Pagi ini, jagad maya diriuhkan dengan ramainya kabar peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2024. Tak sedikit sahabat guru dan kepala sekolah, berlomba memajang di status media sosialnya, mereka sedang ikut upacara dengan mengenakan pakaian adat, sebagian lagi mengenakanbbatik kebesaran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), salah satu organisasi profesi guru di negeri ini.

Anakku yang kelas enam Sekolah Dasar tak kalah sibuknya. Sudah sepekan terakhir dia menyisihkan uang jajan untuk digunakan menyiapkan bingkisan bagi gurunya di hari ini. Dengan memanfaatkan kardus bekas, selotip, dan lem tembak, saban malam ia memoles bingkisannya. Hari ini, dia minta diantar ke sekolah, karena ia membawa bingkisan yang akan merepotkan ia bawa bila berjalan kaki.

Aku bukan guru, tetapi bapak dan ibuku guru. Seorang adikku juga memilih profesi itu bersama suaminya. Tetapi terus terang, aku menyukai aktivitas mendidik, membimbing, dan mengajar. Saat masih aktif di salah satu organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, aku memilih mengurusi pelatihan organisasi hingga ke tingkat nasional.

Tapi, melalui tulisan ini, aku bukan ingin menceritakan pengalaman. Aku ingin berbagi refleksi di hari yang diperingati dengan tema yang lumayan berat, Guru Hebat, Indonesia Kuat. Ya, tahun ini, Hari Guru Nasional mengusung tema itu. Kalimatnya pintas, pilihan katanya cergas, dan tentu saja maknanya lugas.

Tulisan ini menjadi sarana bagiku untuk menitipkan harapan perihal guru, dan juga pendidikan. Aku membayangkan guru hebat yang dimaksud bukanlah mereka yang datang ke sekolah mengendarai mobil dan menenteng ponsel keluaran terbaru. Bukan pula mereka yang memulai kelas dengan live di Tiktok. Terlebih bukan yang paling rajin ikut rapat melalui aplikasi rapat virtual dengan pimpinan.

Bagiku, hal sedemikian tak lebih dari seremoni industrial yang menjauhkan pendidikan dari tujuan luhurnya. Sejujurnya, posisi guru menjadi seperti buruh yang bekerja pada pabrik raksasa bernama pendidikan, dan peserta didik ada bahan baku yang harus dipoles menjadi manusia-manusia sesuai standar industrial. Dalam konteks ini, guru menjadi kehilangan sisi humanitasnya.

Guru yang minus humanitas akan memburu keterpenuhan jam mengajar agar mendapatkan gaji dan bonus (tunjangan sertifikasi), jangan sampai ada peserta didik yang tinggal kelas agar digelari guru berprestasi, memberi pekerjaan rumah agar terlihat berkinerja, menggelar proses belajar mengajar secara daring bila ada kesibukan lain, dan kerja-kerja mekanistik lainnya.

Ini sejalan dengan kepentingan peserta didik (atau mungkin obsesi orang tuanya) untuk lulus dengan nilai memuaskan, meski diperoleh dengan cara-cara culas. Sebab toh, guru wajib menghargai dan memperlakukan peserta didik sesuai aturan Hak Asasi Manusia (HAM). Bila teguran dan arahan dianggap melanggar HAM peserta didik, maka guru layak dipidana, sebab toh mereka hanya buruh yang wajib mengajar.

Aku merindukan suasana persekolahan saat hubungan guru dan peserta didik tak lagi semata transaksional. Apakah itu mungkin? Iya, bila guru tak dipandang sebagai pekerjaan untuk mendapatkan upah. Tapi cobalah cek penerimaan guru hari ini, rata-rata yang mendaftar, bukan karena ingin mengabdi mendidik generasi bangsa, tapi karena mencari pekerjaan dan mendapatkan penghasilan.

Tengoklah ke belakang, bagaimana motivasi para guru tempo doeloe, gaji yang tak seberapa tak menyurutkan semangat mereka untuk mengabdi. Tak segan menghukum bila peserta didiknya ‘nakal‘, bahkan rela memutuskan seorang anak tinggal kelas, agar bisa mengulang pelajaran selama satu tahun. Mereka tak khawatir dilaporkan ke polisi, dan tak takut gajinya dipotong.

Kala itu, selain mengajar di sekolah, sebagian besar guru juga mempunyai pekerjaan lain untuk menopang kehidupan keluarga. Itu dilakukan sebab menyadari pekerjaan guru bukan untuk dapat gaji. Ada guru saya yang bertani dan berkebun, yang perempuan menjadi penjahit dan membuka toko kelontong. Kadang juga memelihara ayam atau bebek.

Relasi guru, peserta didik, serta orang tua dan/atau wali peserta didik, jauh dari hubungan transaksional. Terkadang, peserta didik tak masuk sekolah karena membantu gurunya di sawah, baik di musim tanam maupun di musim panen. Aktivitas tersebut tidak menurunkan kualitas pendidikan, bahkan membangun hubungan emosional yang manusiawi dengan guru dan sesama peserta didik.

Hubungan yang manusiawi ini, membuat proses transformasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan berlangsung lebih produktif. Itulah mengapa, meski kurikulum tak seribet kurikulum hari ini, fasilitas hanya modal kapur dan papan tulis, buku bacaan tak beragam, metodologi pembelajaran mungkin saja monoton, tetapi kualitas pendidikan lebih baik.

Sebab ada yang hilang dalam proses pendidikan yang transaksional, yaitu keikhlasan dan keberkahan. Dulu, guru ikhlas dalam mendidik, membimbing, dan mengajar, bukan karena mengharap gaji dan tunjangan, sehingga ilmu yang diajarkan berberkah. Peserta didik juga ikhlas menerima pendidikan, bimbingan dan ajaran, bahkan hukuman sekalipun dari guru, sehingga ilmunya berberkah.

Saya yakin, guru hari ini juga ikhlas, tapi tingkat keikhlasannya dicemari dengan janji perbaikan nasib melalui kenaikan gaji dan tunjangan. Bahkan aku pernah mendapatkan langsung guru yang berujar tak lagi mau pusing dengan muridnya, yang penting dia memenuhi jam mengajar, dan sesuai kurikulum. Selebihnya tinggal menunggu gaji tiap bulan. Muridnya mau ‘nakal’ atau tidak, dia memilih menutup mata, dari pada dilaporkan ke polisi, katanya.

Kekurangikhlasan guru dan kurang berkahnya ilmu yang diajarkan berimplikasi pada karakter peserta didik yang cenderung kurang hormat kepada guru. Bahkan terkesan mereka hanya menghormati guru secara formal, bukan secara substansial. Dalam kasus tertentu, peserta didik sampai berani membantah, melawan, bahkan melaporkan gurunya.

Kondisi ini sangat berbeda saat aku masih sekolah dulu, kita begitu kukuh memegang pappaseng.
ᨆᨕᨘᨊᨗ ᨌᨚᨄᨚ ᨅᨚᨒᨊ ᨕᨗᨐᨑᨙᨁ ᨈᨗᨇ ᨒᨍᨊ ᨅᨚᨒᨊ ᨁᨘᨑᨘᨈ ᨑᨗᨕᨘᨍ ᨆᨉᨚᨑᨀᨀᨗ
Mauni coppoq bolana iyaréga timpaq lajana bolana guruttaq riuja, madorakakiq.
Waima atap dan/atau bubungan rumah guru yang kita cela, kita telah berdosa.

Kita, bahkan orang tua/wali kita merasa bersyukur bila kita ditegur, dimarahi, bahkan dihukum oleh guru, karena kita yakin, itu tanda perhatian dan kasih sayangnya. Justru kerugian besar bagi peserta didik, bila seorang guru tak lagi peduli. Bukankah kayu yang bengkok memang perlu diluruskan, hatta proses meluruskannya butuh ketegasan atau bahkan kekerasan.

Selamat Hari Guru Tahun 2024. Guru yang kuat adalah guru yang ikhlas dan ilmunya berberkah.

Muhammad Kasman, CEO Sindikasi Pena Hijau. Anggota Departemen Kajian Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Etika MD KAHMI Kota Makassar 2021-2026.

(Visited 45 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Kasman McTutu

ASN yang mencintai puisi, hujan dinihari, dan embun pagi. Menerbitkan kumpulan cerpen Mata Itu Aku Kenal (LeutikaPrio, Januari 2012), Kumpulan artikel Reinventing Tjokro (Ellunar Publisher, Oktober 2020), dan kumpulan cerpen Adikku Daeng Serang (Pakalawaki, Maret 2021)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.