Oleh : Tammasse Balla
Tahun baru hijriah datang lagi, mengetuk pelan di ambang pintu malam. Tak ada dentuman petasan, tak ada musik sepanjang malam, tak ada gegap gempita menyambutnya. Ia datang diam-diam, seperti cahaya rembulan yang enggan menyilaukan. Justru di senyapnya itu, ada sesuatu yang agung sedang bergetar. Sesuatu yang bukan hanya soal angka tahun, tapi soal arah hidup. Sayangnya, manusia modern terlalu sibuk mempersiapkan mercon untuk kalender yang bukan lahir dari rahim sejarahnya sendiri.
Tahun baru hijriah hanyalah kalender dinding. Dipajang di warung, diberi cap koperasi, digantung di dapur, dilirik sebentar untuk tahu tanggal merah. Setelah itu dilupakan. Sementara tahun baru masehi, disambut seperti dewa pesta: ada promo hotel, diskon restoran, jadwal bakar ikan, rebus jagung muda, dan rencana tiup terompet. Kita lebih semangat menyambut waktu yang lahir dari narasi yang bukan milik kita. Padahal di balik 1 Muharram ada sejarah pengorbanan, keberanian, dan keteguhan Nabi memulai peradaban di tanah asing.
Kita umat Muhammad, tapi lebih hafal 1 Januari daripada 1 Muharram. Kita bangga pakai baju gamis tapi tak tahu makna hijrah. Kita rajin update status tentang motivasi hidup, tapi lupa bahwa hijrah Nabi bukan hanya soal pindah tempat, melainkan pindah jiwa dari gelap ke cahaya. Ironisnya, justru umat yang punya warisan hijrah malah enggan merayakan hari hijrah. Seakan-akan ruh itu hanya milik masa lalu. Seolah-olah hijrah hanya dongeng untuk anak TPA (Taman Pendidikan Al-Quran).
Apa yang salah dengan kita? Bukan kita tidak tahu, tapi kita terlalu terbiasa. Terbiasa dijejali budaya luar yang dikemas menarik. Terbiasa tak peduli dengan makna. Terbiasa hidup dalam euforia palsu. Kita suka gemerlap kembang api, tapi lupa menyalakan cahaya dalam diri. Kita sibuk mencari hitungan mundur menuju tahun baru, tapi lupa menghitung amal yang kita bawa pulang dari tahun lalu.
Hijriah tak butuh perayaan besar. Ia butuh disadari. Ia butuh dijadikan titik tolak perenungan, bukan hanya penggantian kalender. Tiap tanggal 1 Muharram, Allah memberi kita ruang sunyi untuk menengok ke dalam diri, lalu bertanya: “Sudah sejauh mana aku berjalan meninggalkan kebodohan menuju cahaya ilmu? Sudah sejauh mana aku berhijrah dari ego menuju ihsan?”
Dulu, Umar bin Khattab memilih peristiwa hijrah sebagai penanda awal tahun Islam, bukan kelahiran Nabi, bukan kemenangan perang, bukan turunnya wahyu. Karena hijrah itu bukan hanya titik sejarah, tapi simbol perjuangan panjang. Ia adalah monumen diam dari semangat pindah dari batil ke hak Namun hari ini, ruh hijrah itu kering, seperti tinta kalender yang hanya dicetak untuk mengisi formalitas.
Bahkan masjid pun sering lupa menyusun agenda khusus menyambut 1 Muharram. Takbir jarang terdengar. Anak-anak lebih akrab dengan “countdown” tahun baru masehi daripada dengan doa akhir dan awal tahun Hijriah. Padahal ini bukan soal perayaan, tapi soal penghormatan terhadap sejarah spiritual kita. Jangan-jangan kita telah jadi umat yang kehilangan pusat gravitasi maknanya.
Saya bukan anti tahun baru masehi. Saya juga tak keberatan orang senang bakar jagung, asal jangan sampai lupa bahwa kita punya warisan waktu yang lebih tua, lebih sakral, dan lebih penuh makna. Tahun baru hijriah bukan milik langit, tapi warisan bumi yang pernah ditapaki Rasul. Kalau kita tak lagi merayakannya, bukan karena ia tak penting, tapi karena hati kita sudah lupa jalan pulangnya.
Mari kita mulai dari hal kecil: kenalkan anak-anak pada makna hijrah, ajak keluarga membaca doa awal tahun, isi malam 1 Muharram dengan renungan dan harapan baru. Tak perlu petasan, cukup sejukkan hati. Tak perlu terompet, cukup dzikir lembut. Biarkan tahun baru Islam kembali menjadi jalan pulang—bukan ke masa lalu, tapi ke jati diri yang sudah lama dininabobokkan dengan modernitas.
Makassar, 27 Juni 2025 M./1 Muharram 1447 H.
[Tahun Baru Islam]
Pk. 09.31 WITA