Ada cinta yang tak pernah berani lahir. Ia hidup diam-diam di dada, tumbuh tanpa suara, seperti bunga yang mekar di tengah malam. Tak ada yang tahu kapan benihnya jatuh, tak ada yang paham mengapa ia tumbuh begitu dalam. Hanya dada yang tahu betapa berat menanggung sesuatu yang tak boleh disebut. Karena cinta yang disembunyikan itu seperti doa yang tak jadi diucapkan—tetap suci, tapi perlahan menyakitkan.
Kadangkala, kita mencintai seseorang bukan untuk memilikinya, melainkan untuk belajar apa arti kehilangan sebelum memiliki. Cinta yang diam, yang takut disampaikan, adalah madrasah keikhlasan yang paling sunyi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua perasaan harus berakhir dengan genggaman. Ada cinta yang cukup hidup dalam pandangan, dalam doa, dalam sebaris kalimat yang tak pernah dikirim.
Namun, diam terlalu lama bisa menjadi derita. Ia menciptakan ruang kosong antara rindu dan takut. Rindu yang ingin mendekat, tapi takut merusak. Takut yang ingin pergi, tapi tak kuasa melupakan. Di antara dua perasaan itu, seseorang perlahan-lahan kehilangan dirinya sendiri—seperti daun yang rela gugur demi memberi ruang bagi tunas baru yang belum tentu tumbuh.
Cinta yang tak tersampaikan sering kali berubah menjadi pencuri hati. Ia mencuri tawa, mencuri tenang, mencuri malam yang seharusnya bisa menjadi istirahat. Ia datang seperti bayangan: ada tapi tak bisa digenggam, dekat tapi tak bisa dimiliki. Setiap langkah, setiap nama yang disebut dalam kepala, menjadi tanda bahwa hati sedang dirampas oleh sesuatu yang tak pernah diminta.
Ada yang mencoba melawan, mengusir rasa itu dengan logika, dengan doa, bahkan dengan pura-pura benci. Tapi cinta bukan tamu yang mudah diusir. Ia akan tetap duduk di sudut hati, memandangi kita dengan lembut, seolah berkata: “Aku tidak butuh diakui, cukup diakui keberadaanku.” Kita belajar berdamai dengan rasa, bukan untuk menaklukkannya, tapi untuk tidak lagi terluka karenanya.
Pernah ada waktu, seseorang dihukum karena mencintai. Bukan oleh hukum dunia, tapi oleh perasaannya sendiri. Ia dihukum untuk merindukan seseorang yang tak tahu dirinya dirindukan. Ia dijatuhi hukuman untuk mengingat setiap detil yang seharusnya bisa dilupakan. Yang paling berat dari semua hukuman itu adalah: tetap berharap pada sesuatu yang tak akan datang.
Namun, mungkin di sanalah keindahan cinta bersembunyi. Dalam kepedihan yang diam, dalam kesetiaan yang tak berbalas. Cinta yang tak disampaikan adalah bentuk penghormatan paling tinggi terhadap perasaan. Ia tidak ingin merusak apa pun—tidak ingin memaksa semesta agar berpihak. Ia hanya ingin menjaga sesuatu yang rapuh agar tetap indah dalam diam.
Lalu, suatu hari, cinta itu pun perlahan mengering. Ia tidak mati, hanya berhenti tumbuh. Seperti mata air yang kembali ke tanah, ia kembali menjadi rahasia. Tak ada lagi rindu yang menyesakkan, tak ada lagi nama yang memantul di dada. Hanya ada rasa syukur, bahwa pernah ada sesuatu yang begitu tulus, walau tak pernah jadi nyata.
Di situlah kita belajar: bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Seringkali, cinta datang hanya untuk mengajarkan makna kehilangan, makna ikhlas, dan makna menjadi manusia. Pencuri hati sejati bukanlah dia yang mencuri cinta kita, tapi perasaan itu sendiri—yang diam-diam mengambil sebagian jiwa kita untuk menjadikan kita lebih dalam, lebih sabar, dan lebih memahami arti mencintai tanpa pamrih. [HTB]