Oleh : Tammasse Balla
Menulis itu bukan sekadar menumpahkan huruf di atas kertas, bukan sekadar mengetik lalu mengirim ke penerbit. Menulis adalah percakapan jiwa dengan semesta, adalah caramu menautkan denyutmu kepada denyut mereka yang kau panggil pembaca. Jangan pernah menulis hanya untuk dibaca, menulislah karena hatimu tak bisa diam. Karena jiwamu tak tahan menyimpan begitu banyak cinta, luka, rindu, harap, dan doa yang ingin kau wariskan pada dunia.
Karya yang agung lahir bukan dari otak yang cerdas, melainkan dari hati yang jernih. Ia tumbuh dari keikhlasan, bukan dari ambisi. Penulis yang menulis dengan pamrih, karyanya cepat usang. Namun, penulis yang menulis dengan hati, tulisannya akan hidup lebih lama dari tubuhnya sendiri. Karena cinta tak pernah kedaluwarsa. Ia terus hidup di antara baris-baris kalimat yang ditulis dengan tulus.
Lihatlah W.S. Rendra menulis puisi seperti orang menyalakan lilin di tengah badai. Tengok Pramoedya Ananta Toer, yang menulis dari penjara, tapi suaranya menjebol pagar-pagar kekuasaan. Mereka menulis bukan untuk terkenal, tapi karena nurani mereka tak bisa dibungkam. Menulislah dengan ketulusan, bukan dengan kalkulasi. Biar Tuhan yang menghitung dampak tulisanmu.
Pembaca itu seperti kekasih setia. Ia tahu kapan penulisnya sedang berbohong, kapan sedang memanipulasi emosi, dan kapan sedang menumpahkan cinta yang sebenar-benarnya. Pembaca bisa merasakan kalau sebuah tulisan lahir dari hati yang basah oleh doa. Pada saat itulah, pembaca bukan hanya membaca, tapi menyatu. Ia menangis, tersenyum, dan tumbuh bersama tulisan itu.
Menulis bukan tentang gaya bahasa yang memesona atau teori yang tertata rapi. Menulis adalah keberanian untuk membuka dada dan berkata, “Inilah aku, dengan segala luka dan cintaku.” Tulisan yang lahir dari cinta akan menyentuh siapa pun yang membacanya, karena cinta adalah bahasa universal. Tak perlu membuka kamus untuk memahaminya.
Berkarya dengan cinta berarti tidak buru-buru ingin dipuji. Tidak gelisah jika belum viral. Tidak patah semangat kalau belum dibeli. Karena penulis sejati tahu, ia sedang menanam, bukan sedang berjualan. Benih yang ditanam dengan cinta, akan tumbuh pada waktunya—bahkan jika tak sempat kita saksikan hasilnya.
Sahabat, menulislah, bukan untuk mengejar pembaca, tapi untuk menemani mereka. Jadikan tulisanmu pelita, bukan obor yang menyilaukan. Jadikan ia rumah bagi hati yang letih, bukan panggung untuk egomu. Karena tulisan yang ditulis dengan hati akan menemukan jalannya. Ia akan mengetuk pintu-pintu jiwa, bahkan jika harus melintasi puluhan tahun. [HTB[
Makassar, 30 Juni 2025
Pk. 07.27 WITA
Mantap sekali tulisanmu…sungguh mengugah hati dan selera kita untuk terus menulis dengan hati di dunia literasi ini..thnx atas inspirasinya.