Oleh : H. Tammasse Balla*

Pagi itu, dingin menusuk tulang. Di sudut ruang salah satu rumah sakit di bilangan Depok, seorang pria dengan tatapan tajam duduk di kursi roda. Pria tangguh itu tengah bersiap-siap menghadapi mesin yang akan menjadi teman setianya beberapa jam ke depan. Selang-selang menggantung, mesin berdengung monoton, dan darah mengalir keluar masuk tubuhnya, seperti perulangan takdir yang tak pernah rampung. Namun, di sela-sela hiruk pikuk itu, jari-jemarinya sibuk menari-nari di atas tombol HP kesayangannya. Sentuhan jemarinya seperti berlari melawan waktu, menciptakan narasi yang menggugah ribuan jiwa.

Pria itu bukan sembarang manusia. Ia adalah seorang fenomenal dalam dunia literasi, seorang narator yang mengguncang podium-podium dengan orasi memukaunya. Puluhan buku telah lahir di tangannya. Dalam masa pandemik Covid saja, produktivitasnya bukan main. Dalam masa keterpurukan selama pandemik, justru ia menemukan masa itu sebagai era produktivitas dalam literasi. Puluhan buku lahir di tangannya di era pandemi covid-19.

Pada sisi lain, di mana ada panggung motivasi, di situ suaranya menggema, menggelagar, membelah angkasa. Tak heran jika ia dijuluki Singa Podium, melampaui sekadar simbol. Namun, siapa sangka, di balik kejayaannya itu, tubuhnya kini “berkhianat”. Fungsi ginjalnya menurun drastis, memaksa ia tunduk pada jadwal hemodialisis dua kali seminggu. Di sanalah, di tengah rutinitas yang melemahkan semangat banyak orang, ia justru menyalakan api.

Tentu, penyakit ini bukan sekadar cobaan fisik. Ia adalah ujian mental, perang melawan kehampaan. Pria itu tidak pernah menyerah. “Waktu saya mungkin terbatas, tetapi tulisan saya abadi,” katanya suatu ketika. Pernyataannya itu seperti mantera, menghidupkan ruh di dalam dirinya dan memacu semangat para penggiat literasi di seluruh Nusantara. Bahkan di atas kursi hemodialisis, ia tak berhenti menulis artikel demi artikel, mengubah rasa sakit menjadi puisi kehidupan.

Ada kesedihan menyentuh hati yang tak terlukiskan saat melihatnya di sana. Tubuhnya yang dulu tegap kini ringkih, tetapi mata itu tetap menyala, seakan-akan tubuh hanyalah kendaraan sementara. Ketika jarum menusuk kulitnya, tidak ada keluhan yang keluar dari bibirnya selain istighfar. Sebaliknya, ia terus menggerakkan jemarinya, seolah-olah menantang dunia yang meragukan kemampuan seseorang di ujung batasnya. Karya-karya yang lahir dari kursi itu menggetarkan, bukan hanya karena isinya, tetapi juga karena konteksnya.

Baginya, hemodialisis bukan penghalang, melainkan sebuah ruang meditasi. Di situ, ia merenung tentang kehidupan, kematian, dan perjuangan. “Saya tidak pernah takut mati,” katanya dalam sebuah VC dengan HTB. “Yang saya takutkan adalah berhenti menulis.” “Ada na gau” (Bugis: satunya kata dengan perbuatan). Ia membuktikan kata-katanya itu. Buku yang ia tulis dari atas kursi hemodialisis kini sedang memasuki tahap penerbitan. Puluhan artikel jurnalistiknya mengalir deras, menjadi saksi bisu bahwa semangat tidak pernah tunduk pada sakit.

Namun, di balik semua itu, ada rasa pilu yang tidak bisa dihindari. Setiap kali ia menatap mesin hemodialisis, ia sadar bahwa ruang gerak fisiknya tidak seleluasa dulu lagi. Penulis selalu memberikan motivasi dalam falsafah Bugis, bahwa “De’ nalabu essoe ri tengngana bitarae”, artinya matahari tak akan tenggelam di tengah langit. Ia paham benar falsafah itu. Atas kesadaran itu yang membuatnya makin produktif. Seakan-akan ia berlomba dengan detik, memanfaatkan setiap momen yang tersisa untuk menciptakan sesuatu yang berarti. Dalam kesenyapan ruang perawatan, suara jemarinya di atas tombol HP menjadi suara lantang yang menggema di sekitar itu.

Tidak sedikit anak muda, para penggiat literasi, terinspirasi oleh perjuangannya. “Jika di atas kursi cuci darah saya bisa menulis, apa alasanmu untuk tidak menulis?” tantangnya dalam sebuah esai. Kata-kata itu menghentak, menampar lembut mereka yang selama ini beralasan. Ia tidak hanya menulis, tapi menciptakan gerakan, menyulut bara di dada generasi muda untuk mencintai literasi lebih dari apa pun.

Singa Podium itu kini bertarung di medan yang berbeda. Jika dulu ia mengguncang panggung dengan orasinya, kini ia menggetarkan jiwa melalui tulisan-tulisan yang lahir dari rasa sakit. Ia telah menunjukkan kepada dunia bahwa keterbatasan fisik tidak pernah menjadi batas kreativitas. Dari sudut ruang rumah sakit, ia membuktikan bahwa literasi adalah perjuangan, dan perjuangan itu tidak mengenal kata menyerah.

Ketika orang lain melihat kursi hemodialisis sebagai simbol kelemahan, ia melihatnya sebagai mimbar baru. Dari sana, ia berorasi melalui tulisan, membangun narasi tentang ketabahan, semangat, dan harapan. Mungkin, suatu hari nanti, ketika Singa Podium ini tidak lagi mengaum, karya-karyanya akan tetap berbicara, mengingatkan dunia bahwa dalam derita, ada kekuatan untuk bangkit dan menginspirasi.

Kini, meski tubuhnya tidak sesegar dulu, namun semangatnya tetap membara. Setiap tulisan yang dihasilkan adalah bukti bahwa ia bukan hanya sekadar nama dalam lingkaran literasi. Ia adalah nyala api yang tak pernah padam, menyalakan jalan bagi mereka yang ingin berjalan di atas rel kebenaran, keadilan, dan literasi yang abadi. Sehat selalu sang penulis sejati, engkau telah merubah rasa sakit menjadi puisi kehidupan. (Apresiasi Buat Saudaraku RIM).

*Akademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar

(Visited 82 times, 4 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.