Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Fajar masih malu-malu menyingsing ketika seorang ibu setengah baya melangkahkan kakinya ke tepi sungai. Tangannya yang mulai keriput memunguti satu per satu batu kali, sebesar kepala manusia, lalu menumpuknya di pinggir aliran air yang terus mengalir tanpa henti. Usai terkumpul, dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia mengayunkan palu besar, memecahkan batu-batu itu menjadi kerikil yang akan dijual kepada pengepul.
Pagi demi pagi, rutinitas itu terus berulang. Keringatnya membasahi wajah, tangannya terasa semakin kaku, dan tubuhnya semakin letih. Namun, ia tak pernah mengeluh. Saat seseorang bertanya, “Apa tidak terlalu berat mengangkat batu-batu sebesar itu?” ia hanya tersenyum, matanya berbinar meski menyimpan luka yang tak terlihat.
“Saya lebih memilih menggendong berkarung-karung batu kali dibandingkan harus memikul setitik rindu kepada anakku.”
Masya Allah. Rupanya, di balik tubuhnya yang tegar, tersimpan hati yang rapuh, dipenuhi rindu yang tak pernah usai. Setiap kali Ramadhan tiba, rindunya semakin menggumpal, membentuk gunung yang menjulang tinggi, tak tertahankan. Sejak puasa pertama, hingga malam takbiran, air mata itu terus jatuh. Mungkin, jika air matanya bisa dibendung, ia akan menjelma menjadi sungai, menenggelamkan segala kesedihan yang ia rasakan seorang diri.
Di dalam rumahnya yang berdinding anyaman bambu, ia menyalakan pelita harapan. Bergantian, ia memeluk daun jendela dan daun pintu, seolah-olah dari sanalah anaknya akan muncul, berlari ke arahnya, melantunkan takbir bersamanya. Namun, malam berkali-kali menjawabnya dengan kegelapan.
Ia tak tahu sudah berapa kali harapannya pupus, sudah berapa kali ia harus menyeka air matanya dengan ujung sarung lusuhnya. Ia hanya tahu, bahwa takbir kembali menggema, langit memancarkan cahaya kemenangan, tetapi anaknya tetap tak pulang.
“Teruslah berjalan, Nak, menuju kehidupan yang engkau pilih. Jangan sampai terpeleset. Biarkan ibu menahan beban rindu ini sendirian, entah sampai kapan.”
Di keheningan malam, ia berbisik ke semesta. Suaranya lirih, penuh harap yang menggantung.
“Anakku, seandainya engkau memahami… Setiap tetesan air mata rindu ini lebih berharga dari segunung emas. Setiap pelukan hangatku lebih tulus daripada seribu pelukan bidadari. Setiap doa yang kupanjatkan untukmu telah tercatat dalam QS. Al-‘Ashr dan QS. Al-Isra’. Engkau pasti tak akan peduli luasnya lautan yang memisahkan kita. Engkau pasti akan menerjang ombak, menyeberangi pulau, mendaki gunung, hanya untuk kembali memelukku.”
Tapi ia tahu, anaknya tak akan mendengar bisikan hatinya. Ia tahu, semesta belum menggerakkan hati anaknya untuk pulang. Meski begitu, keyakinannya tak pernah padam. Ia tetap percaya, di suatu waktu, di satu Ramadan yang entah kapan, anaknya akan mengetuk pintu rumah, memeluknya erat, dan berkata, “Ibu, aku pulang.”
Namun jika ibu boleh meminta di sisa napas ini, pulanglah, Nak!
Karena engkaulah obat paling mujarab yang diciptakan Tuhan untuk mengobati rinduku.
Maaf, ibu tidak ingin memaksamu. Ibu hanya terngiang-ngiang sabda Rasulullah:
“Rida Allah terletak pada rida orang tua, dan murka Allah terletak pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi).
InsyaAllah, Nak…
Di mana pun engkau berada, dalam kondisi apa pun…
Rida ibu akan selalu seluas samudra untukmu. []
*Akademisi, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.