Oleh: Ruslan Ismail Mage*
“Pemimpin sejati melihat lebih jauh dibanding orang lain, mendengar lebih duluan dibanding orang lain, merasakan lebih dalam dibandingkan orang lain.” Kalimat ini menegaskan bahwa seorang pemimpin sejati harus visioner, memiliki kecerdasan mendengar informasi lebih awal, serta bijak dalam memilih diksi yang mampu menyentuh hati rakyatnya, bukan justru melukai. Harapan lahirnya pemimpin dengan kemampuan tersebut sejatinya terletak pada proses seleksi demokrasi, seperti Pilkada, yang diharapkan melahirkan sosok dengan intelektualitas, kapabilitas, moralitas, serta keberpihakan nyata kepada rakyat.
Namun, apa yang tersaji di panggung Pilkada terkadang justru menampilkan ironi. Debat kandidat yang seharusnya menjadi arena adu gagasan dan solusi untuk daerah, seringkali berubah menjadi panggung saling serang secara personal, miskin substansi, bahkan kehilangan adab. Ketajaman pikiran tergantikan oleh ketajaman lidah, hingga nyaris terjadi kontak fisik. Alhasil, publik disuguhi tontonan yang jauh dari harapan akan lahirnya pemimpin berkualitas.
Meskipun begitu, panggung debat tetap memiliki sisi positif. Dari sini, masyarakat dapat lebih awal menilai karakter dan kemampuan calon pemimpin. Bagi pemilih yang kalkulatif, debat menjadi sarana mengukur mana kandidat yang hanya mengedepankan ego dan ambisi pribadi, serta mana yang benar-benar amanah dan dapat dipercaya.
Namun, di tengah semua itu, muncul fenomena menarik yang patut dikritisi, yakni istilah “Pasangan Politisi Janda.” Apa maksudnya? Apakah ini terkait politisi yang mempermainkan janda, menyantuni janda, atau justru menjadikan janda sebagai alat kampanye? Nyatanya, istilah ini muncul dari penggunaan diksi “janda” dalam narasi kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 01, yang mengundang kontroversi.
Dalam sebuah pertemuan dengan relawan, calon wakil gubernur Suswono melontarkan guyonan yang menganjurkan agar “janda kaya menikahi pemuda pengangguran,” terinspirasi dari pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Siti Khadijah. Tak pelak, pernyataan ini memantik reaksi publik. Banyak yang menganggapnya menyinggung perasaan janda sekaligus melecehkan Nabi Muhammad dengan mengasosiasikannya pada konteks yang tidak relevan.
Alih-alih belajar dari kesalahan tersebut, calon gubernur Ridwan Kamil justru mengikuti jejak serupa. Dalam kampanyenya, ia menyampaikan bahwa “janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis, diberi sembako oleh Bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan.” Meskipun niatnya tampak baik, penggunaan diksi tersebut kembali mengundang kontroversi, dianggap merendahkan status janda dan menyulut emosi publik.
Pernyataan-pernyataan ini, menurut Nanda Ismael dari #SaveJanda, sama sekali tidak menyentuh solusi konkret untuk pengentasan kemiskinan atau pengangguran. Sebaliknya, ini menunjukkan pola pikir dangkal dan malas untuk menganalisis persoalan secara komprehensif.
Inilah contoh nyata bagaimana pemimpin yang kaya gelar akademik bisa saja miskin rasa; kaya moralitas tetapi miskin adab; dan kaya narasi tetapi miskin diksi. Dalam politik, kesalahan kecil dalam memilih kata bisa menjadi harimau yang menelan tuannya.
Kini, kita menanti bagaimana respons publik di bilik suara pada 27 November 2024. Akankah pepatah lama “mulutmu harimaumu” terbukti? Atau justru fenomena ini menjadi pembelajaran untuk semua calon pemimpin? Mari kita menjadi saksi dari perjalanan demokrasi ini.
*Penulis adalah akademisi, inspirator, dan penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.