Nenekku adalah perempuan yang hidup dengan kebijaksanaan tanpa buku. Setiap katanya seakan-akan ditulis di lembar kehidupan. Dari bibirnya yang sudah keriput, keluar nasihat yang terdengar sederhana, tapi menyimpan logika yang tak terjangkau oleh kalkulator ilmuwan. “Jangan banyak makan ikan, nanti cacingan,” katanya, sambil menatapku yang masih balita, duduk di kursi bambu dengan piring nasi di tangan. Suaranya lembut, tapi punya daya hipnotis membuat sendokku berhenti di udara.
Sebagai anak kecil, aku tidak tahu apa itu “cacingan” selain sesuatu yang menakutkan. Dalam imajinasiku, cacing-cacing itu berbaris di perut, menggeliat seperti ular-ular kecil yang marah. Aku membayangkan perutku membesar, dan aku menatapnya dengan ngeri. Aku pun menuruti nenek. Setiap kali lauk ikan dihidangkan, aku hanya mencolek sedikit, seolah-olah ikan itu musuh yang menyamar jadi makanan.
Kini, ketika aku sudah dewasa, dan telah menyandang gelar sarjana dari Unhas, aku tertawa sendiri mengingat nasihat nenekku. Ikan, yang dulu kutakuti, ternyata adalah sumber kecerdasan. Di dalam dagingnya tersimpan DHA — bahan bakar bagi otak manusia. Sungguh ironis, bahwa yang dulu kukira pembawa cacing, ternyata pembawa terang bagi neuron-neuron yang kini memampukanku berpikir dan menulis.
Hidup memang seperti itu, penuh paradoks yang lucu. Nenekku tidak tahu tentang DHA, omega-3, atau istilah ilmiah lain yang memenuhi laboratorium gizi. Ia hanya tahu harga ikan di kampung kami mahal. Jarak ke laut terlalu jauh. Agar anak-cucunya tidak merengek minta ikan setiap hari, ia menanamkan rasa takut — bukan dengan kekerasan, tapi dengan cerita. Cerita tentang cacing.
Di dapur rumah panggung kami, nenek mengaduk sayur daun kelor sambil bersenandung lirih. Aroma kayu bakar bercampur dengan bau tanah basah. Di tengah kehangatan itu, ia menciptakan dunia kecil di mana kebaikan dan keterbatasan berpadu jadi kebijaksanaan. Ia tidak sedang berbohong; ia sedang melindungi. Ia menukar pengetahuan ilmiah dengan kasih sayang yang berpakaian mitos.
Aku belajar, bahwa cinta orang tua sering datang dalam bentuk peringatan yang menakutkan. Seperti “awas jatuh”, “jangan main hujan”, atau “nanti cacingan”. Di balik semua itu bukan ada niat untuk membatasi, tapi untuk menjaga. Manusia zaman dulu mungkin tak punya sekolah tinggi, tapi mereka punya hati yang terdidik oleh pengalaman dan kesederhanaan.
Dan entah mengapa, setiap kali aku makan ikan hari ini, aku teringat wajah nenek. Aku seperti mendengar suaranya berbisik di telingaku: “Nak, jangan banyak-banyak.” Aku tersenyum, lalu menambah sendok nasi lagi. Mungkin kalau nenek masih ada, ia akan tertawa juga melihat cucunya yang dulu takut ikan, kini berbicara tentang Neurolinguistik dan terapi otak di ruang seminar.
Hidup ternyata berjalan dengan cara yang aneh. Hal-hal kecil di masa lalu, yang dulu tampak sepele, kini menjadi sumber refleksi yang dalam. Dari satu nasihat tentang ikan, aku belajar tentang ekonomi kampung, tentang kasih sayang, tentang cara manusia bertahan di tengah kekurangan dengan imajinasi. Betapa ajaibnya, kearifan rakyat yang lahir bukan dari buku, tapi dari perut kosong dan hati penuh cinta.
Kini aku tahu, nenek tidak sedang melarangku makan ikan. Ia hanya sedang mengajarkanku arti cukup, arti berbagi, arti menghargai apa yang ada di meja. Ia menanamkan nilai-nilai yang baru kupahami setelah puluhan tahun berlalu. Bahwasanya kebijaksanaan tidak selalu datang dalam bentuk teori — kadangkala datang lewat cerita yang membuat anak kecil takut cacing.
Jika hari ini aku bisa menulis dan berpikir jernih, mungkin sebagian karena ikan yang akhirnya tetap kumakan, tapi lebih karena kasih sayang nenek yang tanpa batas. Ia sudah lama pergi, tapi suaranya masih hidup di dalam kepalaku — lembut, sederhana, tapi tak pernah padam. Setiap kali aku makan ikan, aku tersenyum sambil berbisik pada diriku sendiri: “Nek, tenang saja… sekarang cacingnya sudah kalah oleh ilmu.” [HTB]