Kata-kata iseng entah itu dari siapa aku tak tahu. Siapakah penulis aslinya, sampai sekarang belum juga ada titik terang. Terus terang saja, aku pun sudah tak tertarik dan tak berminat untuk menyelidikinya, hehe…
“Salam dong untuk penjual nanas yang manis!” tertanda titik titik…
Aku hanya tersenyum tipis, tetapi jujur saja sebagai anak yang baru gede, anak yang masih normal, boleh lah kalau sedikit punya rasa salah tingkah dan sebangsanya ketika ada sebuah gombalan manis dari seorang lawan jenis tentang sebuah rasa. Meskipun sebenarnya makna dari rasa itu belumlah jelas ujungnya.
Dan jujur saja rasa itu sering muncul menghampiri hati kecilku yang paling dalam. Maklum, anak SMP yang lagi bau-bau kencur banget. Tulisan yang tak bertuan, sering aku jumpai di waktu pagi hari. Ditulis di papan tulis yang berwarna hitam, diukir dengan menggunakan kapur tulis berwarna putih.
Papan tulis dengan ukuran lumayan besar. Tulisan yang hampir memenuhi seluruh bagian papan tulis, sehingga sangat jelas untuk dilihat dan dibaca.
Kalau aku berangkat ke sekolah lebih awal, tentu saja segera kuhapus tulisan yang ada di papan tulis.Tetapi, kalau aku agak terlambat berangkat ke sekolah, terkadang ada saja teman sekelas yang usil, entah itu temen cowok ataupun temen cewek. Mereka sengaja tak menghapusnya sebelum aku datang ke sekolah.
“Cieee cieeee dapat salam nih yee… cuiittt cuitttt!”
“Mana nih penjual nanas yang manis? Nanasnya yang manis atau orangnya kah yang manis?’ goda teman-teman sekelasku.
Aku tak peduli dengan candaan teman-teman sekelas karena sudah biasa juga. Tetapi terkadang sering juga aku lempar mereka dengan busa penghapus papan tulis kalau mereka terlalu berlebihan. Aku tak pernah marah ataupun tersinggung, aku baik-baik saja dan aku merasa senang.
Sebuah rutinitas sehari-hari bagiku. Berangkat ke sekolah dengan membawa dagangan sederhana. Kujual kepada mereka para penghuni di kelasku atau banyak juga dari mereka tetangga kelas yang mampir untuk membeli daganganku. Jualanku selalu laris manis. Aku sangat bahagia karena aku mendapatkan uang dari hasil jualanku.
Buah nanas sudah aku kupas dan aku potong-potong dari rumah. Kemuadian, aku bungkus menggunakan plastik putih tipis. Aku jual seribuan, tetapi ada juga yang aku jual dua ribuan, tergantung besar kecilnya buah nanas. Plus balado keripik singkong yang rasanya manis pedas gurih.
Setiap jam istirahat aku sibuk melayani pembeli, entah dari teman sekelas ataupun dari kelas lain. Paling sering adalah teman sekelas, selalu habis di jam istirahat pertama.
Teman sekelasku paling heboh sendiri, nanas dan keripik singkongku sering jalan-jalan di waktu kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung dengan alasan biar tidak ngantuk di kelas.
Aku kadang tak mau, aku takut ketahuan bapak atau ibu guru. Tetapi namanya juga teman seperjuangan, kadang aku tak tega juga melihat mereka menahan kantuk yang sudah kian parah. Aku akan merasa sangat berdosa jika membiarkan mereka teraniaya karena menahan kantuknya.
Secara estafet, secuil kertas putih pun berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain,. Di dalamnya terdapat surat cinta bertuliskan, “Beli nanas sama keripik singkongnya dong dua, duitnya nanti ya?”
Kemudian buah nanas dan keripik singkongnya pun dikirim secara estafet pula, dikirim ke tempat tujuan dengan aman dan terkendali, main lirik-lirikan dengan bangku sebelah, tak boleh berisik dan tak boleh ketahuan bapak atau ibu guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran.
Buah nanas yang segar dan keripik singkong pedas manis gurih menjadi senjata yang lumayan ampuh dan jitu untuk menopang mata supaya tetap tenang dan nyaman sesuai pada tempatnya. Sebagai salah satu alat juga agar asupan oksigen berjalan dengan lancar menuju otak. Dengan demikian, otak bisa menerima pelajaran dengan baik dan sempurna.
Kutulis balik di kertas pengirimnya, “Makan keripik singkongnya harus pelan-pelan, jangan sampai suara kriukkknya kedengaran Bapak atau Ibu ya? Kalau bisa diemut saja seperti permen, hiksss…”
Aku tak tega ketika melihat wajah Emak yang sudah keriput terlihat sedih. Hasil dari jualan nanas dan keripik singkong aku serahkan ke Emak. Ia selalu menangis ketika menerima uang dari hasil jualanku di sekolah. Sambil mengusap lembut kepalaku, sambil tersedu Emak bilang, “Maafin ya, Nak?”
[Bersambung]