Dalam ruang ujian, sering kali yang diuji bukanlah pengetahuan, melainkan kesabaran. Ada penguji yang datang bukan untuk menilai hasil belajar, tapi untuk membuktikan bahwa ia lebih tahu dari yang diuji. Ia bertanya tentang hal-hal yang tak pernah diajarkan, menelusuri sisi gelap kebingungan murid hanya untuk menegakkan tahtanya sebagai “yang paling pandai.” Di matanya, ujian bukanlah ladang keadilan, tapi panggung kesombongan.

Menguji seharusnya adalah mengasihi. Di depan kita, bukan lawan bicara yang harus dikalahkan, melainkan benih pengetahuan yang harus disiram agar tumbuh. Ada pula penguji yang datang dengan niat menakut-nakuti. Ia tersenyum kecil ketika melihat wajah muridnya pucat, seolah-olah takut itu ukuran keberhasilan sebuah ujian.

Padahal, ilmu tidak tumbuh di tanah ketakutan. Ia hidup di ruang teduh tempat murid merasa aman untuk salah, lalu belajar memperbaiki. Penguji yang baik tidak mencari kesalahan, tapi menuntun dari kebingungan menuju pengertian. Namun penguji “killer” sering lupa bahwa di hadapannya ada manusia muda yang sedang berjuang mengenali dunia, bukan makhluk yang pantas dijatuhkan.

Ada penguji yang berwajah malaikat: lembut dalam bertanya, jernih dalam menilai. Ia tidak menaklukkan, tapi memeluk dengan akal dan cinta. Murid-murid yang keluar dari ruangnya tak hanya membawa nilai, tapi juga semangat baru untuk terus belajar. Darii tutur katanya, ilmu terasa sebagai cahaya, bukan cambuk.

Namun yang lain, datang seperti badai. Setiap pertanyaan menjadi pisau, setiap komentar menjadi racun yang serta-merta menurunkan harga diri. Mereka sepertinya lupa, bahwa di balik jawaban yang tersendat-sendat itu ada detak jantung yang berdebar, ada malam-malam yang diisi doa dan hafalan, ada usaha yang tak selalu sempurna tapi tetap tulus.

Menguji kebodohan bukanlah tugas mulia, sebab kebodohan tidak perlu diuji—ia perlu diajar. Jika seseorang tidak tahu, itu bukan dosa. Dosa justru ketika kita tahu tapi enggan membimbing. Banyak penguji yang merasa dirinya malaikat pengetahuan, padahal tanpa sadar menjadi hakim yang menjatuhkan semangat anak manusia.

Dalam ruang ujian, yang diuji seharusnya bukan siapa yang paling tahu, tapi siapa yang paling mau memahami. Kadang murid salah bukan karena bodoh, tapi karena takut. Kadang ia diam bukan karena tak tahu, tapi karena malu menghadapi tatapan tajam penguji yang menganggap dirinya pusat kebenaran.

Budayawan Emha Ainun Najib pernah berkata: ilmu tanpa kasih adalah kegelapan. Begitu juga ujian tanpa empati. Setiap kata yang keluar dari penguji akan hidup lama dalam ingatan muridnya. Jika kata itu penuh cinta, maka tumbuhlah keberanian. Tapi jika penuh penghinaan, maka lahirlah dendam yang membatu.

Para murid yang dipermalukan tidak akan melupakan wajah pengujinya. Mereka mungkin lulus, tapi membawa luka yang diam. Kelak ketika mereka menjadi guru, mereka bisa memilih dua jalan: menjadi seperti pengujinya, atau menjadi kebalikannya—yang menguji dengan kasih dan akal sehat.

Menguji kebodohan sejatinya menguji kemanusiaan diri sendiri. Apakah kita mampu melihat manusia lain dengan empati, atau sekadar mempermainkan kuasa pengetahuan. Karena pada akhirnya, bukan murid yang sedang diuji oleh penguji, tapi penguji yang sedang diuji oleh Tuhan—apakah ilmunya membawa cahaya, atau hanya memperpanjang bayang-bayang kesombongan. [HTB]

(Visited 3 times, 3 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.