Dari lomba penulisan biografi dalam rangka HUT BPKP ke-41 tahun 2024, terkumpullah sejumlah naskah. Tidak ingin membiarkan naskah-naksah tersebut hanya berakhir di laci meja panitia, maka founder gerakan Satu Birokrat Satu Buku (Sabisabu), Adrinal Tanjung, berinisiatif untuk menerbitkan naskah-naksah tersebut secara bertahap.
Selama ini, kita mengenal “The Three Musketeers” melalui novel dan film layar lebar tentang seorang laki-laki bernama D’Artagnan yang meninggalkan tempat tinggalnya di Gascon menuju Prancis untuk bertemu dengan Monsieur de Treville, kapten para Musketeers. Dalam perjalanannya, D’Artagnan ditimpa banyak kejadian. Mulai dari terlibat perkelahian, surat wasiat yang dicuri, sampai kehabisan perbekalan uang yang diberikan ayahnya ketika hendak meninggalkan Gascon. Walau begitu, D’Artagnan berhasil tiba di tempat tujuan dan menemui Monsieur de Treville. Di sinilah awal mula D’Artagnan bertemu dengan tiga musketeers yang dikenal karena kehebatannya, yaitu Athos, Porthos, dan Aramis.
Dalam buku ini, Adrinal Tanjung memilih tiga naskah untuk diterbitkan menjadi sebuah buku yang diberi judul “The Three Auditor Musketeers“, biografi tiga orang insan auditor BPKP, yaitu: “Si Pendobrak” Totok Prihantoro, “Si Penihil Rasa” Kapsari, dan “Si Anak Kampung” Edy Pramono. Bagi Adrinal, ketiga auditor BPKP tersebut layaknya “The Three Musketeers” yang hebat pada bidang kerjanya masing-masing.
Bagian pertama buku ini menghadirkan serangkaian narasi yang menggugah melalui pengalaman pribadi “Si Pendobrak” Totok Prihantoro. Dimulai dengan “Benih Awal Kritis terhadap Tradisi yang Membelenggu”, Totok banyak mengkritisi hal-hal keseharian yang menurutnya “tidak benar” selama bersekolah. Namun, di bab selanjutnya, “Trauma di Organisasi Formal”, Totok mulai membatasi diri dari kegiatan organisasi formal di kampus STAN.
Sepanjang kariernya, Totok mampu menghasilkan solusi-solusi kreatif dengan memanfaatkan skill dan sumber daya yang ada, berhasil “unjuk diri” dengan kompetensinya sehingga bisa berontribusi maksimal untuk pekerjaan, memilih untuk berbagi pengetahuan dan tidak pelit ilmu, dan bagaimana dirinya mampu menghadapi tuduhan keji korupsi yang justru berbalik mendapat kepercayaan berupa promosi kerja di inspektorat.
Sejalan dengan tugas belajar, Totok mulai berkecimpung di audit investigasi. meskipun sempat terlalu idealis dalam menyelesaikan studi, akhirnya, Totok pun “berdamai” dengan keadaan dan menyelesaikan studi sesuai target.
“Bongkar Konspirasi” dan “Profesionalitas: Melawan Teman Sendiri” merupakan dilema etis yang kompleks dihadapi oleh Totok dalam lingkungan kerja, termasuk menjadi saksi atas terdakwa satu alamamater sekolah. Selanjutnya, “Terjebak ke Dalam Dunia Forensik Komputer” dan “Anggota Awal Satgas Forensik Komputer” memperlihatkan bagaimana penulis terlibat dalam bidang audit forensik komputer dan berkontribusi dalam pengembangan teknik audit yang lebih canggih.
Pada bab-bab terakhir, seperti “Unjuk Prestasi, Jabatan Menanti”, “Ahli Multikompetensi”, dan “Mengasah Diri Menuju Jenjang yang Lebih Tinggi” menutup bagian pertama buku ini dengan fokus pada pencapaian dan pengembangan diri Totok Prihantoro.
Bagian kedua buku ini menghadirkan sosok “Si Penihil Rasa” Kapsari. Dengan subjudul bagian “Bentang Titian Ilmu”, Kapsari menuturkan secara kronologis dan detail bahwa hidup dan kariernya adalah sebuah perjalanan menuntut ilmu. Secara lugas, Kapsari membagi tulisannya menjadi tiga bagian, yaitu: academic journey, some lesson laerned, dan some by products.
Mungkin tidak terbayang bagi kita bagaimana Kapsari harus putus sekolah terlebih dahulu selama dua tahun karena alasan ekonomi sebelum melanjutkan sekolah di SMA; bagaimana si penguasa ilmu Matematika, Fisika, dan Kimia (MFK) ini harus belajar ekstra tentang Akuntansi, Ekonomi, dan Manajemen (AEM) saat berkuliah di STAN; bagaimana Kapsari yang tidak pandai berbahasa Inggris dan tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa studi lanjut ke Negeri Sakura; bagaimana di studi doktoralnya Kapsari harus mendalami ilmu social science; dan tidak heran mengapa tulisan-tulisan kapsari begitu mendalam karena faktanya Kapsari menyukai ilmu filsafat.
Secara khusus, Kapsari menuliskan sejumlah insight, pelajaran, atau hikmah terkait ilmu dan karier yang dapat dipetik pada subbagian some lesson learned. Jangan lewatkan pula lima untaian syair yang Kapsari tulis dan benar-benar sulit dipahami oleh sebagian pembaca, bahkan mampu menihilkan rasa semua pembaca.
Terakhir, bagian ketiga adalah kronologis yang indah tentang perjalanan hidup dan karier “Si Anak Kampung” Edy Pramono yang berasal dari Desa Tunggak, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Si pintar Edy Pram bocah asal Desa Tunggak ini tidak mengira bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalaninya, persaingan pun semakin ketat, terutama dengan anak-anak kota. Sempat jungkir balik untuk sekadar tidak drop out dari tingkat I STAN, Edy Pram pun bisa menyelesaikan studi D III, D IV, dan skripsi dengan baik dan mendapat gelar akuntan.
Didampingi istri tercinta, adik kelasnya saat kuliah, Edy Pram menjalani penugasan di berbagai tempat, yaitu Perwakilan BPKP Provinsi Lampung, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Maluku dan Maluku Utara. Kalaulah ada yang dijuluki auditor sejati, maka Edy Pram adalah orangnya. Lalu, apakah akhir kariernya nanti akan benar-benar mengokohkan Edy Pram sebagai auditor sejati? Tunggu buku ini terbit! []