Oleh: Rosmawati*
Pagi ini kembali mengucap syukur, masih bisa membuka halaman baru mengisi lembaran putih, melukiskan rasa syukur masih diberi kesehatan dan kesempatan mengisi laboratorium kehidupan. Ada banyak proses belajar yang harus dijalani dalam praktikum hidup.
Kalau kita belajar hanya dengan cara mendengar, maka dapat dipastikan akan lupa. Kalau kita belajar dengan cara melihat, maka dapat dipastikan kita akan ingat. Dan kalau kita belajar dengan cara melakukan, maka dapat dipastikan kita akan mengerti. Itulah sebabnya puncaknya belajar adalah melakukan.
Mereka yang rajin melakukan bukan hanya mengerti, tetapi lebih jauh lagi adalah mengetahui. Demikian ulasan Ustaz Syaiful Karim dalam salah satu kajian Islami.
Analisis kehidupan ini seperti berada di lingkungan laboratorium. Kita menganalisis berbagai sampel pengalaman dan perasaan untuk memahami kondisi kita sebenarnya. Setiap temuan, baik atau buruk, membantu kita untuk meraih yang lebih baik. Belajar merupakan suatu proses untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan diri kita.
Sejatinya, semua tempat di mana pun kita berada adalah media fasilitas pembelajaran bagi kita, yang sering kali diistilahkan dengan istilah sekolah, dan siapa pun yang kita jumpai adalah pendidik, yang sering kali diistilahkan dengan istilah guru. Semua fenomena yang kita hadapi di depan mata kita sejatinya adalah laboratorium tempat kita mengekspresikan teori-teori kehidupan.
Seperti halnya Bengkel Narasi menjadi universitas kehidupan tempat melakukan hipotesis dan analisis dari berbagai cerita dari orang-orang rendah hati dan siap menjadi manusia pembelajar.
Mari kita belajar memahami bersama bahwa saat kita menjadi pendidik atau guru, kita pun menjadi murid yang posisi berada di dalam kelas, dengan beberapa guru pendidik, bersama melakukan experiential learning melalui laboratorium kehidupan. Dari laboratorium universitas, kita memasuki laboratorium kehidupan. Kadang kita berada pada titik terendah dan membuat kita kehilangan data terpenting dalam hidup.
Titik terendah bukanlah sekadar tempat yang gelap, tetapi juga ruang di mana kita dihadapkan pada kejujuran hidup yang paling telanjang. Saat berada di sana, rasanya dunia berkonspirasi untuk membuat kita merasa kecil. Namun, titik ini sebenarnya adalah laboratorium kehidupan, tempat kita bisa bereksperimen dengan keberanian, kepercayaan diri, dan keuletan.
Untuk bangkit dari titik nol bukan hal mudah, tak segampang rumus kimia ataupun kalkulus. Semua butuh proses, namun haruskah kita berhenti melangkah?
Bangkit dari titik terendah adalah sebuah seni, dan seni ini dimulai dari sikap kita terhadap diri sendiri dan dunia. Penulis pun bukan manusia yang sudah lulus dengan nilai tertinggi dalam menjalani proses belajar. Setidaknya tulisan ini menjadi pembelajaran untuk diri sendiri. Di akhir narasi, kutulis pesan singkat, “Kalau mau jadi toxic, silakan masuk ke laboratorium kimia, bukan ke hidup saya.”
*Penulis adalah pecinta dan pegiat literasi Kolaka Utara