Di tengah hiruk-pikuk kehidupan para buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, ada satu kegiatan yang selalu dinanti dan penuh antusiasme, yakni acara pengajian yang diadakan oleh Majlis Dzikir Ilham (MDZ). Sebagai salah satu organisasi Muslim Indonesia terbesar di Hong Kong, MDZ tidak pernah gagal mengumpulkan ribuan jamaah setiap kali mengadakan pengajian. Salah satu acara besar yang baru saja berlangsung adalah pada Minggu, 22 September, di mana MDZ mendatangkan ustadzah terkenal dari Jawa Timur, Indonesia, yakni “Umi Ning Laila”.
Saya, sebagai salah satu jamaah yang aktif mengikuti kegiatan MDZ melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram, tentu tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengikuti acara pengajian ini. Setiap kali MDZ mengumumkan acara pengajian, saya selalu berusaha untuk hadir, baik secara fisik maupun spiritual, untuk mendapatkan siraman rohani yang menyejukkan hati.
Cuaca di Hong Kong yang sering kali tidak menentu membuat perjalanan menuju pengajian kali ini penuh tantangan. Ramalan cuaca hari itu memprediksi hujan sepanjang hari. Namun, Alhamdulillah, hujan hanya turun pada sore hari sekitar pukul 16.00, setelah acara pengajian selesai. Meski begitu, cuaca panas bercampur mendung tanpa angin membuat suasana terasa seperti dipanggang dalam oven. Para jamaah yang antri di luar masjid pun harus berjuang melawan kepanasan sambil menunggu giliran masuk.
Pengajian diadakan di Masjid Kowloon, atau yang lebih dikenal sebagai Masjid dan Islamic Center Kowloon, yang terletak di Tsim Sha Tsui, pusat kota Hong Kong. Acara ini dibagi menjadi dua sesi, yakni sesi pagi dari pukul 10.00 hingga 13.00, dan sesi siang dari pukul 14.00 hingga 17.00. Saya memilih untuk mengikuti sesi siang karena perjalanan dari rumah majikan menuju masjid cukup jauh. Selain itu, saya ingin mendapatkan tempat duduk di depan agar bisa lebih fokus mendengarkan tausiyah tanpa gangguan suara berisik dari jamaah di belakang.
Saat tiba di depan masjid sekitar pukul 9.00 pagi, saya terkejut melihat antrian untuk sesi siang sudah dimulai, meskipun sesi pagi bahkan belum dimulai. Banyak jamaah yang sudah datang sejak dini hari. Seorang teman yang saya tanyai mengatakan bahwa dia sudah mengantri sejak pukul 6.00 pagi. Saya yang merasa pukul 9.00 sudah cukup pagi saja terkejut mendengarnya.
Untungnya, saya sudah mempersiapkan bekal makan siang, air minum, dan beberapa camilan agar tidak perlu repot-repot meninggalkan antrian untuk mencari makan. Begitu sampai, saya langsung duduk di teras masjid dan melanjutkan antrian bersama jamaah lainnya.
Namun, tak lama kemudian terjadi sedikit kekacauan antara panitia dan para pengantri. Ternyata, panitia tidak memasang garis pembatas yang jelas untuk memisahkan antrian sesi siang di depan pintu masuk masjid. Masjid yang memiliki tiga pintu masuk, hanya membuka dua pintu saat acara berlangsung. Pintu ketiga, yang tadinya menjadi tempat duduk para pengantri sesi siang, akhirnya harus dibuka karena masjid sudah penuh sesak oleh jamaah sesi pagi. Panitia meminta para pengantri sesi siang untuk mundur, namun karena jumlahnya yang banyak, mundur secara teratur menjadi sulit dilakukan.
Meskipun terjadi sedikit kekacauan, hal ini justru menjadi bukti betapa antusiasnya para BMI dalam menuntut ilmu agama. Mereka rela mengantri berjam-jam di bawah terik matahari, berdesakan, dan bahkan bertengkar hanya untuk mendapatkan tempat dalam pengajian. Tak peduli apa niat mereka—apakah untuk mencari ilmu, memperbarui status media sosial, atau sekadar ingin melihat ustadzah secara langsung—yang terpenting adalah mereka hadir di majlis ilmu.
Dalam Islam, majlis ilmu diibaratkan sebagai bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Berada di dalam majlis ilmu, di tengah-tengah siraman rohani, merupakan tindakan yang sangat positif. Para BMI ini mungkin memiliki berbagai alasan pribadi, tetapi pada akhirnya, mereka semua mencari ketenangan hati melalui ajaran agama yang mereka peroleh dari pengajian.
Acara pengajian yang diadakan oleh MDZ tidak hanya sekadar untuk menambah ilmu, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan penguatan spiritual bagi para BMI yang jauh dari keluarga. Di tengah kesibukan bekerja dan tekanan hidup di negeri orang, acara-acara seperti ini menjadi oasis yang menyejukkan hati dan pikiran. Setiap kali mengikuti pengajian, saya selalu merasa seperti baterai spiritual saya terisi kembali. Rasa lelah, galau, dan kerinduan pada keluarga di tanah air perlahan-lahan sirna, digantikan oleh semangat baru untuk menjalani hari-hari ke depan dengan lebih baik.
Sebagai buruh migran, kami sering kali dihadapkan pada situasi yang sulit. Jauh dari keluarga, bekerja di bawah tekanan, dan hidup di lingkungan yang berbeda membuat kami rentan terhadap stres. Namun, dengan adanya majlis ilmu seperti yang diadakan oleh MDZ, kami bisa menemukan ketenangan batin dan kekuatan untuk terus berjuang.
Kehidupan para buruh migran tidak hanya berkisar pada kerja dan kerja. Kami, para BMI, juga adalah Muslimah yang memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu dan memperbaiki diri. MDZ telah memberikan wadah yang sangat baik bagi kami untuk menjalankan kewajiban tersebut. Setiap pengajian yang diadakan tidak hanya memberikan pengetahuan agama, tetapi juga memperkuat solidaritas dan rasa persaudaraan di antara para BMI.
Majelis ilmu ini menjadi tempat di mana kami bisa saling berbagi cerita, bertukar pengalaman, dan saling menguatkan satu sama lain. Di tengah-tengah pengajian, candaan dan tawa kecil sering kali terdengar, menunjukkan betapa akrab dan hangatnya suasana di antara para jamaah.
Akhirnya, semoga kegiatan-kegiatan seperti ini terus ada dan berkembang. Sebagai buruh migran, kami membutuhkan lebih banyak dukungan spiritual dan mental untuk menjalani kehidupan di negeri orang. MDZ telah menunjukkan bahwa melalui kebersamaan dan semangat menuntut ilmu, segala rintangan dapat dihadapi dengan lebih baik. []
BMI is also a Muslimah: The Struggle to Seek Knowledge in Hong Kong
Amidst the hustle and bustle of the lives of Indonesian migrant workers (BMI) in Hong Kong, there is one activity that is always awaited and full of enthusiasm, namely the pengajian event held by Majlis Dzikir Ilham (MDZ). As one of the largest Indonesian Muslim organizations in Hong Kong, MDZ never fails to gather thousands of worshipers every time it holds pengajian. One of the big events that just took place was on Sunday, September 22, where MDZ brought in a famous ustadzah from East Java, Indonesia, namely “Umi Ning Laila”.
As one of the worshipers who actively follows MDZ activities through social media such as Facebook and Instagram, I certainly did not want to miss the opportunity to attend this pengajian event. Every time MDZ announces a pengajian event, I always try to attend, both physically and spiritually, to get a spiritual shower that soothes the heart.
The weather in Hong Kong, which is often unpredictable, made the journey to the pengajian this time full of challenges. The weather forecast that day predicted rain all day long. However, thank God, it only rained in the afternoon around 4:00 p.m., after the pengajian event had finished. Even so, the hot weather mixed with clouds without wind made the atmosphere feel like being baked in an oven. The congregation queuing outside the mosque had to fight the heat while waiting for their turn to enter.
The pengajian was held at the Kowloon Mosque, or better known as the Kowloon Mosque and Islamic Center, located in Tsim Sha Tsui, downtown Hong Kong. The event was divided into two sessions, namely the morning session from 10:00 a.m. to 1:00 p.m., and the afternoon session from 2:00 p.m. to 5:00 p.m. I chose to attend the afternoon session because the journey from my employer’s house to the mosque was quite far. In addition, I wanted to get a seat in the front so I could focus more on listening to the sermon without being disturbed by the noisy voices from the congregation behind.
When I arrived in front of the mosque around 9:00 a.m., I was surprised to see that the queue for the afternoon session had already started, even though the morning session had not even started. Many of the congregation had arrived since early morning. A friend I asked said that he had been queuing since 6:00 a.m. I, who felt that 9:00 a.m. was already early enough, was surprised to hear that.
Luckily, I had prepared lunch, drinking water, and some snacks so that I didn’t have to bother leaving the queue to find food. As soon as I arrived, I immediately sat on the terrace of the mosque and continued queuing with the other congregation.
However, not long afterward there was a little chaos between the committee and the queuing people. It turned out that the committee did not put up a clear dividing line to separate the afternoon session queue in front of the mosque entrance. The mosque, which has three entrances, only opened two doors during the event. The third door, which was previously used as a seat for the afternoon session queuing people, finally had to be opened because the mosque was already crowded with morning session congregations. The committee asked the afternoon session queuing people to step back, but because of the large number, it was difficult to step back in an orderly manner.
Although there was a little chaos, this was actually proof of how enthusiastic the BMI were in pursuing religious knowledge. They are willing to queue for hours under the scorching sun, jostle each other, and even fight just to get a place in the pengajian. No matter what their intentions are—whether to seek knowledge, update their social media status, or simply want to see the female teacher in person—the most important thing is that they attend the pengajian.
In Islam, the pengajian is likened to Noah’s ark that saved humanity from destruction. Being in the pengajian, in the midst of spiritual nourishment, is a very positive act. These Indonesian migrant workers may have various personal reasons, but in the end, they all seek peace of mind through the religious teachings they gain from pengajian.
The pengajian events held by MDZ are not only to increase knowledge, but also become a means of friendship and spiritual strengthening for Indonesian migrant workers who are far from their families. In the midst of the busyness of work and the pressures of life in a foreign country, events like this become an oasis that soothes the heart and mind. Every time I attend pengajian, I always feel like my spiritual battery is recharged. The feeling of tiredness, anxiety, and longing for family in the homeland slowly disappeared, replaced by a new spirit to live the days ahead better.
As migrant workers, we are often faced with difficult situations. Being far from family, working under pressure, and living in a different environment makes us vulnerable to stress. However, with the existence of a science council like the one held by MDZ, we can find inner peace and strength to continue fighting.
The lives of migrant workers do not only revolve around work and work. We, the BMI, are also Muslim women who have an obligation to seek knowledge and improve ourselves. MDZ has provided an excellent forum for us to carry out this obligation. Every pengajian held not only provides religious knowledge, but also strengthens solidarity and a sense of brotherhood among the BMI.
This science assembly is a place where we can share stories, exchange experiences, and strengthen each other. In the midst of the pengajian, jokes and laughter are often heard, showing how friendly and warm the atmosphere is among the congregation.
Finally, hopefully activities like this will continue to exist and develop. As migrant workers, we need more spiritual and mental support to live life in a foreign country. MDZ has shown that through togetherness and the spirit of seeking knowledge, all obstacles can be faced better. []