Indonesia sebenarnya telah mengadopsi nilai-nilai demokrasi jauh sebelum era reformasi. Hal ini tecermin dalam Pasal 28 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, serta mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Pasal tersebut menjadi landasan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, di mana setiap warga negara hidup setara tanpa sekat antara pejabat negara dan rakyat biasa.

Namun, idealisme demokrasi ini sering kali hanya sebatas konsep. Realitas pelaksanaannya di lapangan jauh dari harapan. Kebebasan yang dijamin oleh konstitusi justru kerap dikontrol oleh penguasa. Selama bertahun-tahun, rakyat hidup di bawah bayang-bayang represif, dengan UU Subversif menjadi senjata untuk membungkam suara-suara kritis.

Barulah pada 1998, ketika reformasi menghembuskan angin perubahan, kebebasan mulai menjadi kenyataan. UU Subversif dihapuskan, membuka ruang bagi rakyat untuk bersuara dan berpartisipasi dalam kehidupan demokratis. Indonesia pun memasuki era baru, di mana kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial.

Pasca-reformasi, kebebasan bagaikan bulan madu yang dirayakan oleh seluruh elemen masyarakat. Kehidupan sosial-politik Indonesia mendadak menjadi penuh warna. Organisasi kemasyarakatan (Ormas) bermunculan di berbagai pelosok negeri, memanfaatkan ruang kebebasan yang sebelumnya tertutup rapat.

Namun, kebebasan yang tanpa batas ini juga menghadirkan tantangan. Banyak Ormas yang mulai menggunakan identitas tertentu untuk menunjukkan eksistensinya, termasuk penggunaan seragam yang menyerupai atribut militer. Beberapa bahkan bertransformasi menjadi kekuatan yang dapat mengintervensi kelompok lain. Sebagai contoh, Banser (Barisan Serbaguna) Ansor di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Pemuda Pancasila adalah dua dari sekian banyak Ormas yang memiliki struktur kuat dan pengikut yang besar.

Pada tahun 2017, tercatat ada 344.039 Ormas yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dari jumlah tersebut, lebih dari 100 di antaranya adalah organisasi berbasis agama Islam, dengan jutaan pendukung di belakangnya. Fakta ini menunjukkan betapa dinamisnya masyarakat Indonesia, tetapi juga sekaligus mengungkapkan potensi konflik yang besar jika kepentingan antar-ormas ini saling berbenturan.

Keberagaman Indonesia, yang menjadi kebanggaan sekaligus identitas utama bangsa, juga membawa tantangan tersendiri. Dengan ratusan ribu ormas yang memiliki kepentingan masing-masing, potensi konflik menjadi ancaman nyata. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kepentingan-kepentingan ini saling bertabrakan. Bukan hanya perpecahan kecil, tetapi konflik besar yang dapat mengancam integritas bangsa.

Inilah alasan mengapa negara harus hadir dalam mengelola kebhinekaan. Kebhinekaan, sebagaimana dijelaskan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, membutuhkan pengelolaan yang cermat dan penuh kesadaran. Tidak cukup hanya mengandalkan toleransi antarwarga, tetapi juga dibutuhkan peran aktif negara dalam membangun manajemen resolusi konflik yang efektif.

Manajemen resolusi konflik adalah kunci untuk memastikan bahwa kebhinekaan Indonesia tidak berubah menjadi medan pertempuran kepentingan. Negara harus menjadi mediator yang adil, mampu menengahi konflik antar-ormas, sekaligus menjaga stabilitas sosial-politik.

Selain itu, diperlukan kebijakan yang mendorong kolaborasi di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pemerintah harus mampu mengarahkan kebebasan yang ada ke arah yang positif, sehingga menjadi kekuatan untuk memperkuat persatuan, bukan memecah belah bangsa.

Negara Tidak Hadir

Reformasi tahun 1998 membuka jalan bagi kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Namun, di balik kebebasan yang meluas, muncul ancaman baru: benturan kepentingan di antara organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Lebih ironis lagi, terdapat indikasi bahwa beberapa Ormas dijadikan alat oleh pemilik modal untuk menjalankan agenda tersembunyi. Ormas-ormas ini, yang dikenal sebagai Ormas bayaran, tidak hanya memperkeruh suasana, tetapi juga menciptakan potensi konflik horizontal di tengah masyarakat.

Tidak berhenti di situ, dunia digital yang semakin berkembang membawa ancaman baru dalam bentuk buzzer bayaran. Para buzzer ini hadir di ruang publik, khususnya media sosial, untuk menyebarkan narasi yang sering kali memicu konflik. Mereka menjadi alat propaganda yang digunakan untuk menyerang kelompok kritis atau mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting.

Dalam dinamika politik pasca-reformasi, kehadiran Ormas dan buzzer di ruang publik dapat dibagi menjadi dua kategori besar. Pertama, kelompok yang berafiliasi dengan kekuasaan. Kelompok ini sering kali digunakan untuk memperkuat legitimasi pemerintah, bahkan jika harus menekan kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda. Kedua, kelompok yang konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat. Kelompok ini biasanya terdiri dari aktivis, akademisi, dan organisasi yang fokus pada pembelaan hak asasi manusia, lingkungan, atau keadilan sosial.

Sayangnya, negara kerap tidak hadir sebagai penengah yang adil. Dalam banyak kasus, terlihat adanya kecenderungan pembiaran terhadap tindakan kelompok yang berafiliasi dengan kekuasaan ketika mereka melakukan tekanan terhadap kelompok kritis. Ketidakhadiran negara ini menciptakan kesan bahwa perlakuan berbeda diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan berdasarkan prinsip keadilan.

Salah satu contoh nyata dari ketidakhadiran negara adalah pembubaran diskusi Forum Tanah Air di sebuah hotel di Kemang, Jakarta Selatan. Diskusi ini digagas oleh sekelompok aktivis yang ingin membahas isu-isu strategis untuk perbaikan bangsa. Namun, kegiatan yang sepenuhnya dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi ini berakhir ricuh setelah sejumlah orang menyerang acara tersebut dan memaksa penghentian diskusi.

Ketidakhadiran negara dalam melindungi warganya bukanlah masalah sepele. Dalam setiap kasus seperti ini, kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin terkikis. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru terlihat tidak berdaya, atau lebih buruk lagi, berpihak pada satu kelompok. Ketika hukum tidak ditegakkan secara adil, kebhinekaan yang menjadi fondasi bangsa ini terancam runtuh.

Lebih dari itu, ketidakhadiran negara menciptakan preseden buruk. Kelompok-kelompok yang merasa memiliki perlindungan dari kekuasaan akan semakin berani bertindak melampaui batas, sementara kelompok kritis semakin kehilangan ruang untuk berekspresi. Pola ini, jika terus berlanjut, akan memperdalam polarisasi di tengah masyarakat dan membuka peluang terjadinya konflik yang lebih besar.

Negara tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah dinamika politik yang memanas. Kehadiran negara harus dirasakan oleh semua pihak, tanpa memandang afiliasi politik atau kepentingan tertentu. Institusi-institusi negara harus mampu bertindak tegas dan cepat dalam mencegah potensi konflik, bukan sekadar merespons setelah masalah meledak.

Selain itu, diperlukan transparansi dalam pengelolaan ruang publik. Kebijakan harus dirancang untuk memastikan bahwa setiap warga negara, kelompok, atau organisasi memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pendapat mereka. Negara harus menjadi penjaga kebebasan, bukan pihak yang membatasi atau memanipulasinya.

Negara Harus Hadir

Banyaknya organisasi kemasyarakatan (ormas), terutama yang berbasis keagamaan, adalah fenomena unik di Indonesia. Ormas-ormas ini dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, kehadiran mereka memperkuat tatanan sosial, memperkaya perspektif budaya, dan memperindah mozaik kebhinekaan. Mereka menjadi salah satu penjaga moralitas bangsa, pelaku filantropi, dan penggerak kesadaran sosial yang berperan penting dalam memperkokoh nilai-nilai persatuan.

Namun, di sisi lain, keberadaan ormas juga berpotensi menjadi ancaman serius. Jika tidak dikelola dengan baik, beberapa ormas dapat berubah menjadi kekuatan destruktif yang mengacaukan harmoni masyarakat. Konflik antarormas, perebutan pengaruh, hingga sikap intoleran terhadap kelompok lain sering kali menjadi pemicu keretakan sosial. Tidak jarang pula ormas digunakan sebagai alat politik oleh kelompok tertentu untuk mendominasi atau bahkan mengacaukan tatanan kebhinekaan yang telah susah payah dirajut.

Melihat kenyataan tersebut, semua elemen bangsa memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan merawat kebhinekaan. Kebhinekaan tidak bisa tumbuh subur jika setiap pihak hanya memikirkan kepentingan masing-masing. Diperlukan upaya kolektif untuk menekan ego sektoral dan mengutamakan semangat persatuan. Dalam konteks ini, ormas harus mampu menjadi bagian dari solusi, bukan sumber masalah. Mereka perlu menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman sebagai landasan utama setiap aktivitasnya.

Namun, tanggung jawab terbesar dalam merawat kebhinekaan tidak hanya terletak pada masyarakat, tetapi juga pada negara. Negara memiliki peran sentral untuk memastikan bahwa kebhinekaan dapat tumbuh dan berkembang tanpa ancaman. Negara harus hadir, tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan pelindung bagi seluruh elemen bangsa.

Negara harus hadir di setiap dimensi kehidupan rakyatnya. Kehadiran negara menjadi syarat mutlak untuk menjaga kebhinekaan agar tetap menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan melemahkan. Dalam tatanan kehidupan yang kompleks seperti Indonesia, negara tidak boleh absen dalam merespons dinamika yang terjadi, baik dalam bentuk konflik antarormas, pergesekan antarkelompok, maupun munculnya ancaman intoleransi.

Kehadiran negara dapat diwujudkan melalui berbagai langkah strategis, seperti:

  1. Regulasi yang adil dan tegas. Negara perlu membuat regulasi yang tidak hanya mengatur, tetapi juga melindungi keberadaan ormas yang membawa manfaat bagi masyarakat. Sebaliknya, ormas yang terbukti menjadi sumber konflik atau melanggar hukum harus ditindak tegas.
  2. Peningkatan edukasi kebhinekaan. Negara perlu mendorong program-program edukasi yang menanamkan nilai-nilai toleransi, keadilan, dan persatuan sejak dini. Kurikulum pendidikan harus dirancang untuk memperkuat kesadaran anak bangsa tentang pentingnya kebhinekaan sebagai aset nasional.
  3. Pemberdayaan dan penguatan dialog antar-ormas. Negara harus menjadi fasilitator dialog antarkelompok untuk menyelesaikan konflik secara damai dan mencari titik temu yang menguntungkan semua pihak. Dialog ini tidak hanya penting untuk meredam ketegangan, tetapi juga untuk mempererat hubungan antarormas.
  4. Keberpihakan pada kepentingan rakyat. Negara harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil dengan memastikan bahwa kebijakan yang diambil selalu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu. Hal ini penting untuk mencegah munculnya kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik.

Kebhinekaan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia adalah hasil dari upaya kolektif yang membutuhkan komitmen semua pihak, terutama negara. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, mulai dari polarisasi politik hingga ancaman intoleransi, negara harus memainkan perannya dengan maksimal.

Negara yang hadir adalah negara yang mampu memberikan rasa aman dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Negara yang hadir adalah negara yang mampu mengelola perbedaan menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Negara yang hadir adalah negara yang mampu menjaga agar kebhinekaan tetap menjadi identitas utama bangsa Indonesia.

Sebagaimana kita meyakini bahwa kebhinekaan adalah anugerah, maka merawatnya adalah kewajiban bersama. Namun, tanpa kehadiran negara yang kokoh, kebhinekaan tidak akan mampu bertahan. Seperti kata bijak yang sering kita dengar, “Persatuan adalah benteng terakhir bangsa.” Dan untuk memastikan benteng itu tetap kokoh, negara harus selalu hadir di tengah rakyatnya. []

*Akademisi dan penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 11 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.