Gerakan 30 September atau lebih populer G. 30 S, hingga kini masih diselimuti kabut. Peristiwa yang menewaskan sejumlah Jenderal milik negeri ini belum terungkap secara benar, siapa sebenarnya dibalik kenyataan pahit dan untuk apa pembunuhan itu dilakukan. Para peneliti dan sejarawan, baik yang ada di Indonesia maupun dari luar negeri, masing-masing mengeluarkan argumentasinya, namun belum ada sebuah pembuktian yang diterima kebenarannya oleh banyak pihak. Semua melahirkan teka-teki, da teka-teki itu hingga kini belum terjawab.
Roman yang berjudul G. 30 S. ini juga bagian dari teka-teki. Namun bagi orang yang ingin memahami nuansa peristiwa sebelum dan sesudah gerakan yang mencekam itu, sangat tepat membaca roman sejarah ini.
Berawal dari kehidupan kampus, lalu munculnya sebuah angkatan yang lebih dikenal Angkatan 66. Lantaran ada rencana menjatuhkan rezim Soekarno, persekutuan Angkatan 66 dengan ABRI yang dimotori Soeharto pun menjadi kekuatan yang tak terbendung. Akhirnya rezim Orde Lama itu pun tumbang, setelah Presiden Soekarno memberikan Surat Perintah 11 Maret kepada Soeharto.
Dikisahkan juga bagaimana Soeharto membersihkan PKI bersama anggotanya dan simpatisannya setelah dia menjadi orang nomor satu di republik ini. Semua diungkap apa adanya.
Belum ada roman sejarah G. 30 S. di negeri ini yang mengungkap peristiwa itu secara transparan dengan menulis semua nama-nama tokoh-tokoh yang terlibat’, kecuali buku roman “G 30 S. Jatuhnya Rezim Soekarno” karya Arief Gossin, penerbit Pustaka Refleksi, Makassar, 2004. ISBN 979-3570-02-4. Halaman: 59-68
Gerakan 30 S Meletus
Dewan Jenderal yang direncanakan untuk dibasmi dari muka bumi oleh Gerakan 30 September, sebenarnya termasuk pula Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution.
Tapi pada malam gerakan itu nasib baik masih berada pada diri sang jenderal tersebut.
Ketika Pasukan Cakrabirawa memasuki rumahnya, sang jenderal yang beroleh firasat segera menyelinap keluar dari kamar dan mengendap-endap ke samping rumah, menaiki pagar ke rumah tetangga, yakni kediaman Kedubes Irak untuk republik Indonesia. Regu pasukan memerintahkan membuka pintu dibuka tapi istri sang jenderal Ibu Nasution yang membopong anak bungsu mereka Ade Irma tak mau membuka pintu. Tembakan pun menggema dan peluru menembus pintu dan yang kena adalah Ade Irma tersebut. Pintu terbuka.
“Mana Pak Jenderal, Bu!” terdengar bentakan.
“Tak ada! Sedang berada di luar daerah. Kalian datang hanya untuk menembak anak saya saja!” jawab Bu Nasution yang membopong anaknya yang berlumuran darah tapi masih hidup.
Kemudian setelah pasukan pergi, anak itu segera dilarikan ke rumah untuk secepatnya mendapat pertolongan darurat.
Adapun Jenderal Abdul Haris Nasution bersembunyi di rumah tetangga dan pagi-pagi sekali menyelinap ke markas Kostrad untuk bertemu dengan Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Suharto dengan kaki terpincang-pincang akibat melompat dari tembok pagar.
Adapun Mayor Jenderal Suharto tidak termasuk dalam sasaran Gerakan 30 September tersebut. Berdua dengan Jenderal A.H. Nasution segera menarik kesimpulan bahwa yang berada di
belakang gerakan yang berani itu pastilah Partai Komunis Indonesia.
Dapat dipastikan bahwa tak ada Partai di Tanah Air yang gerakan itu sejak lama memang sudah lama menjadi orang binaan dapat bertindak seberani itu. Dan Letkol Untung yang memimpin PKI. Demikian pula dengan Marsekal Udara Omar Dhani dan Marsekal Angkatan Perang Kolaga di Kalimantan.
“Kita berdua harus mengatasi ini dengan cepat, sebab kalau tidak kita berdua akan segera mati konyol”, kata Jenderal A.H. Nasution kepada Mayor Jenderal Suharto. Dan beliau membenarkan.
Demikian, dari markas besarnya bertempat di sisi timur Lapangan Merdeka. Suharto segera mengambil komando secara de facto dan bergerak dengan sigap untuk segera menekan Gerakan 30 September. Beliau menugaskan Kolonel Sarwo Edhy segera menerjunkan pasukan tanknya untuk mengepung Gedung RRI dan Gedung Instalasi strategis lainnya, disamping mengirim pasukannya mengepung Bandara Udara Halim Perdana Kusumah. Menjelang sore hari beliau berhasil membujuk pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka yang berada dalam posisi siap menyerang untuk segera bubar agar tak usah terjadi konfrontasi dengan kekerasan. Mayjen Suharto kemudian mengambil posisi mengultimatum mereka yang berada di Bandara Halim Perdana Kusumah agar segera mengundurkan diri. Kalau lewat jam 18.00 mereka masih berada disana, maka akan berhadapan dengan seluruh pasukan Kostrad. Ternyata ultimatum tersebut dipenuhi dan amanlah Bandara Halim Perdana Kusumah dari pertempuran antara kesatuan sendiri.
Perlu diketahui bahwa belum terlalu lama sebelumnya, Presiden Soekarno telah menunjuk atau memerintahkan Mayor Jenderal Pranoto sebagai Panglima pasukan ketentaraan. Namun hal tersebut sengaja diabaikan oleh Mayor Jenderal Soeharto dengan pertimbangan, hanya beliau sendiri bersama Abdul Haris Nasution yang tahu.
Istana Bogor, sementara para pelaku Gerakan 30 September juga Presiden Soekarno kemudian meninggalkan Halim dan menuju membubarkan diri. Menjelang hari berikutnya Pangkalan Angkatan Udara berhasil direbut tanpa banyak mendapatkan perlawanan dari Gedung Instansi strategis lainnya berhasil direbut kembali. RRI mulai menyiarkan Warta Berita Nusantara.
Di Istana Bogor tersebut Presiden Soekarno merasa pening tentang apa yang harus dilakukannya. Apa yang telah terjadi kiranya tak pernah si penggagas gerakan melapor kepadanya. Beliau hanya tahu diam-diam bahwa ada beberapa jenderal yang tidak suka akan kepemimpinannya akhir-akhir ini, tetapi tentang adanya ‘Dewan Jenderal’ yang berencana jahat akan mengadakan kup terhadapnya pada tanggal 5 Oktober 1965, itu baru diketahuinya. Mungkin Mayor Jenderal Soeharto yang lebih tahu tentang rencana itu. Atau mungkin hanya desas-desus dari pers luar negeri untuk ‘menggoncang’ Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian memanggil Mayor Jenderal Soeharto menghadap pada malam hari itu juga di Istana Bogor. Mayor Jenderal Pranoto dan beberapa pejabat lain juga dipanggil. Setelah semua masuk duduk Presiden bertanya kepada Mayor Jenderal Soeharto.
“Mengapa sampai Mayor Jenderal Soeharto mengambil tindakan de facto kepada keadaan yang tiba-tiba terjadi. Bukankah saya telah memerintahkan Mayor Jenderal Pranoto sebagai Panglima untuk mengatasi keadaan?”.
Mayor Jenderal Soeharto dengan tenang menjawab, “Biasanya pada waktu Pak Letnan Jenderal Ahmad Yani masih hidup, sayalah yang biasa mengambil alih pimpinannya bila beliau berhalangan. Saya pikir tak ada jalan lain, apalagi ketika itu Bapak Kasad Jenderal Abdul Haris Nasution baru saja luput dari pembunuhan. Beliau mengunjungi saya dengan kaki yang terpincang-pincang pagi-pagi setelah melarikan diri dari penyergap dengan jalan melompati tembok pagar rumahnya ke halaman rumah tetangga”.
“Barangkali itu betul, tetapi sebelumnya saya telah memerintahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto untuk sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Semestinya Pranotolah yang mesti bertindak”.
Mayor Jenderal Soeharto berdiam sejenak, kemudian pasrah berkata, itu memang perlu, terserahlah kembali kepada Yang Mulia. Inisiatif “Yah, kalau Bapak Yang Mulia Presiden menganggap bahwa saya, saya hanya berusaha memulihkan keamanan dan ketertiban agar jangan sampai terjadi pertempuran antara sesama kita, dan saya yakin telah berhasil dengan baik. Untuk selanjutnya saya tidak bertanggung-jawab lagi”.
Tapi Presiden Soekarno kemudian berkata, “O, tapi tidak begitu Soeharto, teruskan saja mengadakan pemulihan keamanan dan ketertiban, hingga keadaan dapat aman kembali seperti semula”. Mungkin pada waktu itu Presiden Soekarno membayangkan keadaan yang segera dapat tenang kembali seperti semula, seperti pada waktu jenderal masih hidup dan sebelum ada Gerakan 30 September, dan para mahasiswa pun akan tenang masuk kampus seperti biasa.
Mayor Jenderal Soeharto menjawab, “Kalau demikian kemauan Yang Mulia Presiden maka saya akan meneruskan tugas yang dibebankan kepada saya dengan penuh tanggung-jawab”.
Mayor Jenderal Soeharto meninggalkan Istana Bogor dengan tersenyum dan Presiden Soekarno pun tersenyum setelah dalam hati tadi terasa khawatir bahwa yang akan datang dapat terjadi kesenjangan antara Mayor Jenderal Pranoto dengan Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto.
Pada malam itu juga di Markas Besarnya di sisi timur Lapangan Merdeka, Mayor Jenderal Soeharto sebelum pulang istirahat setelah sehari penuh kerja, lebih dulu menelepon Kolonel Sarwo Edhy atau wakilnya agar terus-menerus mengumpulkan informasi tentang lapangan latihan di daerah ‘Lubang Buaya’ Halim.
“Cari dimana para jenasah dikuburkan!” Demikian perintahnya.
Sementara itu di Radio Republik Indonesia, suara Presiden Soekarno muncul dengan pidato yang sangat singkat. “Mengharapkan agar seluruh rakyat Indonesia tetap dalam keadaan tenang. Sebab kejadian yang baru saja timbul adalah kejadian kecil intern dalam ketentaraan negeri kita, yang akan saya atasi dengan secermat-cermatnya.”
Keesokan harinya matahari baru saja muncul sebagai bayangan cahaya di arah timur, satu kompi ditugaskan melacak keberadaan jenasah di daerah ‘Lubang Buaya’ tersebut. Seorang anggota polisi dengan sukarela memberikan kesaksiannya. Dia melaporkan bahwa ketika pada malam itu dia bertugas patroli di daerah itu, dia telah dicegat oleh sekelompok pemuda yang melarangnya berada di daerah itu, dia kemudian ditutup matanya dengan kain hitam dan di bawah ke suatu tempat. Tempat itu suatu bangunan. Dia diikat, termasuk kaki tangan dan matanya ditutup agar tak dapat melihat dan berkeliaran menyaksikan sesuatu yang sedang diperbuat. Didekatnya di dalam ruangan dia mendengar para Jenderal sedang diadili. Di tanya ini dan itu serta dicerca-cerca. Sedangkan di luar terdengar suara hiruk-pikuk pemuda riuh seperti melakukan sesuatu secara baramai-ramai. Ada juga terdengar suara perempuan. Kedengarannya seperti para jenderal itu telah dihabisi nyawanya, demikian kesaksian oknum polisi tamtama tersebut.
Setelah sang polisi dibawa ke tempat dia diikat kaki tangan dan matanya dan sempat mendengarkan semua itu, maka polisi tersebut membenarkan, “Ya, Pak, disinilah saya diikat dan jenderal itu disana, ditanyai, dicerca, dihina, dan disemprot dengan kata-kata yang tak enak didengar, mungkin tubuh mereka juga dikorek sana sini hingga siksa. Banyak orang yang mengelilinginya. Mungkin jenasah dikuburkan tak jauh dari sini.”
Maka tempat tersebut yang berupa tanah luas yang ditumbuhi pohon pohon karet terus disisir dengan teliti, dan tiba-tiba salah seorang anggota pasukan menemukan bagian tempat yang mencurigakan. Segera dilaporkan kepada komandan, dan komandan segera pergi memeriksa tempat yang ditunjuk itu. Tempat itu berupa sebidang gundukan tanah yang diatasnya ada sebatang pohon pisang yang seperti belum lama ditancapkan, tidak tampak naturalis. Ketika pohon pisang itu didorong dan digoyah maka dengan mudah tumbang. Ketika dicabut maka pohon itu ternyata mudah tercabut. Akar juga tak ada karena bekas terpotong. Anggota pasukan yang mengerumuni segera yakin semua bahwa ada apa-apa di bawah sana. Komandan segera memerintahkan agar digali. Ternyata alat gali terbentur oleh batu.
Ketika digali terus ternyata lingkaran itu terbentuk lingkaran dengan 80 Cm. Setelah digali terus, alat galian itu terbentur pada benda yang agak lembek yang kemudian diketahui tak lain dari jenazah yang bagian kepalanya ke bawah, dan kakinya di atas.
Segera Komandan Kompi menelepon Moyor Jenderal Soeharto. Dalam pembicaraan telepon Mayor Jenderal Soeharto meminta agar penggalian dihentikan dulu, sebab akan segera datang untuk turut menyaksikan dengan mata sendiri penggalian itu.
Seorang petugas dengan menggunakan masker diikat dengan tali dan diturunkan ke sumur dan menarik jenazah satu persatu ke atas. Mayor Jenderal Soeharto seperti pula banyak anggota pasukan yang lain hampir-hampir tak dapat menahan air mata menyaksikan semua itu. Wartawan mengabadikan semua itu dengan kamera dan diberikan disemua media massa dan TVRI.
Dan tentu saja ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk keluarga Danu dan keluarga Tris serta seluruh mahasiswa disemua kampus.
Demikian pula pada keesokan harinya ketika jenazah telah dibersihkan dan diotopsi di rumah sakit dan dimandikan sebagai wajarnya dan disemayamkan oleh keluarga masing-masing bersama-sama diusung di atas kendaraan tank lapis baja. Lalu dibawa ke tempat peristirahatan yang kekal secara baik dan benar.
Saat itu bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965 dilepaskan dengan pidato disertai air mata kesedihan Jenderal Abdul Haris Nasution yang pada pokoknya mengatakan, Saudara-saudara sekalian, prajuritku dan rakyat Indonesia sekalian dimana seja berada. Seperti Anda sekalian telah mengetahui bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang kita sama cintai. Pengkhianatan dan pembunuhan terhadap 6 jenderal kita dan 1 ajudan yang baik hati dan setia kepada kita. Tujuh orang bangsa kita yang dilenyapkan sekaligus oleh orang-orang yang menginginkan kekuasaan, yang hanya mementingkan golongannya sendiri.
Dan pembunuhan itu begitu rupa, begitu kejam, sadis, dan tidak sama sekali berperi kemanusiaan. Seakan-akan itu dilakukan bukan oleh manusia. Apa salah para jenderal kita hingga diperlakukan seperti itu, pantaskah, pantaskah saudara-saudaraku dan rakyatku, Anda dapat memikirkan dan merasakaan sendiri. Apa salah kami hingga diperlakukan demikian. Betulkah tuduhan mereka bahwa tentara atau para jenderal itu mau mengadakan kudeta? Itu semua sama sekali tidak betul, tak ada buktinya. Merekalah pembunuh-pembunuh itu yang berencana merebut kekuasaan. Saudara masing-masing pasti sudah melihat dan merasakan ketika diumumkan di radio. Mereka yang begitu benci kepada tentara, dan mereka melakukan tindakan yang begitu kejam. Begitulah perlakuan yang diperoleh oleh para jenderal kita yang telah setia mengabdi kepada negara dan Tanah Air kita, perlakuan yang sama “demikian antara lain pidato yang sekali tidak pantas… diucapkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution ketika melepaskan para jenazah.
Rakyat berjubel di pinggir jalan menyaksikan iring-iringan kendaraan lapis baja yang masing-masing di atasnya diletakkan peti jenazah para almarhum tersebut. Tidak kurang orang yang menghapus air mata membayangkan kejadian yang baru saja menimpa. Suatu kenangan yang mungkin tak akan terlupakan seumur hidup.
Sementara itu semua direkam oleh media cetak maupun visual. ABRI lewat korannya sendiri Harian “Angkatan Bersenjata dan “Berita Yudha” mulai menyerang PKI dan pimpinan umumnya DN Aidit. Berhari-hari tajuk koran tersebut menyebut bahwa Partai Komunis Indonesia itu terlibat langsung dalam percobaan kudeta yang telah lama direncanakannya. Pemerintah lewat Departemen Penerangan didesak oleh tentara agar segera membekukan penerbitan koran-koran PKI, termasuk ormas-ormas dan antek-anteknya. Selain dari pada itu, segera dilakukan pencarian tokoh-tokoh dan anggota PKI, ormas-ormas dan antek-anteknya di seluruh pelosok kota Jakarta dan desa.
Itu semua dapat dibuktikan dengan kehadiran Ketua Umum PKI DN Aidit di Bandara Udara Halim dan keterlibatan organisasi pemuda dan perempuannya dalam perlakuan dan pembunuhan kejam para jenderal didalangi tidak lain daripada PKI dan ormas-ormasnya. G. 30 S segera dituduh sebagai usaha percobaan kudeta yang Mulailah gejolak politik melanda seluruh Tanah Air, sesuatu frontal terhadap pimpinan dan anggota PKI tersebut serta ormas. yang rakyat tak menduga sebelumnya, yakni pembantaian secara ormasnya, aparat administrasinya, birokrasinya. Juga pengganyangan terhadap antek-anteknya. Dan demikian, kerangka politik Presiden Soekarno untuk menyeimbangkan kekuatan dan golongan Nasakom nyaris hancur seluruhnya.
Belum cukup 24 jam setelah para jenazah jenderal itu disemayamkan di tempat peristirahatannya yang abadi, orang-or-ang dapat merasakan suatu kebenaran bergerak secara otomatis. Maka papan-papan merk bertiang dua yang biasa berada di halaman atau serambi atau menempel di dinding sekretariat Partai Komunis Indonesia, ormas dan antek-anteknya, pecah atau dirubuhkan begitu saja ke tanah atau ke selokan dipukul dengan balok oleh orang-orang yang beringas. Demikian pula dengan jendela-jendela, pecah atau diungkit dengan linggis yang sengaja dibawa. Dan pintu-pintu pecah dan hancur kuncinya kena tendangan kaki-kaki yang menerobos masuk, tak cukup hingga disana, seluruh lemari yang ada dibongkar, ditumbangkan, tapi isinya sudah tidak ada gunanya.
Di halaman belakang terdapat sisa pembakaran kertas-kertas. Nyatalah bahwa orang-orang PKI telah lebih cepat bertindak berlari. Ini menyebabkan orang-orang anti komunis berpindah dan mencari tokoh-tokoh itu tersebut di rumahnya masing-masing. Tak ada tetangga-tetangga mereka yang bisa menghalangi orang-or-ang anti komunis untuk melabrak dan menerobos rumah-rumah mereka, karena takut dianggap membela dan melindungi orang komunis. Sekali pun ada tetangga mereka anggota tentara, dan setiap tentara atau polisi ingat akan sumpah prajurit dan sapta marga mereka, namun bila hanya seorang atau dua orang yang kebetulan melihat kejadian pengganyangan tersebut engganlah dan berpikir keras untuk mengadakan perlindungan. Namun demikian Polisi Militer dengan Sumpah Prajurit dan itu, melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, sebab bukan Sapta Marga menjadi kewajiban bagi mereka untuk melaksanakan politiknya. Jadi setiap manusia Indonesia perlu diamankan dari oknum atau manusia yang tidak disukai melainkan sikap dan sifat penganiayaan dan dilindungi dari penghakiman sendiri di luar pengadilan yang berwenang. Itulah sebabnya Polisi Militer wajib menghindari penghakiman sendiri semacam itu karena Indonesia adalah negara hukum, dan jangan sampai dituduh melanggar Hak-Hak Azasi Manusia.
Waktu berlangsung cepat. Rakyat telah terbuka matanya. Tentara yang sakit hati juga terus berkampanye menuangkan sakit hatinya karena pimpinan mereka telah dibantai sedemikian rupa, tersambut baik oleh makin banyak anggota masyarakat, terutama oleh organisasi-organisasi serta Partai-partai lain yang selama ini memendam dan merasa ingin disingkirkan oleh PKI, mendidih di Jakarta dan menjalar ke kota-kota lain.
Dari tengah masyarakat muncul suatu kesatuan aksi yang menyebut dirinya ‘Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh (KAP GESTAPU) yang tentu saja mendapat dukungan dari golongan anti komunis dan tentara. Ada beberapa pemimpinnya antara lain: Subchan dari NU dan Harry Tjan dari Katholik. Organisasi tersebut telah mengadakan rapat tanggal 4 dan 8 Oktober 1965 dan berhasil menarik ribuan massa demonstran yang marah yang memenuhi lapangan Taman Surapati di daerah Menteng bahkan melimpah ke jalan. Pimpinannya mengadakan pidato anti PKI. Kemudian massa berjalan kaki ke markas besar PKI di Kramat Raya menyerang dan membakarnya, dan melebar terus ke kota lain.
Rapat-rapat Kap Gestapu kemudian dihadiri oleh berbagai kelompok partai politik, lembaga mahasiswa dan organisasi anti komunis. Dan yang paling militan adalah mahasiswa muslim, kebanyakan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang beranggotakan hampir seluruh pelajar SLTA tetapi para pemimpinnya terdapat beberapa aktivis muslim yang telah tua.
Demikian kehancuran PKI membuka jalan bagi perjuangan yang lebih panjang yang berkesempatan terbentuknya kembali aliansi kekuatan politik di Indonesia. Tetapi pembentukan kembali aliansi itu tidak segera terjadi dan tidak dapat dicapai dengan mudah. Bulan Oktober 1965 Presiden Soekrno masih berwibawa kuat, masih mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan disamping kawan-kawannya, lawan-lawannya juga masih ada yang mengharapkan perubahan struktur politik tapi yang menjadi Presiden masih tetap Bung Karno. Bung Karno masih tetap banyak pengagum dan simpatisannya.
Di kampus-kampus, mahasiswa yang anti komunis sudah melihat suatu kesempatan yang sangat baik membentuk suatu kekuatan politik, tetapi bisa setengah-setengah apabila Bung Karno tetap kuat dan beribawa.
Mahasiswa sebenarnya mau menyumbang kekuatan besar anti komunis, tapi caranya masih dalam pemikiran.