|TAHTA|BUKU|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: