Oleh: H. Tammasse Balla

Ketika kita berbelanja di gerai Alfa Mart atau Indomaret, sering kali kita bertemu dengan ritual kecil di meja kasir. Sang kasir, dengan senyum profesional yang mungkin sudah lelah oleh berjam-jam pekerjaan, bertanya kepada kita: “Mau donasikan uang kembaliannya, Kak?” Sepintas, pertanyaan itu terasa ringan, seolah-olah hanya meminta keikhlasan kecil dari dompet kita. Namun, di balik pertanyaan sederhana itu, ada ironi yang mungkin perlu kita renungkan bersama. Apakah ini benar-benar soal donasi, atau justru bentuk lain dari eksploitasi mikro yang dilembagakan?

Coba kita berhitung. Uang kembalian receh Rp100, Rp200, atau bahkan Rp500 yang mungkin kita anggap remeh itu, jika dikumpulkan dari ribuan gerai setiap hari, akan menghasilkan angka yang mencengangkan. Katakanlah rata-rata ada 200 transaksi per hari di satu gerai, dan 50% dari pelanggan menyetujui “donasi” Rp250. Itu sudah Rp25 ribu per gerai per hari. Jika ada 15 ribu gerai di seluruh Indonesia, dalam sehari mereka bisa mengumpulkan Rp375 juta. Sebulan? Rp11,25 miliar. Setahun? Lebih dari Rp135 miliar. Angka itu setara dengan anggaran pendidikan satu kabupaten kecil di Indonesia.

Namun, persoalannya bukan hanya soal besarannya. Kita tidak pernah benar-benar tahu ke mana uang ini disalurkan. Transparansi menjadi tanda tanya besar. Jika ini benar-benar untuk donasi, mengapa tidak ada laporan rutin yang bisa diakses oleh publik? Mengapa lembaga amal atau komunitas yang menerima bantuan ini tidak diumumkan dengan jelas? Jangan-jangan, sebagian besar uang receh ini justru mengalir untuk memperkuat citra korporasi atau, lebih buruk lagi, digunakan untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan amal.

Lalu, ada persoalan lain yang lebih menggelitik: malas mencari uang kecil. Kasir, entah karena tekanan waktu atau kurangnya persediaan uang receh di laci kas, memilih jalan pintas dengan menawarkan “donasi”. Dalam sistem ekonomi mikro seperti ini, pelanggan tidak lagi diperlakukan sebagai raja, melainkan sekadar “target”. Ada semacam sikap bahwa uang receh itu lebih baik diserahkan saja daripada merepotkan si kasir untuk mencari uang kembalian. Padahal, bukankah itu hak konsumen?

Kita juga perlu bertanya: mengapa konsep donasi di negara ini sering kali datang dengan cara yang memaksa? Donasi, dalam esensinya, adalah soal keikhlasan. Ketika keikhlasan itu dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman—seperti di meja kasir dengan antrian panjang di belakang kita—apakah itu masih bisa disebut donasi? Ataukah lebih tepat disebut “manipulasi mikro”? Bukankah ini menjadi cermin kecil bagaimana struktur kekuasaan sering kali memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat untuk keuntungan mereka?

Tentu, kita tidak bisa menafikan bahwa ada kemungkinan uang ini benar-benar disalurkan untuk kebaikan. Namun, tanpa transparansi, tanpa komunikasi yang jelas, bagaimana kita bisa percaya? Lebih jauh lagi, apakah benar bahwa gerai-gerai besar ini tidak mendapat keuntungan dari program semacam ini? Bisa jadi, mereka menggunakan dana ini untuk memperkuat branding mereka sebagai perusahaan “peduli”. Lalu siapa yang benar-benar diuntungkan?

Mungkin, kita perlu kembali ke esensi donasi itu sendiri. Donasi adalah soal hati. Soal rasa kemanusiaan yang tulus. Ketika ia dipaksa atau dimanipulasi, maka hilanglah nilainya. Alfa Mart dan Indomaret mungkin hanya satu contoh kecil dari sistem besar yang sering kali mengaburkan makna ikhlas. Kita sebagai konsumen sekaligus manusia, punya tanggung jawab untuk bertanya, merenung, dan—jika perlu—menolak menjadi bagian dari mekanisme yang mempermainkan keikhlasan.
——————————————
Makassar, 11 Januari 2025

(Visited 15 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.